Aku Melihat Hantu Pesugihan Rumah Makan

Table of Contents
Aku Melihat Hantu Pesugihan Rumah Makan - Cerpen Horor Mania

Kisah Seram di Rumah Makan Penglaris

Namaku Reva, seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Setiap hari aku bekerja dari pukul delapan pagi hingga sore hari, dan biasanya aku makan siang di sekitar kantor. Ada banyak pilihan tempat makan, tapi suatu hari aku tergoda mencoba rumah makan baru yang katanya enak dan selalu ramai. Letaknya di pojok jalan dekat parkiran, dengan papan nama besar bertuliskan “Rumah Makan Rasa Jaya”.

Sejak seminggu lalu, teman-teman kantorku sering membicarakan tempat itu. “Makanannya murah, porsinya banyak, dan rasanya luar biasa,” kata Rini, teman sekantorku. Aku pun penasaran. Siang itu, di bawah terik matahari, aku berjalan menuju rumah makan tersebut sendirian.

Begitu sampai, aroma masakan langsung menyeruak—gurih, pedas, menggoda. Rumah makan itu tampak sederhana dari luar, tapi di dalamnya penuh pelanggan. Kursi kayu tua berderet, dindingnya dipenuhi foto-foto artis yang pernah makan di sana. Aku sedikit heran, bagaimana tempat baru bisa sepopuler ini dalam waktu singkat?

Seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah menyambutku di pintu. “Selamat datang, Mbak. Sendirian ya? Silakan duduk di meja nomor lima,” katanya. Aku mengangguk dan duduk. Pandanganku tertuju ke dapur terbuka di belakang, tempat para pegawai sibuk menyiapkan makanan. Di sana juga kulihat seorang wanita berpakaian serba putih berdiri di dekat meja saji, rambutnya panjang menutupi sebagian wajah.

Aku sempat mengira dia salah satu pegawai, tapi… ada yang aneh. Gaunnya kotor, compang-camping, dan kulitnya pucat seperti tak bernyawa. Aku menelan ludah. “Mungkin cuma pengunjung,” pikirku mencoba menenangkan diri.

Pelayan datang membawa buku menu. “Mau pesan apa, Mbak?”

“Nasi ayam sambal ijo aja, satu,” jawabku singkat.

Sambil menunggu, aku kembali melirik ke arah wanita bergaun putih itu. Tapi kali ini, aku melihat sesuatu yang membuat darahku seolah berhenti mengalir. Ia berdiri di dekat panci besar, lalu… meludah ke dalamnya. Kemudian ia meludah lagi ke piring-piring yang berisi makanan siap saji di meja.

“Astaga…” bisikku gemetar. Aku melihat jelas cairan kental itu menetes dari bibirnya. Tapi yang lebih mengerikan, tak ada seorang pun yang bereaksi. Para pegawai tetap memasak seperti biasa, pelanggan tetap tertawa dan makan tanpa peduli.

Aku menjerit spontan. “ADA HANTU!”

Semua mata langsung menatapku. Pelayan yang tadi melayaniku mendekat dengan wajah bingung. “Mbak, kenapa teriak?”

“Itu! Di sana! Ada perempuan bergaun putih! Dia meludahi makanan kalian!” Aku menunjuk ke arah dapur. Tapi wanita itu sudah menghilang. Hanya ada pegawai biasa di sana.

“Mbak mungkin salah lihat, ya. Nggak ada siapa-siapa,” kata pelayan itu canggung. Beberapa pelanggan mulai berbisik-bisik, ada yang tertawa kecil.

Aku merasa malu, tapi rasa takutku jauh lebih besar. Aku berdiri dan meninggalkan rumah makan itu tanpa menyentuh pesananku. Saat keluar, aku sempat melihat ke arah dapur sekali lagi. Dan di sana, di balik tirai dapur, wajah pucat wanita itu menatapku. Senyumnya lebar, tapi matanya kosong seperti jurang.

Sejak kejadian itu, hidupku berubah. Malam pertama sepulang dari rumah makan itu, aku tak bisa tidur. Saat memejamkan mata, bayangan wanita itu muncul di pojok kamarku. Tubuhnya berdiri tegak, rambut panjangnya menutupi wajah, dan suaranya serak memanggil namaku, “Reva…”

“PERGI!” teriakku sambil menyalakan lampu. Tapi tak ada siapa pun di sana. Aku gemetar hebat. Besoknya di kantor, mataku sembab, tubuh lemas. Rini menghampiri.

“Rev, kamu kenapa? Mukamu pucat banget.”

“Aku… kayaknya diganggu sesuatu,” jawabku pelan. Aku menceritakan semuanya. Tapi Rini hanya tertawa kecil. “Kamu kebanyakan nonton film horor kali. Rumah makan itu ramai, mana mungkin ada hantu?”

Aku ingin percaya, tapi malam berikutnya gangguan itu makin parah. Lampu kamarku sering berkedip sendiri, piring di dapur jatuh tanpa sebab, dan di cermin kamar mandi, aku melihat bayangan wanita itu berdiri tepat di belakangku.

