Penunggu Angker Gedung Tua

Table of Contents
Penunggu Gedung Tua yang Menyeramkan - Cerpen Horor Mania

Misteri Menyeramkan Gedung Merah Tua

Malam itu, udara di kota kecil Jawa Tengah terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berhembus kencang membawa aroma tanah basah setelah hujan sore. Di tengah kota, berdiri sebuah gedung tua peninggalan kolonial Belanda yang sudah lama terbengkalai. Gedung itu menjulang kokoh dengan cat dinding yang mengelupas, jendela-jendela besar yang pecah, dan pintu kayu berkarat yang jarang dibuka. Warga sekitar menyebutnya "Gedung Merah". Banyak kisah menyeramkan beredar, mulai dari suara tangisan perempuan, bayangan yang melintas di jendela lantai tiga, hingga penampakan sosok tanpa kepala yang kadang terlihat di atap.

Bima, seorang mahasiswa jurusan jurnalistik, tertarik untuk menelusuri kebenaran cerita itu. Ia hendak menulis artikel investigasi untuk blognya tentang misteri bangunan terbengkalai. Bersama tiga temannya—Rani, Tio, dan Arka—ia memutuskan untuk masuk ke gedung itu malam hari. Rani awalnya menolak, namun rasa penasaran akhirnya membuatnya ikut. Mereka mendengar dari warga sekitar bahwa gedung itu dulunya dipakai sebagai tempat tinggal seorang tuan Belanda yang kaya raya, tapi juga terkenal kejam pada para pekerjanya. Banyak pekerja pribumi yang disiksa hingga tewas di dalam gedung tersebut. Sejak saat itu, gedung Merah diyakini menyimpan dendam dan roh-roh penasaran.

"Kalian yakin mau masuk? Warga sekitar saja jarang berani lewat depan gedung ini kalau malam," kata Rani dengan suara gemetar.

Bima tersenyum tipis sambil mengangkat kamera. "Justru itu yang bikin menarik. Kalau kita bisa membuktikan ada apa di dalam sana, blogku pasti ramai pengunjung."

Arka menepuk bahu Bima. "Aku dukung. Tapi kalau ada yang aneh, jangan salahkan aku kalau lari duluan."

Tio, yang terkenal pemberani, justru paling semangat. "Ayo lah, kita sudah jauh-jauh datang ke sini. Masa cuma lihat dari luar?"

Mereka menyalakan senter dan perlahan membuka pintu kayu gedung itu. Suara engsel berderit panjang membuat bulu kuduk mereka meremang. Begitu masuk, aroma apek bercampur debu menyeruak. Lantai kayu berderak setiap kali mereka melangkah. Di dinding, tergantung foto-foto hitam putih zaman kolonial, sebagian sudah pudar dan sobek. Anehnya, salah satu foto menunjukkan seorang wanita pribumi dengan tatapan sedih, berdiri di samping seorang pria Belanda berjas. Matanya seakan mengikuti setiap gerakan mereka.

Rani berbisik pelan. "Kenapa foto-fotonya masih ada di sini? Bukannya sudah kosong puluhan tahun?"

Tio menyorotkan senter ke arah foto. "Mungkin memang sengaja ditinggalkan. Atau… ada yang masih merawat gedung ini."

Ucapan itu membuat suasana semakin mencekam. Mereka terus berjalan hingga sampai di aula besar. Langit-langitnya tinggi dengan lampu gantung berdebu yang bergoyang perlahan terkena angin. Tiba-tiba terdengar suara kursi digeser dari sudut ruangan.

"Siapa itu?" teriak Arka sambil menyorotkan senter ke arah suara. Namun tidak ada siapa-siapa. Hanya kursi tua yang sedikit bergeser dari posisinya.

Bima mencoba menenangkan. "Mungkin tikus. Jangan parno dulu."

Mereka melanjutkan langkah, naik ke lantai dua. Tangga kayu yang mereka pijak berdecit keras. Saat tiba di koridor panjang, Rani melihat sesuatu. Di ujung koridor, tampak sosok perempuan bergaun putih dengan rambut panjang menutupi wajah. Ia berdiri diam, lalu perlahan menghilang.

