Teror Hantu di Bukit Tangkuban Perahu

Table of Contents
Teror Hantu di Bukit Tangkuban Perahu - Cerpen Horor Mania

Kisah Mistis Sundari di Gunung Tangkuban Perahu

Malam itu, kabut turun begitu tebal di sekitar Bukit Tangkuban Perahu. Suasana hening menakutkan menyelimuti area pegunungan itu. Tak ada cahaya selain sinar bulan pucat yang menembus kabut tipis di antara pepohonan pinus. Hawa dingin menusuk tulang, membuat siapa pun yang berada di sana akan berpikir dua kali untuk melangkah lebih jauh.

Dina, seorang mahasiswi arkeologi dari Bandung, berdiri di tepi jalan setapak menatap puncak gunung dengan raut penuh semangat. Di sebelahnya ada dua temannya, Rafi dan Nisa, yang sejak tadi terlihat ragu. Mereka datang bukan untuk berwisata, melainkan untuk meneliti legenda asal mula Tangkuban Perahu, kisah Sangkuriang yang konon hanya sebatas dongeng rakyat. Namun malam itu, mereka akan tahu bahwa legenda itu bukan sekadar cerita lama.

“Kau yakin mau lanjut malam-malam begini?” Rafi bertanya sambil menyalakan senter besar di tangannya. “Ini bukan waktu yang tepat buat mendaki, Din. Warga saja bilang jangan ke sini malam Jumat Kliwon.”

Dina menatap Rafi dengan senyum tipis. “Justru karena itu aku mau ke sini sekarang. Kalau ingin melihat atau mendengar sesuatu yang berhubungan dengan mitos, kita harus datang di saat yang dipercaya ‘angker’. Bukti sejarah kadang muncul dari kejadian yang tak bisa dijelaskan.”

Nisa menggeleng pelan sambil menggenggam jaketnya erat. “Aku nggak tahu kenapa dari tadi rasanya nggak enak. Ada sesuatu di udara ini yang bikin aku sesak napas. Aku ngerasa kayak… ada yang ngelihatin kita.”

Rafi menatap sekeliling, sorot senternya menembus kabut tapi tak memperlihatkan apa pun selain batang pohon yang menjulang tinggi. “Mungkin cuma perasaanmu,” katanya, walau nada suaranya tak begitu yakin.

“Ayo jalan,” kata Dina. “Kita cuma butuh beberapa jam untuk sampai di kawah. Setelah itu kita bisa turun sebelum fajar.”

Langkah mereka berat di atas tanah lembap. Suara dedaunan kering dan ranting patah terdengar di bawah sepatu mereka. Angin sesekali bertiup membawa aroma belerang dari arah kawah. Di kejauhan, suara burung hantu terdengar parau, menambah suasana mencekam malam itu.

Setelah sekitar tiga puluh menit berjalan, Nisa berhenti mendadak. “Dengar itu,” katanya pelan. Mereka semua terdiam. Dari arah belakang terdengar suara langkah kaki pelan, seolah seseorang sedang mengikuti. Langkah itu berhenti ketika mereka berhenti. Rafi menyorotkan senter ke arah belakang, tapi tak terlihat siapa pun.

“Pasti cuma hewan liar,” kata Rafi mencoba menenangkan suasana.

Tapi langkah itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat. Irama langkahnya pelan namun berat, seperti seseorang yang menyeret kakinya di tanah. Nisa mulai gemetar. “Rafi… aku yakin itu bukan hewan.”

Kabut semakin menebal. Sorot cahaya senter kini hanya mampu menembus jarak tiga meter ke depan. Tiba-tiba, di antara kabut, terlihat sosok samar berdiri diam. Wujudnya menyerupai perempuan dengan gaun putih lusuh yang menjuntai ke tanah. Rambutnya panjang terurai menutupi wajahnya.

“Astaga…” bisik Nisa. “Itu manusia?”

Rafi menelan ludah, lalu berteriak, “Halo! Siapa di sana?”

Sosok itu tidak menjawab. Ia hanya berdiri tanpa gerak, menunduk sedikit, lalu… mengangkat kepala perlahan. Sekilas terlihat wajahnya pucat, matanya hitam kosong. Angin berhembus dingin melewati tubuh mereka. Dina melangkah mundur dengan wajah pucat pasi.

“Rafi… ayo turun,” katanya pelan. Tapi Rafi tetap terpaku menatap sosok itu.

