Dendam Hantu Jenglot di Rumah Tua
Kisah Wartawan Jadi Jenglot Mistis
Malam itu, suasana perkampungan di pinggiran Jawa Tengah terasa begitu lengang. Hanya suara jangkrik yang bersahut-sahutan dari balik semak-semak, berpadu dengan desir angin yang menerpa rumpun bambu di sepanjang jalan tanah. Di ujung kampung, berdiri sebuah rumah tua yang sudah puluhan tahun ditinggalkan. Dinding kayunya lapuk, jendela-jendela pecah, atapnya penuh lumut, dan aura mistis menyelimuti seluruh halamannya. Rumah itu terkenal sebagai tempat paling angker di desa tersebut, karena konon pernah ditemukan benda menyerupai jenglot di dalamnya.
Ratna, seorang wartawan muda dari Jakarta, datang dengan semangat jurnalistik yang membara. Ia sudah terbiasa meliput berita kriminal, isu sosial, bahkan gosip selebriti. Namun kali ini, ia tertarik pada cerita rakyat yang penuh misteri. Beberapa waktu lalu, ia membaca laporan bahwa ada warga kampung yang sakit misterius setelah mencoba masuk ke rumah tua itu. Ada pula yang mengaku melihat bayangan kecil menyerupai manusia dengan rambut panjang menjuntai. Laporan itu membuatnya penasaran, karena jurnalis sepertinya harus berani menembus batas antara fakta dan mitos.
Siang harinya, Ratna sudah tiba di perkampungan. Ia menyempatkan diri berbincang dengan warga untuk menggali informasi. Beberapa warga menolak bicara, ada yang pura-pura tidak tahu, bahkan ada yang menutup pintu rumah begitu Ratna menyebut kata “rumah tua” dan “jenglot”. Hanya satu orang yang bersedia bicara, yaitu Pak Darno, seorang tetua kampung yang terkenal arif.
“Mbak, jangan coba-coba masuk ke rumah itu,” ujar Pak Darno dengan nada serius. “Banyak yang sudah ke sana, tapi selalu pulang dengan badan sakit, kerasukan, bahkan ada yang hilang tidak kembali.”
Ratna menuliskan setiap kata di bukunya. “Tapi, Pak, saya hanya ingin menulis fakta. Kalau memang ada yang aneh, biar pembaca tahu. Jangan-jangan semua ini hanya cerita untuk menakut-nakuti orang supaya rumah itu tidak diganggu.”
Pak Darno menghela napas panjang. “Percaya atau tidak, itu urusan mbak. Tapi ingat, jangan pernah menyinggung sesuatu yang berkaitan dengan dendam di rumah itu. Konon, jenglot yang ada di sana bukan sekadar benda, tapi wadah arwah yang tidak tenang. Arwah itu dulu adalah seseorang yang mati dalam keadaan penuh kebencian dan dikhianati.”
Kata-kata itu sempat membuat Ratna merinding. Namun rasa penasaran lebih besar daripada ketakutannya. Ia merasa bisa mendapatkan berita eksklusif yang akan membuat tulisannya viral. Malam pun tiba, dan Ratna bersiap menuju rumah tua itu sendirian. Ia membawa kamera DSLR, senter, buku catatan, serta perekam suara. Langkahnya terasa berat, tetapi tekadnya sudah bulat.
Pintu rumah tua itu berderit pelan saat ia dorong. Bau anyir dan lembap langsung menyergap. Tikus berlarian, debu berterbangan, dan suara kayu tua berderak di setiap langkahnya. Ratna mengarahkan senter ke setiap sudut ruangan. Ia mencoba mengabaikan rasa takut yang mulai menguasai.
“Hmm, sesuai cerita… rumah ini memang menyeramkan,” gumamnya sambil menyalakan kamera. “Tapi apakah benar ada jenglot di sini?”
Tiba-tiba terdengar suara lirih, seperti bisikan halus yang menusuk telinganya. “Pulanglah… sebelum terlambat…”
Ratna menoleh cepat, jantungnya berdegup kencang. Tidak ada siapa pun di belakangnya. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya sugesti. Ia terus melangkah hingga ke ruang tengah. Di sana, ia melihat sebuah lemari tua yang setengah terbuka. Ia ragu sejenak, lalu memberanikan diri mendekat. Dengan tangan gemetar, ia membuka pintu lemari. Senter menyorot ke dalam, dan di situlah ia melihatnya.
Di dalam lemari tergeletak sesosok kecil menyerupai manusia, dengan tubuh hitam legam, rambut panjang kusut, dan gigi runcing menyeringai. Itu adalah jenglot. Ratna membelalakkan mata, setengah tak percaya. Ia segera mengangkat kamera dan mengambil foto. Tapi mendadak, matanya menangkap sesuatu yang tidak masuk akal—mata jenglot itu berkilat merah, seolah hidup.
“Siapa yang berani membangunkanku…” terdengar suara serak dari arah jenglot. Ratna tersentak, tubuhnya membeku. Suara itu jelas bukan ilusi.
