Teror Hantu Pemakan Kaki di Vila Berkasih
Kisah Mistis Tukang Pijit di Vila Berkasih
Namaku Rina, usia 27 tahun. Aku bekerja sebagai tukang pijit di sebuah salon kecil, pijit plus juga aku jalani, tempat kerjaku di kawasan Berkasih, daerah pegunungan yang sejuk di Jawa Barat. Kadang, selain pelanggan tetap, aku juga menerima order pribadi melalui pesan WhatsApp. Pekerjaan ini tidak mudah, apalagi di kota kecil seperti ini, di mana gosip cepat menyebar. Banyak yang menganggap kami sebagai tukang pijit plus-plus yang cantik, aku tidak peduli, yang penting mendapatkan uang. Hidup harus terus berjalan. Aku hanya ingin cukup uang untuk membayar kos dan membantu ibu di kampung.
Malam itu, hujan baru saja berhenti. Udara lembap, kabut turun dari pegunungan, menutupi jalanan kecil menuju kompleks vila-vila lama di kawasan atas Berkasih. Pukul delapan malam, aku menerima pesan dari nomor tak dikenal.
“Mbak Rina ya? Bisa pijit sekarang? Saya di Vila Berkasih Blok D-7. Bayarnya 500 ribu ya, dua jam. Cepat ya, Mbak.”
Nomor itu tanpa foto profil, tanpa nama. Tapi aku butuh uang. Akhir-akhir ini pelanggan sepi. Jadi tanpa berpikir panjang, aku langsung menjawab.
“Baik, Pak. Saya otw sekarang.”
Sambil mengenakan jaket, baju putih dan celana rok mini, aku bergegas menyalakan motorku. Rina, teman sekosku, sempat menatap heran.
“Ke mana, Rin? Malam-malam banget. Nanti kena begal.”
“Orderan, di Vila Berkasih,” jawabku cepat.
Ia terdiam sesaat, lalu menatapku dengan ekspresi khawatir. “Vila Berkasih? Hati-hati ya. Katanya banyak yang aneh di sana. Dulu pernah ada tukang ojek yang hilang waktu ngantar penumpang ke sana. Gak pernah balik.”
Aku tertawa kecil, meski jujur sedikit merinding. “Ah, paling cuma cerita warga. Lagian, vila itu kan udah lama kosong. Mungkin cuma rumah tua yang disewa lagi.”
“Ya sudah, tapi jangan lama-lama,” katanya. “Kalau ada yang aneh, langsung kabur.”
Aku mengangguk dan melaju ke arah vila. Jalanan mulai sepi, hanya ada suara jangkrik dan sesekali lolongan anjing dari kejauhan. Kabut makin tebal, membuat jarak pandang terbatas. Ketika sampai di depan gerbang besar bertuliskan “Vila Berkasih,” jantungku berdetak sedikit lebih cepat.
Vila-vila di sana berjajar rapat, tapi sebagian besar tampak kosong. Lampu taman padam, rumput liar tumbuh di mana-mana. Vila D-7 terletak agak di ujung, dekat jurang kecil. Bangunannya besar, tapi kusam dan tampak ditinggalkan. Pintu kayunya sedikit terbuka, dan hanya ada satu lampu redup di teras.
“Halo... permisi?” panggilku sambil mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Aku kirim pesan ke nomor yang tadi, tapi centangnya satu. Mungkin sinyal jelek, pikirku.
Pintu itu terbuka sedikit. Aku menyorotkan senter HP ke dalam. “Halo, Pak? Saya Rina, tukang pijit yang Bapak pesan.”
Suara tetesan air terdengar dari atap bocor. Bau lembap bercampur tanah basah memenuhi hidungku. Di ruang tamu, kulihat sofa tua yang robek di sisi, meja berdebu, dan foto hitam putih di dinding. Foto itu memperlihatkan pria tua dengan satu kaki terbalut perban, menatap tajam ke arah kamera.
