Suara Ratapan di Kuburan Sumba

Table of Contents
Suara Ratapan di Kuburan Sumba - Cerpen Horor Mania

Kisah Arwah Hitam di Kuburan Batu Sumba

Malam itu, angin dari arah selatan berhembus kencang, membawa aroma garam laut dan bau tanah basah yang khas dari tanah Sumba. Di pinggir sebuah desa terpencil di Sumba Timur, seorang wanita bernama Rara berjalan perlahan menyusuri jalan setapak berbatu. Ia seorang ibu rumah tangga berusia tiga puluh lima tahun, tinggal bersama anak perempuannya yang masih kecil, Dini. Suaminya, Niko, sudah dua bulan merantau ke Waingapu untuk bekerja sebagai tukang bangunan. Sejak kepergian suaminya, Rara hidup sederhana di rumah kayu peninggalan orang tuanya yang berdiri di pinggir kebun jagung dan berjarak hanya beberapa ratus meter dari kompleks kuburan batu kuno yang disebut Watu Kambaniru.

Kuburan batu itu bukan sembarang makam. Ia berdiri megah di atas bukit rendah, terbuat dari batu besar yang diukir dengan simbol-simbol leluhur. Di bawahnya, konon dikubur bangsawan tua dari masa perang suku, bersama harta dan keris pusaka. Namun yang paling menyeramkan bukanlah cerita tentang harta karun itu, melainkan kisah seorang perempuan yang bunuh diri di sisi kuburan setelah kehilangan anaknya dalam perang. Penduduk desa menyebut arwah itu “Ina Kambaniru”—sosok perempuan berpakaian hitam compang-camping yang masih mencari anaknya hingga kini.

Malam itu, Rara hanya berniat mengambil jemuran yang belum diangkat. Langit sudah gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang separuh tertutup awan. Saat ia menuruni halaman belakang, suara jangkrik terdengar riuh, tapi tiba-tiba berhenti begitu saja. Udara di sekitarnya menjadi dingin dan sunyi. Dari kejauhan, samar-samar terdengar suara tangisan perempuan.

“A...a...anakku...” suara itu lirih, seolah datang dari arah kuburan batu.

Rara tertegun. Ia menoleh ke segala arah, tapi tak melihat siapa pun. Hanya pepohonan lontar yang bergoyang perlahan. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri. “Ah, mungkin cuma suara burung malam,” gumamnya, tapi jantungnya berdegup lebih cepat.

Namun suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas. “Anakku... kembalikan anakku...”

Rara mulai panik. Ia memutuskan untuk bergegas kembali ke rumah, tapi langkahnya terhenti ketika dari balik kabut muncul siluet hitam tinggi menjulang. Sosok itu berpakaian hitam compang-camping, kainnya lusuh seperti kain tenun lama yang sudah hancur dimakan waktu. Rambutnya panjang menutupi wajah, dan setiap langkahnya meninggalkan jejak basah di tanah yang kering.

“Siapa... siapa kau?” suara Rara bergetar. Ia tidak mendapatkan jawaban, hanya angin dingin yang berdesir di telinganya. Sosok itu berhenti di depan kuburan batu dan perlahan mendongak. Dari sela rambutnya, tampak wajah pucat dengan mata kosong yang menatap langsung ke arah Rara. Bibirnya bergerak pelan, membentuk kata yang sulit dimengerti, lalu terdengar jelas di udara: “Kau mengambil anakku...”

Rara menjerit dan berlari sekencang-kencangnya pulang. Ia hampir terjatuh beberapa kali, namun terus berlari hingga mencapai rumah. Dengan tergesa ia menutup pintu dan menguncinya rapat. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat. Dini, yang mendengar keributan, keluar dari kamarnya sambil membawa boneka kesayangannya.