“Si… siapa kau?” Ratna terbata, suaranya hampir tak terdengar.
“Aku… arwah yang terperangkap. Aku pernah hidup, dikhianati, dikutuk, lalu dijadikan boneka untuk kepentingan manusia serakah. Aku menunggu tubuh baru… dan kau datang tepat waktu.”
Ratna mundur dengan wajah pucat. “Aku hanya wartawan! Aku tidak bermaksud mengganggu. Aku hanya ingin menulis berita.”
Bayangan hitam keluar dari tubuh jenglot, melayang ke arah Ratna. Ia berteriak, berlari ke luar rumah dengan langkah kacau. Nafasnya tersengal, namun begitu mencapai halaman, langkahnya terhenti. Rumah yang barusan ia masuki kini terlihat berbeda. Bukan lagi bangunan tua lapuk, melainkan rumah megah bergaya Jawa kuno. Suara gamelan terdengar samar, pintunya terbuka lebar, lampu-lampu minyak menyala terang.
“Apa yang terjadi? Apakah aku berhalusinasi?” Ratna berbisik ketakutan. Namun rasa penasaran kembali menjeratnya, ia melangkah masuk lagi.
Kali ini, rumah itu penuh dengan orang-orang berpakaian Jawa kuno. Mereka tertawa, bercengkerama, dan menari mengikuti gamelan. Namun semakin lama Ratna memperhatikan, wajah mereka tampak pucat, kosong, matanya hampa. Seolah bukan manusia, melainkan arwah yang sedang berpesta. Seorang wanita bergaun putih berjalan anggun ke arahnya. Wajahnya cantik, tapi sorot matanya menusuk.
“Kau tamu yang ditunggu,” katanya dengan suara dingin. “Mereka yang mengkhianatiku dulu sudah mendapat balasannya. Kini giliranmu.”
Ratna gemetar. “Aku tidak mengerti! Aku hanya ingin mencari berita, bukan ikut campur dalam dendam ini!”
Wanita itu tersenyum sinis. “Aku dulu seorang dukun sakti. Aku mengobati orang, membantu mereka, tapi karena iri hati, aku difitnah dan dibunuh. Tubuhku dikutuk, dijadikan jenglot. Aku bersumpah, sebelum dendamku tuntas, aku akan mencari tubuh baru untuk menampung arwahku. Dan kau… terlalu berani menatap mataku. Itu artinya kau terpilih.”
Ratna mundur, tetapi tiba-tiba semua orang di ruangan itu berubah menjadi bayangan hitam. Mereka mengelilinginya, mendekat, meraih tubuhnya, menariknya kembali ke tengah ruangan. Ratna menjerit sekuat tenaga, namun suara gamelan semakin keras, menenggelamkan jeritannya. Tubuhnya lunglai, dingin, seakan darahnya tersedot.
“Tidak… jangan! Lepaskan aku!” Ratna berteriak panik.
“Kini tubuhmu adalah milikku,” bisik wanita itu tepat di telinganya. Ratna merasakan tubuhnya berubah. Kulitnya menghitam, tulangnya menciut, rambutnya memanjang dengan cepat. Jari-jarinya mengecil, matanya memerah. Ia ingin melawan, namun tidak berdaya. Jiwa Ratna terperangkap dalam kegelapan, sementara tubuhnya berubah menjadi sesosok jenglot baru.
Keesokan harinya, warga kampung yang penasaran dengan cahaya dan suara gamelan dari rumah tua itu memberanikan diri masuk. Mereka mendapati Ratna tergeletak di lantai ruang tengah. Tapi tubuhnya sudah bukan manusia. Ia berubah menjadi sosok kecil, hitam, dengan rambut panjang menjuntai dan mata merah menyala. Wartawan muda itu kini menjadi jenglot, melanjutkan dendam arwah lama yang masih belum selesai.
Sejak malam itu, rumah tua di perkampungan tersebut semakin ditakuti. Orang-orang percaya jenglot yang dulu hanya satu kini bertambah. Dan dalam sorot matanya yang merah, wajah Ratna masih bisa dikenali, seolah terjebak dalam kutukan tanpa akhir. Bisikan menyeramkan sering terdengar ketika malam tiba: “Dendam belum selesai… akan ada tubuh lain…”
Legenda baru lahir di kampung itu. Tidak ada yang berani mendekat ke rumah tua tersebut. Mereka yang serakah atau terlalu penasaran mungkin akan mencoba masuk, tetapi tidak ada yang pernah kembali sebagai manusia. Rumah itu kini bukan sekadar bangunan kosong, melainkan penjara dendam yang hidup, menunggu korban baru.
— Tamat —
Kisah horor “Dendam Hantu Jenglot” ini menjadi peringatan bahwa rasa penasaran berlebihan dapat membawa seseorang pada takdir yang mengerikan. Di balik setiap mitos, tersimpan kebenaran yang lebih menyeramkan dari sekadar cerita. Jurnalis muda yang mencari kebenaran justru terperangkap dalam misteri yang tak bisa dijelaskan logika.

Posting Komentar