Suara Teriakan dari Kamar Kosong
Misteri Hantu di Rumah Ayah Susi
Susi menatap jendela kayu yang berdebu di kamar barunya. Udara kota terasa berbeda dibanding udara segar kampung halamannya di pinggir sawah bersama sang nenek. Rumah ayahnya ini besar, namun hawa di dalamnya terasa dingin dan sepi, seolah menyimpan sesuatu yang tak kasatmata. Mobil-mobil lalu lalang di jalan besar tak jauh dari rumah itu, tapi anehnya, suara kendaraan itu seperti meredam setiap kali malam datang.
Hari itu, Susi baru saja tiba di kota. Ia pindah untuk sementara, membantu ayahnya sebelum memulai kuliah yang akan dimulai beberapa minggu lagi. Sejak ibunya meninggal ketika ia masih kecil, Susi tinggal bersama neneknya di kampung. Ayahnya jarang pulang. Kini, setelah bertahun-tahun, mereka akhirnya akan tinggal satu atap lagi.
“Susi, bantu ayah angkat koper di mobil,” panggil ayahnya dari halaman depan.
“Iya, Yah,” jawab Susi sambil menuruni tangga kayu. Ia membantu ayahnya mengangkat koper besar dan beberapa kardus ke dalam rumah. Di tengah lorong, ia memperhatikan sesuatu yang aneh: di ujung koridor lantai atas, ada satu pintu yang disegel papan kayu dan paku karatan. Di atasnya terpasang papan bertuliskan tulisan samar: “Dilarang dibuka.”
“Yah, itu kamar apa? Kok disegel begitu?” tanya Susi penasaran.
Pak Rendra langsung menatapnya dengan wajah tegang. “Kamar itu tidak boleh dibuka, Susi. Jangan pernah dekati. Itu kamar kosong, tapi... biarkan saja tetap begitu.”
“Tapi kenapa, Yah? Ada apa di dalamnya?”
“Sudahlah, Sus. Tidak semua hal perlu kamu tahu. Fokus saja bantu ayah bereskan rumah. Dan ingat, jangan dekat-dekat ke sana.”
Susi hanya mengangguk, meski rasa penasarannya membuncah. Ia menatap kamar itu lagi sebelum akhirnya masuk ke kamarnya sendiri di lantai bawah. Malam mulai turun. Angin bertiup melalui celah jendela, membawa aroma lembap dan bunyi ranting bergesekan di luar rumah.
Malam itu, sekitar pukul dua belas, Susi yang hampir tertidur dikejutkan oleh suara aneh—seperti seseorang berjalan di lantai atas. Suara langkah kaki itu berat dan perlahan, lalu berhenti tepat di depan kamar yang disegel. Susi menahan napas. Tiba-tiba, terdengar suara jeritan melengking dari arah kamar kosong itu.
“Aaaaaaahhhhhhh!!”
Jeritan itu begitu nyaring hingga bulu kuduk Susi berdiri. Ia langsung menutup telinganya, tubuhnya gemetar hebat. “Apa itu?!” bisiknya panik. Ia ingin memanggil ayahnya, tapi takut membuat keadaan semakin menegangkan. Ia hanya menutup diri di balik selimut, menunggu sampai pagi datang.
Keesokan paginya, Susi tampak pucat saat sarapan. “Yah… semalam Susi dengar ada yang teriak dari lantai atas. Dari kamar itu,” ujarnya pelan.
Pak Rendra menatap tajam. “Kamu salah dengar. Rumah ini besar, mungkin suara dari luar.”
“Tapi itu jelas suara perempuan, Yah! Keras sekali, kayak orang kesakitan.”
Pak Rendra menghela napas berat. “Dengar, Susi. Rumah ini memang sudah tua. Kadang kayu berderak, suara angin bisa terdengar seperti apa saja. Jangan pikir macam-macam. Dan aku ulangi, jangan dekati kamar itu. Mengerti?”
“Iya, Yah…” jawabnya lirih, meski dalam hati ia tak yakin dengan penjelasan ayahnya.
Hari-hari berikutnya berjalan tak tenang. Susi sering merasa seperti diawasi. Kadang ketika sedang belajar, ia merasakan hembusan dingin di tengkuknya. Saat menoleh, tak ada siapa pun. Jendela tertutup rapat, tapi tirai bergerak pelan seperti ditiup angin. Beberapa kali ia mendengar langkah kaki menaiki tangga di malam hari, padahal ayahnya sudah tidur di kamar bawah.
Puncaknya terjadi tiga malam kemudian. Saat jam menunjukkan pukul satu dini hari, Susi terbangun oleh suara ketukan pelan dari luar kamarnya.