“Apa maumu?!” aku berteriak panik. Tapi jawabannya hanya suara lirih, “Jangan ganggu rezekiku…”

Aku pingsan malam itu. Ketika bangun, aku sudah berada di kamar dengan tubuh dingin berkeringat. Aku merasa semakin lemah setiap hari. Hingga suatu hari aku nekat pergi ke rumah makan itu lagi, tapi kali ini bukan untuk makan, melainkan mencari jawaban.

Rumah makan itu masih ramai seperti biasa. Aku berdiri di luar cukup lama, sampai akhirnya seorang pria tua yang duduk di warung seberang memanggilku. “Mbak, jangan sering-sering ke situ. Banyak yang bilang tempat itu nggak bersih.”

“Maksud Bapak, nggak bersih gimana?” tanyaku penasaran.

Pria tua itu menatapku dengan mata sayu. “Mereka pakai pesugihan, Mbak. Dari dulu. Katanya ada arwah perempuan yang dijadikan tumbal, biar dagangan mereka laris. Banyak yang lihat penampakannya di dapur.”

Aku terdiam. Jadi benar dugaanku. Wanita itu bukan pegawai, melainkan arwah pesugihan penglaris. Tapi kenapa hanya aku yang bisa melihatnya?

Hari berikutnya aku mencoba mencari informasi lebih jauh. Di internet, ada beberapa artikel tentang rumah makan yang memakai pesugihan. Polanya sama: selalu ramai, rasanya enak anehnya tak pernah basi, tapi sebagian pelanggan mengaku merasa “tidak enak” setelah makan di sana. Beberapa bahkan sakit mendadak.

Ketika aku menceritakan ini ke Rini, ia menatapku serius. “Jadi kamu pikir rumah makan itu juga begitu? Lalu kenapa hantunya ngikutin kamu?”

“Entahlah… mungkin karena aku tahu rahasianya,” jawabku lirih.

Malam itu, gangguan semakin menjadi. Pintu kamar bergetar, lampu padam sendiri, dan dari bawah tempat tidur kudengar suara ketawa kecil. Aku menyalakan senter, dan di ujung tempat tidur, wanita itu duduk. Matanya merah menyala.

“Kau tahu terlalu banyak, Reva,” suaranya bergema, serak tapi jelas. Aku mundur ketakutan. “Aku… aku nggak akan bilang ke siapa-siapa!”

Dia hanya menatapku dengan ekspresi datar. “Mereka berhutang janjiku. Aku tak boleh pergi. Tapi kau, kau bisa lihatku karena kau bersih.”

“Apa maksudmu bersih?” tanyaku gemetar.

“Kau tak terikat dengan kotoran dunia mereka. Tapi sekarang, kau ancaman bagi mereka…”

Wajahnya berubah menjadi sangat mengerikan, kulitnya mengelupas, matanya hitam legam. Aku berteriak, tapi tak ada suara keluar. Dunia di sekelilingku seperti membeku. Ketika akhirnya aku sadar, aku sudah berada di lantai, tubuhku lemah, dan di dinding tertulis dengan darah: “Jangan kembali ke rumah makan itu.”

Keesokan paginya, aku izin tidak masuk kerja. Aku pergi ke seorang ustaz yang direkomendasikan Rini. Setelah mendengar ceritaku, ustaz itu hanya menggeleng pelan. “Itu jin pesugihan, Mbak Reva. Ia menjaga rezeki haram dari rumah makan itu. Karena Mbak melihatnya, dia takut rahasianya terbongkar.”

“Lalu apa yang harus saya lakukan, Ustaz?” tanyaku dengan suara bergetar.

“Jangan pernah ke sana lagi, dan bersihkan diri dengan doa. Kalau bisa, laporkan rumah makan itu ke pihak berwenang. Tapi ingat, jangan lakukan sendirian.”

Sejak itu aku berusaha tidak melewati jalan rumah makan itu lagi. Tapi gangguan tidak sepenuhnya hilang. Kadang saat makan di tempat lain, aku merasa ada yang mengawasi. Kadang aroma busuk seperti daging basi muncul entah dari mana. Namun yang paling membuatku takut adalah satu kejadian seminggu kemudian.

Saat lembur malam di kantor, aku berjalan ke pantry untuk membuat kopi. Saat membuka lemari cangkir, di sana kulihat sosok wanita bergaun putih itu berdiri di dalam bayangan. Ia tersenyum, dan berbisik, “Mereka tak bisa selamat tanpaku, Reva. Dan kau juga…”

Cangkir di tanganku jatuh pecah. Aku lari sekencang mungkin meninggalkan ruangan itu. Tapi bahkan di parkiran, aku masih mendengar langkah kaki di belakangku. Langkah berat, lambat, seperti mengikuti setiap detakku.

Sejak hari itu, aku memutuskan pindah kerja ke kota lain. Aku pikir dengan menjauh, semuanya akan berakhir. Tapi semalam, di kota baruku ini, aku makan di warung kecil dekat kosan. Saat makananku datang, aku melihat bayangan putih di cermin belakang kasir—wanita itu, masih dengan gaun kotornya, berdiri menatapku sambil tersenyum.

Dan aku tahu… dia belum selesai denganku.

Posting Komentar