"Bima! Aku lihat sesuatu!" Rani berteriak panik sambil menggenggam lengan Bima erat-erat.

Bima menoleh cepat, namun sosok itu sudah hilang. "Kamu yakin? Jangan-jangan bayangan."

"Aku nggak salah lihat!" jawab Rani, hampir menangis.

Tiba-tiba, lampu gantung di aula bawah berayun keras sendiri, padahal tidak ada angin. Suara langkah kaki terdengar di atas langit-langit, padahal mereka sudah di lantai dua. Tio meneguk ludah. "Ini nggak beres. Kayaknya ada yang beneran di sini."

Mereka masuk ke salah satu ruangan yang pintunya setengah terbuka. Di dalam, ada sebuah piano tua berdebu. Anehnya, tuts piano itu tiba-tiba bergerak sendiri, memainkan nada pelan yang menyeramkan. Suaranya melengking, seakan dimainkan dengan penuh amarah. Suasana menjadi mencekam, hingga udara terasa lebih dingin.

Arka mundur ketakutan. "Aku nggak tahan, ayo keluar!"

Bima, meski pucat, tetap merekam dengan kameranya. "Ini… ini bukti nyata. Jangan berhenti, kita harus terus cari tahu."

Mereka melangkah ke ruangan lain. Di sana, terdapat lemari besar yang terkunci. Namun ketika Tio mencoba menariknya, pintu lemari terbuka perlahan. Dari dalam, keluar hawa dingin menusuk. Mereka melihat sebuah gaun putih tua tergantung, penuh noda merah seperti darah. Di dasar lemari, ada buku harian kuno dengan sampul kulit usang. Bima mengambilnya dan membuka halaman pertama. Tulisan tangan dalam bahasa Belanda tercetak samar, namun ada beberapa kalimat dalam bahasa Indonesia yang menyebut tentang "pengorbanan" dan "kutukan".

Rani menutup mulutnya. "Astaga… ini pasti milik perempuan tadi…"

Sebelum sempat berkata lagi, tiba-tiba terdengar suara perempuan berbisik tepat di telinga Rani: "Pergi… atau kalian tidak akan pulang…" Rani langsung menjerit histeris.

Bima menoleh ke belakang, namun tidak ada siapa pun di sana. Kamera di tangannya tiba-tiba mati meski baterai masih penuh. Senter mereka juga meredup satu per satu. Suasana menjadi semakin gelap dan mencekam. Udara di sekitar mereka berubah dingin menggigit, seperti ada yang mengelilingi mereka.

"Kita harus keluar sekarang juga!" Tio menarik lengan Bima, tapi pintu ruangan yang tadi terbuka kini tertutup rapat. Mereka terjebak.

Dari sudut ruangan, terdengar suara langkah kaki mendekat, pelan tapi pasti. Sesosok bayangan hitam tinggi besar muncul, matanya merah menyala. Sosok itu tidak punya wajah yang jelas, hanya bentuk hitam pekat dengan aura menakutkan. Semua membeku, tidak bisa bergerak. Aroma busuk menyengat memenuhi ruangan, membuat mereka hampir muntah.

Arka berteriak keras sambil menendang pintu, hingga akhirnya pintu terbuka. Mereka berlari sekuat tenaga menuruni tangga, namun suara langkah itu terus mengikuti dari belakang. Saat mereka hampir mencapai pintu keluar, tiba-tiba sosok perempuan bergaun putih menghadang di depan pintu. Rambutnya berantakan, wajahnya pucat dengan mata kosong, mulutnya tersenyum lebar penuh darah.

Rani jatuh tersungkur. "Tolong! Jangan dekati aku!"

Bima mencoba menarik Rani, tapi sosok itu mendekat dengan cepat. Lampu gantung di atas mereka jatuh dan hampir menimpa, namun entah bagaimana mereka berhasil lolos keluar tepat waktu. Begitu keluar, semua kembali normal. Angin berhenti, suasana hening, dan pintu gedung menutup sendiri dengan keras.

Mereka semua terengah-engah di luar, wajah pucat ketakutan. Rani menangis tersedu. "Aku nggak mau ke sini lagi… jangan pernah ajak aku ke tempat horor seperti ini!"