Tok… tok… tok…
Ia diam, jantungnya berdetak cepat. Ketukan itu berhenti, tapi kemudian terdengar suara lirih dari arah lorong.
“Susi…”
Suara itu jelas suara perempuan. Lemah, parau, dan seperti berasal dari balik kamar yang disegel. “Susi… tolong aku…”
“Siapa di sana?!” tanya Susi dengan suara bergetar. Ia memegang gagang pintu, tapi tak berani membukanya. Lalu, terdengar suara tangisan pelan yang berubah menjadi jeritan nyaring lagi. Susi menjerit ketakutan, berlari ke kamar ayahnya.
“Yah! Ada suara perempuan di atas! Teriak, panggil nama Susi!”
Pak Rendra terbangun dan langsung marah. “Sudah kubilang jangan ke atas malam-malam! Itu cuma pikiranmu! Tidurlah!”
“Tapi Susi dengar sendiri!”
“Cukup, Susi!”
Susi menatap ayahnya yang tampak sangat tegang, bukan sekadar marah. Ada sesuatu di balik matanya—sebuah ketakutan yang ia sembunyikan.
Keesokan paginya, Susi menelepon neneknya di kampung. “Nek, rumah ayah aneh. Susi sering dengar teriakan perempuan. Ayah malah marah kalau Susi bahas kamar yang disegel itu.”
Suara neneknya terdengar berat di ujung telepon. “Susi… dengarkan nenek baik-baik. Jangan pernah buka kamar itu. Jangan dekati. Dulu, rumah itu pernah jadi tempat kejadian buruk.”
“Apa maksud Nenek?”
“Dulu sebelum ibumu meninggal, ada perempuan lain yang tinggal di sana…”
“Perempuan lain?”
“Iya. Seseorang yang dulu dekat dengan ayahmu. Tapi perempuan itu meninggal di rumah itu… di kamar yang sekarang disegel.”
Susi membeku. “Meninggal? Bagaimana bisa?”
“Katanya bunuh diri. Tapi tidak ada yang tahu pasti. Setelah itu, ibumu jatuh sakit dan meninggal beberapa bulan kemudian. Ayahmu langsung menyegel kamar itu dan tak pernah membiarkan siapa pun masuk.”
Susi terdiam lama. Suara neneknya terus bergema di kepalanya. Malamnya, rasa takut berubah menjadi campuran antara ngeri dan penasaran. Siapa sebenarnya perempuan itu? Kenapa ia seolah masih bergentayangan di rumah ini?
Beberapa malam kemudian, gangguan makin parah. Barang-barang di meja Susi sering bergeser sendiri. Cermin di kamarnya berembun meski AC mati. Pernah suatu kali, Susi mendengar suara tangisan di dalam kamar mandinya, tapi ketika dibuka, hanya ada air kran menetes pelan. Aroma bunga melati kerap muncul tiba-tiba tanpa sebab.
Pada suatu malam, ketika Susi hendak tidur, ia melihat sesuatu di luar jendela kamarnya—bayangan seorang wanita bergaun putih, berdiri di halaman belakang rumah. Wajahnya tak terlihat jelas, rambutnya panjang menutupi muka. Tubuh Susi kaku. Ia hanya bisa menatap sosok itu hingga tiba-tiba… wanita itu mengangkat tangannya, menunjuk lurus ke arah kamar yang disegel di lantai atas.
Susi menutup jendela dan berlari ke ranjang, menutup diri dengan selimut. Tapi suara jeritan itu datang lagi. Kali ini lebih keras, lebih nyata, seperti seseorang sedang disiksa di balik pintu.
“Aaaaaaahhhhhh!!!”
Tak tahan lagi, Susi akhirnya bertekad mencari tahu kebenarannya. Ia mengambil senter dan obeng kecil yang ada di laci ayahnya. Saat rumah sunyi, ia naik ke lantai atas. Udara di sana terasa sangat dingin, bahkan napasnya tampak membentuk uap.
Ia berdiri di depan kamar yang disegel itu. Papan kayunya sudah rapuh. Satu per satu paku ia congkel dengan gemetar. Hingga akhirnya pintu itu terbuka perlahan dengan suara berderit panjang.
“Krieeettt…”
Ruangan itu gelap, lembap, dan bau busuk menyeruak. Debu tebal menutupi lantai. Di tengah ruangan, ada ranjang besi tua dan cermin besar yang retak di sisi kanan. Susi menyorotkan senter, dan di balik pantulan cermin itu, ia melihat bayangan seorang wanita bergaun putih berdiri di belakangnya.