“Kok serem banget ya tempatnya,” gumamku pelan.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki pelan dari arah dapur. Aku menegang. “Permisi, Pak?” Aku melangkah ke arah suara itu. Lantai kayu berderit di bawah kakiku. Begitu sampai di dapur, langkah itu berhenti. Tapi di lantai, ada jejak kaki basah — besar, berat, dan hanya satu arah, menuju tangga ke lantai dua.
Rasa penasaran bercampur takut. Aku menatap tangga kayu itu lama, lalu HP-ku bergetar. Pesan baru masuk.
“Mbak, jangan ke atas.”
Nomor yang sama. Aku membeku. Bagaimana mungkin dia tahu aku mau naik? Aku menatap sekeliling, tapi vila itu sunyi. Hanya suara jam tua berdetak di ruang tamu.
Seketika lampu ruang tamu menyala. Aku terlonjak. Di sofa, duduk seseorang berjaket hitam. Aku tak bisa melihat wajahnya karena bayangan menutupi. Aku memberanikan diri berbicara.
“Pak... Bapak yang pesan pijit, ya?”
Ia diam. Tak ada jawaban. Saat aku melangkah lebih dekat, tubuhnya tiba-tiba menghilang — seperti kabut yang buyar. Aku mundur beberapa langkah sambil menahan napas. “Astaga...”
Dari arah dapur terdengar suara berat menyeret sesuatu. “Kkk... kaki... kakiiiii...” Suaranya parau, seperti keluar dari tenggorokan rusak. Aku berlari ke pintu, tapi terkunci rapat. Gagang pintunya berputar sendiri, dan suara “klik” terdengar — terkunci dari dalam.
“Tolong! Ada orang?!” Aku menghantam pintu, tapi tak ada yang datang. Lalu kudengar napas berat di belakangku. Ketika menoleh... aku melihatnya.
Sesosok makhluk tinggi, kulitnya pucat kehijauan, tanpa kaki dari lutut ke bawah. Tubuhnya melayang sedikit di atas lantai, rambutnya panjang acak-acakan menutupi wajah. Di ujung tubuhnya menetes darah hitam.
“Aku... lapar...” desisnya lirih, matanya merah menyala menatap ke arah kakiku.
Aku menjerit dan berlari menaiki tangga. Di lantai dua, ada lorong panjang dengan beberapa kamar. Aku memilih kamar di ujung, pintunya terbuka dan lampunya menyala. Di dalam, ada meja rias tua dan foto wanita muda dengan seragam pijat seperti milikku. Wajahnya manis tapi pucat, matanya kosong. Di bawah foto itu tertulis: “Rina.”
“Apa-apaan ini...?” bisikku ngeri. Tiba-tiba dari cermin di meja rias, kulihat bayangan perempuan di belakangku. Aku menoleh cepat — kosong. Tapi kemudian bisikan halus terdengar di telingaku.
“Rina...”
Aku terlonjak mundur. Dan saat itu, perempuan di foto muncul di cermin. Wajahnya rusak, bibirnya sobek, dan kakinya... hanya tinggal tulang yang retak-retak. Ia menatapku tajam dan tersenyum mengerikan.
“Kau... yang berikutnya...” katanya pelan.
“Jangan... jangan dekati aku!” Aku berlari keluar kamar, tapi setiap pintu yang kubuka, semua berakhir di tempat yang sama — kamar dengan meja rias itu. Lingkaran tanpa akhir. Aku menangis dan menghantam dinding, tapi tak ada jalan keluar.
HP-ku bergetar lagi. Pesan baru muncul di layar.
“Mbak Rina, maaf, order pijitnya dibatalkan. Salah kirim nomor.”
Mataku membesar. Salah kirim? Tapi aku sudah di sini. Siapa yang mengirim pesan pertama tadi?
Ruangan mendadak gelap. Lampu mati, udara berubah dingin menusuk. Dari bawah, terdengar langkah kaki diseret lagi. Tangga berderit, langkah demi langkah semakin dekat.
“Aku lapar... aku ingin kakimu...”