“Ibu kenapa?” tanya Dini polos. “Tidak apa-apa, sayang. Masuk ke kamar, ya. Ibu cuma... kaget.” “Tapi Ibu pucat...” Rara tersenyum lemah. “Tidak apa-apa. Ibu cuma kedinginan.”

Malam itu mereka tidur berdempetan. Namun Rara tidak benar-benar bisa memejamkan mata. Dari luar rumah, suara angin terus menderu. Dan di sela-sela desiran angin itu, samar-samar ia masih mendengar suara tangisan perempuan.

Esok paginya, Rara pergi ke rumah tetangganya yang sudah tua, Mama Nida. Wanita itu dikenal bijak dan mengerti hal-hal gaib yang sering terjadi di desa. Setelah mendengar cerita Rara, Mama Nida menghela napas panjang. “Kalau kau mendengar suara tangisan di kuburan batu, jangan pernah menjawab atau mendekat,” katanya serius. “Itu suara Ina Kambaniru. Arwahnya belum tenang sejak berabad-abad lalu.”

“Tapi kenapa dia mendatangiku, Mama?” “Kadang arwah seperti itu tertarik pada orang yang memiliki hubungan darah atau kemiripan dengan orang yang dulu dicintainya. Bisa jadi kau adalah keturunan jauh dari keluarganya.”

Rara merinding mendengarnya. Sejak malam itu, gangguan aneh semakin sering terjadi. Saat malam tiba, lampu rumah sering padam tiba-tiba. Di dinding terdengar ketukan halus, dan di kamar Dini kadang tercium aroma kain basah bercampur tanah. Bahkan beberapa kali, Dini terbangun sambil menangis ketakutan. “Ibu... dia di jendela...” katanya sambil menunjuk ke arah luar. Rara menoleh, tapi hanya melihat bayangan samar seperti kain hitam melambai di balik kaca.

Suatu malam, Rara bermimpi berjalan di tengah kabut. Di hadapannya berdiri kuburan batu besar dengan lumut hijau di sisi-sisinya. Di depan batu itu berdiri perempuan berpakaian hitam yang wajahnya penuh luka. “Kau tahu siapa aku?” tanya perempuan itu. Rara menggeleng. “Dulu aku punya anak perempuan sepertimu. Tapi mereka membunuhnya, dan aku dikubur di sini... menunggu anakku kembali. Sekarang... kau yang menggantikannya.” Rara berteriak, dan saat terbangun, tubuhnya gemetar hebat. Di tangannya ada bekas tanah hitam seperti baru saja menggali sesuatu.

Hari-hari berikutnya berubah menjadi mimpi buruk. Pagi hari terasa hampa, malam hari menjadi teror. Dini jatuh sakit tanpa sebab, panas tinggi dan terus mengigau. Kadang Dini berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti. “Ibu... Ina memanggilku... katanya aku anaknya...”

Rara panik. Ia membawa Dini ke puskesmas, tapi dokter bilang tidak ada penyakit apa pun. Hanya kelelahan. Rara tahu itu bukan sekadar kelelahan. Setiap kali malam tiba, suara tangisan itu semakin keras. Ia mulai mendengar langkah kaki di atap, dan suara benda jatuh di dapur. Kadang pintu rumah terbuka sendiri meski sudah dikunci.

Suatu malam, Rara mendengar suara nyanyian dari arah luar rumah. Suaranya lembut, tapi membuat bulu kuduk berdiri. “Tidurlah... anakku... ibu menunggu di bawah batu...” Rara bangkit dan menyalakan lampu minyak. Ia berjalan pelan ke arah jendela. Dari sela tirai, ia melihat sosok perempuan berpakaian hitam compang-camping berdiri di tengah kabut, menatap rumahnya tanpa bergerak. Tangan kirinya memegang sesuatu yang mirip boneka jerami.