“Aaaaaaahhhh!!!”
Susi jatuh tersungkur, senter terlepas dari tangannya. Sosok itu perlahan mendekat, rambutnya menutupi wajah, namun dari sela-selanya tampak darah menetes dari matanya.
“Kau… sudah membukanya…” suara parau itu bergema.
Susi mencoba merangkak ke arah pintu, tapi pintu itu tertutup sendiri dan terkunci dari dalam. “Ayah! Tolong! Ayah!” jeritnya sekuat tenaga.
Dari bawah, Pak Rendra mendengar suara benturan keras. Ia berlari menaiki tangga, mendobrak pintu kamar kosong itu. “Susi! Buka pintunya!”
Tapi dari dalam, suara Susi terdengar aneh, berubah seperti dua suara yang tumpang tindih.
“Ayah… tolong aku…”
Dan bersamaan dengan itu, terdengar tawa melengking. “Hahahahahaha… akhirnya aku bebas…”
Begitu pintu berhasil didobrak, ruangan itu kosong. Tak ada Susi. Hanya cermin besar di pojok ruangan memantulkan bayangan gadis muda berdiri di dalamnya, menangis, memohon.
“Tidak… Susi… jangan…” Pak Rendra berlutut, air matanya menetes. “Aku sudah kehilangan ibumu… jangan kamu juga…”
Dari dalam cermin, Susi tampak memegang tangan seorang wanita lain—wanita bergaun putih itu—yang kini menatap tajam ke arah Pak Rendra.
“Kau tak bisa menyelamatkanku dulu… dan sekarang anakmu jadi gantinya…”
Suara itu membuat Pak Rendra menjerit histeris. Ia menghancurkan cermin dengan vas bunga, tapi setiap pecahan kaca yang jatuh memantulkan wajah Susi dan wanita itu, tersenyum samar dari dunia lain.
Beberapa hari kemudian, rumah itu ditinggalkan. Pak Rendra pergi tanpa meninggalkan pesan apa pun. Namun warga sekitar mulai membicarakan sesuatu: setiap malam, dari rumah besar yang kini kosong itu, terdengar dua suara perempuan menjerit bersamaan dari lantai atas.
“Aaaaaaahhhhh!! Tolong aku!”
Dan di antara jeritan itu, kadang terdengar suara tawa perempuan lain yang serak dan menyeramkan.
“Hahahahaha… dia sudah jadi bagianku…”
Beberapa warga yang lewat di depan rumah itu mengaku melihat sosok gadis muda di jendela lantai atas. Rambutnya panjang, matanya kosong, mengenakan baju tidur putih. Kadang sosok itu hanya berdiri diam, tapi kadang juga melambaikan tangan perlahan seolah memanggil.
Konon, jika seseorang berani membalas lambaian itu, maka pada malam berikutnya, suara teriakan dari kamar kosong akan memanggil nama orang tersebut. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi selanjutnya, karena siapa pun yang pernah menjawab panggilan itu… tak pernah terlihat lagi di kampung itu.
Beberapa waktu kemudian, rumah itu dijual murah. Pembeli baru, seorang pria muda dan istrinya, sempat menempatinya sebentar. Namun hanya bertahan dua minggu. Mereka pindah dengan wajah pucat dan enggan bicara. Ketika ditanya warga, sang istri hanya menjawab dengan lirih, “Di rumah itu… ada dua perempuan yang selalu menangis di malam hari.”
Rumah itu kini berdiri sepi. Catnya terkelupas, daun kering menumpuk di halaman. Tapi bagi yang melintas tengah malam, jika kau cukup berani menatap jendela lantai atas, kau akan melihat dua bayangan berdiri berdampingan—Susi dan wanita bergaun putih itu. Wajah mereka pucat, namun bibir mereka tersenyum samar.
Dan jika kau dengar suara mereka berbisik pelan memanggil namamu… jangan pernah menoleh. Karena begitu kau menoleh, kau akan mendengar suara jeritan panjang dari arah kamar kosong itu, dan semuanya akan menjadi gelap.
Sampai sekarang, tak ada yang tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Tapi satu hal yang masih diyakini oleh warga sekitar: kamar kosong itu tidak pernah benar-benar kosong. Ada dua jiwa yang terperangkap di dalamnya, menunggu seseorang yang cukup bodoh untuk membukanya kembali.
Dan setiap kali malam tiba, suara teriakan dari kamar kosong itu akan kembali terdengar—mengingatkan siapa pun yang lewat bahwa beberapa pintu memang sebaiknya tidak pernah dibuka… selamanya.

Posting Komentar