Suara itu semakin keras. Aku menjerit dan masuk kembali ke kamar, menutup pintu rapat-rapat. Tapi pintu bergetar, seperti didorong dari luar. Sesuatu menggaruk kayu dengan kuku panjang. “Kkkkkkkkaki... kasih aku kakiiii...”
Suara tawa serak terdengar, bergema di seluruh vila. Aku jatuh terduduk di pojok, menutup telinga. Tanganku gemetar hebat. Tapi saat menunduk, kulihat sesuatu yang membuat darahku berhenti mengalir. Di lantai dekat kakiku... ada bekas gigitan besar. Kulitku robek, darah menetes. “TIDAKKKK!” teriakku histeris.
Tiba-tiba semuanya gelap.
Saat aku sadar, aku sudah berada di luar vila. Matahari pagi mulai muncul. Udara dingin pagi menghembus lembut, tapi aku menggigil. Vila di depanku tampak lebih tua dan usang. Catnya terkelupas parah, jendelanya pecah, dan di gerbangnya tergantung papan bertuliskan: “Dilarang Masuk. Lokasi Pembunuhan Tahun 2012.”
“Apa... apa yang terjadi?” Aku memegang kakiku. Dingin. Saat kulihat, aku berteriak. Dari lutut ke bawah... kosong. Tidak ada. Hanya darah kering di ujung paha. Aku jatuh tersungkur, menangis, tapi suaraku nyaris tak terdengar.
Dari arah dalam vila, terdengar suara perempuan menangis pelan. “Tolong aku... tolong...” Suara itu aneh dan tidak asing.
Aku menoleh dengan tubuh gemetar. Di jendela lantai dua, terlihat bayangan perempuan berdiri. Rambut panjang menutupi wajahnya. Dari pinggang ke bawah... tidak ada kaki. Ia melayang perlahan, lalu menghilang di balik tirai robek. Aku meminta tolong sekeras mungkin, namun aku teringat sesuatu, flashback suara minta tolong yang sebelumnya ternyata adalah miliku sendiri.
Beberapa hari kemudian, warga sekitar menemukan sandal wanita dan handphone rusak di depan vila D-7. Polisi datang memeriksa, tapi tidak menemukan siapa pun. Vila itu kembali kosong. Namun, malam-malam tertentu, warga yang lewat mengaku mendengar suara perempuan menangis dan mengetuk-ngetuk kaca, minta tolong. Kadang mereka juga melihat bayangan hitam melayang di teras, dengan darah menetes dari tubuhnya.
“Itu si Rina,” kata seorang penjaga malam. “Dia yang dipanggil oleh hantu pemakan kaki. Konon, dulu ada gadis pijat yang dibunuh di vila itu tahun 2012. Kakinya hilang. Sampai sekarang, arwahnya masih mencari pengganti.”
Rumor itu menyebar cepat. Orang-orang takut melewati jalan menuju Vila Berkasih. Bahkan tukang ojek pun menolak mengantarkan siapa pun ke sana, meski dibayar mahal.
Tapi konon, setiap beberapa bulan sekali, ada saja nomor misterius yang mengirim pesan ke para tukang pijit di sekitar Berkasih. Pesannya selalu sama.
“Mbak, bisa pijit malam ini? Vila Berkasih, Blok D-7.”
Dan mereka yang nekat datang... tak pernah pulang.
Entah siapa yang benar-benar menghuni vila itu. Arwah gadis korban pembunuhan, atau hantu pemakan kaki yang selalu lapar mencari mangsa baru. Tapi satu hal yang pasti — di Vila Berkasih, tak ada yang benar-benar mati. Mereka hanya menunggu giliranmu datang.
Suatu malam, ponsel seorang tukang pijit kembali berbunyi. Nomor tanpa nama mengirim pesan.
“Mbak Rina, bisa pijit sekarang? Bayarnya 500 ribu, di Vila Berkasih Blok D-7.”
Padahal Rina sudah lama hilang.

Posting Komentar