Tiba-tiba, suara tangisan lirih terdengar dari arah sosok tersebut. Pelan, memecah keheningan malam. Suara itu bukan sekadar tangisan — terdengar seperti keluhan panjang yang mengandung kesedihan mendalam. Hembusan angin membawa aroma anyir, seperti bau darah dan belerang bercampur.

“Kenapa kalian datang malam ini…” suara perempuan itu terdengar lirih namun jelas di antara kabut. “Bukit ini bukan tempat untuk manusia lagi…”

Nisa menjerit histeris dan memeluk Dina. “Ayo, aku nggak mau di sini lagi!”

Dina menatap sosok itu, mencoba memberanikan diri. “Siapa kau? Kenapa kau menampakkan diri kepada kami?”

Sosok perempuan itu berjalan mendekat. Kakinya tak menyentuh tanah. Dari dekat terlihat gaunnya basah dan robek di beberapa bagian, seperti terbakar. Rambut hitam panjangnya menutupi sebagian wajah yang penuh luka. Ketika ia berbicara lagi, suaranya bergetar seperti datang dari dua arah sekaligus.

“Aku… Sundari…” katanya lirih. “Aku dulu manusia. Pemandu wisata yang tewas di kawah ini. Mereka menipuku, lalu membuang tubuhku ke dalam panas belerang. Dan sejak malam itu… aku tidak pernah tenang.”

Dina tertegun. “Sundari… nama itu seperti yang ada di arsip lama.”

“Kau tahu namaku?” tanya sosok itu, suaranya berubah tajam. “Kalau kau tahu, kenapa kau datang mengganggu?”

“Kami tidak bermaksud mengganggu,” kata Dina cepat. “Kami hanya ingin meneliti kebenaran legenda di gunung ini.”

Sundari menatap mereka, matanya berkilat merah samar. “Legenda? Kalian pikir semua kisah hanyalah dongeng? Padahal darah dan air mata kami tertinggal di tanah ini!”

Suara gemuruh tiba-tiba terdengar dari kawah. Tanah di bawah mereka bergetar. Angin bertiup makin kencang, membawa kabut tebal yang berputar seperti pusaran. Rafi berteriak, “Kita harus turun sekarang juga!”

Namun jalan setapak yang tadi mereka lalui kini lenyap tertutup kabut. Di mana pun mereka berlari, sosok Sundari muncul lagi — terkadang di depan, terkadang di samping, terkadang hanya wajahnya yang muncul dari balik kabut sambil tersenyum ngeri.

“Kalian tidak akan keluar… sebelum mengembalikan namaku!” jeritnya. Suara itu menggema di seluruh lembah.

Nisa menangis ketakutan. “Kau mau apa dari kami?”

“Aku ingin dunia tahu… aku tidak bunuh diri. Aku dibunuh. Dikhianati kekasihku di tempat ini. Dan kalian, manusia-manusia sombong, datang tanpa izin, membuka luka lama yang tak pernah sembuh.”

Dina perlahan mendekat dengan wajah ketakutan namun iba. “Kami akan menceritakan kisahmu pada dunia. Aku janji. Tapi tolong biarkan kami pergi.”

Untuk sesaat, angin berhenti. Kabut mereda. Sosok Sundari memandangi Dina lama, lalu tersenyum. Tapi senyum itu aneh — dingin, kosong, dan tak manusiawi. “Kalau begitu… dengarkan kebenaran yang belum pernah diucapkan.”

Kabut di sekeliling mereka tiba-tiba berubah. Tiba-tiba mereka seperti berada di masa lalu — melihat pemandangan kawah Tangkuban Perahu di siang hari. Ada seorang wanita muda berpakaian pemandu wisata sedang berdebat dengan seorang pria. Pria itu mendorong wanita itu hingga terjatuh, lalu meninggalkannya. Wanita itu berteriak minta tolong, tapi tak ada yang datang. Ia tergelincir dan jatuh ke dalam kawah, terbakar hidup-hidup. Jeritannya menggema di udara. Setelah itu, pemandangan itu lenyap, kembali menjadi kabut.

“Itu aku,” kata Sundari. “Dan pria itu masih hidup… turun dari gunung, seolah tak terjadi apa-apa.”

Dina terdiam. “Aku… aku bisa bantu. Aku akan cari tahu siapa dia.”

Hantu itu mendekat lagi, wajahnya kini tampak lebih tenang. “Kalau kau benar-benar menepati janji, kau akan tahu semuanya. Tapi ingat, begitu kau mulai mencari, kau tidak bisa mundur.”