Bima gemetar sambil melihat kameranya. Anehnya, meski kamera tadi mati di dalam, kini ia menyala kembali. Di layar, terlihat rekaman jelas sosok perempuan bergaun putih yang berdiri tepat di belakang mereka sepanjang perjalanan di koridor. Bahkan ada momen saat sosok hitam besar itu muncul tepat di samping Arka. Pada satu adegan, terlihat bayangan tangan perempuan itu hampir menyentuh pundak Rani.

Arka langsung muntah begitu melihat rekaman itu. "Kita… kita hampir mati tadi."

Bima menutup kameranya dengan tangan gemetar. "Kita bawa pulang sesuatu yang bukan milik kita… Aku yakin penunggu gedung itu nggak suka kita masuk."

Sejak malam itu, keempatnya tidak pernah kembali ke gedung tersebut. Namun beberapa hari kemudian, Bima mendapati pintu kamar kosnya diketuk tengah malam. Saat ia membuka pintu, tidak ada siapa pun. Hanya sebuah gaun putih tua yang tergantung di gagang pintu, dengan noda merah yang masih basah. Dari kejauhan, terdengar suara tawa perempuan yang sama, perlahan memudar di kegelapan.

Keesokan harinya, Bima mencoba menghubungi Tio, Arka, dan Rani. Namun yang terjadi justru semakin aneh. Tio mengaku setiap malam mendengar suara langkah kaki di atap rumahnya. Arka bercerita ia selalu merasa ada yang mengikuti saat pulang malam, dan beberapa kali melihat bayangan hitam di kaca spion motornya. Sementara Rani semakin parah—ia sering terbangun tengah malam dengan bekas cakaran panjang di lengannya, padahal ia tinggal sendirian di kamar kos. Mereka semua sadar bahwa penunggu gedung tua itu tidak lagi hanya menghantui gedung, melainkan telah mengikuti mereka masing-masing.

Bima kemudian mencoba mencari informasi lebih dalam. Ia kembali ke desa sekitar gedung dan berbincang dengan seorang kakek penjaga warung. Kakek itu memperingatkan dengan serius. "Nak, kalian sudah salah. Gedung Merah itu bukan sekadar kosong. Dulu, ada seorang wanita pribumi bernama Sari yang dijadikan budak oleh tuan Belanda. Dia disiksa, bahkan dibunuh dengan kejam di dalam gedung itu. Roh Sari tidak tenang, dan siapa pun yang masuk tanpa izin akan dibawa olehnya."

Bima gemetar. "Jadi… gaun putih itu…?"

Kakek itu mengangguk pelan. "Itu gaun terakhir yang ia kenakan sebelum mati. Kalau kalian sudah melihat gaun itu, artinya roh Sari sudah menandai kalian. Tidak mudah lepas darinya."

Sejak malam itu, hidup mereka berubah. Rani jatuh sakit dan tubuhnya semakin kurus. Arka pindah ke rumah saudaranya, tapi sosok bayangan tetap mengikuti. Tio mencoba melawan dengan ritual kecil, namun ia malah mengalami mimpi buruk setiap malam, selalu didatangi sosok wanita bergaun putih yang menjerit di telinganya. Bima, yang mencoba menulis kisah ini untuk blog, justru mendapati tulisannya selalu berubah sendiri di layar laptop. Kata-kata "AKU BERSAMAMU" muncul berulang kali tanpa ia ketik.

Kisah horor ini berakhir tanpa kepastian. Hingga kini, tidak ada yang tahu apakah keempatnya bisa benar-benar terbebas dari kutukan penunggu gedung tua itu. Satu hal yang pasti: gedung Merah tetap berdiri angker di tengah kota, dan siapa pun yang berani masuk akan membawa pulang sesuatu yang bukan miliknya. Mungkin sosok itu tidak lagi hanya menjaga gedung, melainkan juga mencari korban baru untuk menemani kesepiannya.

Dan bila suatu malam kau melewati gedung tua di kota kecil itu, lalu mendengar suara perempuan tertawa lirih dari dalam, mungkin itu tanda bahwa roh Sari sedang memperhatikanmu. Berhati-hatilah, jangan pernah menoleh ke belakang, sebab mungkin dia sudah berdiri tepat di belakangmu.

Posting Komentar