Tiba-tiba, semua kabut menghilang seketika. Dina, Rafi, dan Nisa kini berdiri di tepi jalan pendakian bawah, dekat pintu masuk wisata. Mereka saling berpandangan dengan wajah bingung. “Apa yang terjadi?” tanya Rafi. “Tadi kita di atas…”

“Entahlah,” jawab Dina. “Tapi aku yakin… itu bukan mimpi.”

Tiga hari kemudian, Dina menelusuri arsip berita lama di perpustakaan daerah. Ia menemukan laporan tahun 1987 tentang seorang pemandu wisata bernama Sundari yang hilang setelah cekcok dengan kekasihnya, seorang pemandu senior. Laporan itu tak pernah ditindaklanjuti karena pria tersebut meninggalkan Bandung ke luar negeri. Ia membaca dengan tangan gemetar — nama pria itu masih tercatat: Arman Setiawan.

Ketika Dina menutup berkas itu, udara di sekelilingnya terasa dingin. Lampu perpustakaan tiba-tiba berkelap-kelip. Di antara rak buku, ia mendengar suara langkah kaki pelan… dan bisikan lembut, “Kau sudah menemukan namanya…”

Dina berlari keluar ketakutan. Namun malamnya, ia menerima pesan singkat di ponselnya dari nomor tak dikenal:
Terima kasih sudah mengingatku.”

Sejak hari itu, hidup Dina berubah. Ia sering mencium aroma belerang di dalam kamarnya setiap malam. Cermin di kamarnya kadang berkabut sendiri, dan di sana sering muncul tulisan samar: “Aku menunggu keadilan.”

Rafi dan Nisa mencoba menenangkan Dina, tapi keduanya pun mengalami hal aneh. Rafi bermimpi didatangi wanita bergaun putih yang duduk di tepi kawah sambil menyisir rambutnya. Nisa mendengar suara tangisan dari kamar mandi setiap tengah malam. Mereka tahu, arwah Sundari belum pergi.

Dina akhirnya menulis kisahnya dan mengirim ke media lokal. Seminggu kemudian, berita tentang kematian misterius seorang pria paruh baya di Jakarta muncul di televisi. Namanya… Arman Setiawan. Ia ditemukan meninggal di kamarnya dengan wajah ketakutan, matanya terbuka lebar menatap ke arah jendela yang terbuka. Di lantai ditemukan bekas lumpur dan jejak kaki kecil berlumur belerang.

Dina menatap layar TV tanpa suara. Ia tahu, arwah Sundari telah menepati janjinya — dan kini sudah tenang.

Tapi dua minggu kemudian, Dina mendaki lagi ke Tangkuban Perahu, kali ini sendirian. Ia membawa bunga melati putih dan kalung logam berkarat yang pernah ia temukan di tasnya. Ia meletakkan bunga dan kalung itu di tepi kawah, lalu berbisik, “Kau sudah bebas, Sundari.”

Hembusan angin lembut melewati wajahnya. Dalam kabut tipis, terlihat sekelebat sosok wanita bergaun putih berdiri di seberang kawah, menatap Dina dengan senyum damai. Lalu perlahan, sosok itu memudar dan lenyap bersama kabut.

Dina menatap ke langit yang mulai terang. Tapi saat ia hendak berbalik turun, angin berembus lagi — kali ini membawa suara samar. Suara lembut, nyaris tak terdengar, tapi jelas memanggil namanya.

“Dina…”

Ia menoleh spontan, tapi tak ada siapa pun. Hanya kabut yang bergerak perlahan menutupi puncak. Dina tersenyum kecil. Ia tahu, arwah Sundari mungkin telah pergi. Namun sebagian dari dirinya akan selalu tertinggal di sana — di antara kabut, kawah, dan kisah kelam yang tak pernah benar-benar padam di Bukit Tangkuban Perahu.

Dan sampai hari ini, warga sekitar masih percaya, setiap malam Jumat Kliwon, sesosok wanita bergaun putih akan muncul di tepi kawah, melayang perlahan sambil menatap ke bawah gunung. Kadang ia menangis, kadang tersenyum, seolah mengingat masa lalu yang penuh luka.
Siapa pun yang memanggil namanya tiga kali di malam berkabut, akan mendengar bisikan dingin di telinga:
“Kau telah membangunkanku…”

Posting Komentar