“Jangan ganggu anakku!” teriak Rara sambil menutup jendela. Tapi begitu ia menoleh, sosok itu sudah ada di dalam rumah, berdiri di pojok ruangan. Matanya menatap tajam, penuh amarah. “Dia anakku...” katanya dengan suara serak. “Tidak! Dia anakku, Dini anakku!” balas Rara histeris. Perempuan itu mendekat, dan udara di sekitarnya menjadi dingin membeku. Lilin padam, dan dalam kegelapan, Rara merasakan tangan dingin menyentuh wajahnya.

Pagi harinya, Rara ditemukan pingsan di ruang tamu dengan tubuh penuh tanah basah. Dini menangis di sampingnya sambil memeluk boneka jerami yang belum pernah mereka punya sebelumnya. Mama Nida datang dan langsung tahu bahwa arwah Ina Kambaniru telah “menempel” pada Rara. “Dia tidak akan berhenti sebelum kau menenangkan arwahnya,” kata Mama Nida. “Kau harus kembali ke kuburan itu, membawa persembahan dan memohon ampun.”

Rara ketakutan, tapi ia tahu hanya itu satu-satunya jalan. Malam berikutnya, ditemani Mama Nida dan beberapa warga, mereka menuju Watu Kambaniru. Angin malam bertiup kencang, membawa suara-suara aneh dari kejauhan. Kabut turun tebal hingga menutupi pandangan. Mereka menyalakan obor dan berjalan mendaki bukit batu.

Di depan kuburan besar itu, Rara berlutut sambil membawa selembar kain tenun hitam dan dupa yang menyala. Suaranya bergetar ketika ia berbicara, “Maafkan aku, leluhur. Aku tidak bermaksud mengganggumu. Aku hanya ingin kau tenang. Jangan ambil anakku, aku mohon...”

Kabut di sekeliling mereka tiba-tiba berputar. Dari dalamnya muncul sosok perempuan berpakaian compang-camping itu. Ia berjalan perlahan mendekati Rara. Wajahnya kini tampak lebih jelas—pucat, dengan mata kosong yang berair. “Anakku...” katanya lirih. “Dia sudah bukan milikmu lagi,” balas Rara dengan berani. “Aku tahu kau kehilangan anakmu. Tapi sekarang, biarkan kami hidup. Aku keturunanmu, aku tidak melupakanmu.”

Perempuan itu berhenti. Matanya yang kosong tampak bergetar, seolah memahami sesuatu. Lalu angin berhenti berhembus. Kabut menipis, dan dari kejauhan terdengar suara gemericik air sungai. Sosok itu menatap Rara untuk terakhir kalinya sebelum tubuhnya perlahan memudar, hilang ditelan udara.

Sejak malam itu, tidak ada lagi suara tangisan di kuburan batu. Dini sembuh, dan rumah mereka terasa lebih tenang. Namun Rara tahu, sesuatu dari arwah itu masih tersisa di sekelilingnya. Kadang saat ia menenun di beranda, kain yang ia buat bergerak sendiri, seperti tersentuh tangan lembut yang tak terlihat. Dan setiap kali angin malam datang dari arah selatan, ia mendengar bisikan pelan di telinganya. “Terima kasih, anakku...”

Beberapa bulan kemudian, Niko pulang. Ia mendengar cerita Rara dengan wajah tak percaya. “Jadi semua itu nyata?” Rara tersenyum lelah. “Lebih nyata dari apa pun. Ada hal-hal yang tak bisa dijelaskan, Niko. Di tanah ini, arwah leluhur masih hidup bersama kita.”

Suaminya memeluknya erat. Sejak saat itu, mereka sering menyalakan dupa di halaman rumah setiap malam Jumat, sebagai bentuk penghormatan kepada arwah keluarga mereka yang telah pergi. Rara tidak pernah lagi diganggu oleh sosok berpakaian hitam itu, tapi setiap kali melewati Watu Kambaniru, ia selalu menunduk hormat.

Bagi sebagian orang, kisah itu hanyalah cerita mistik yang dilebih-lebihkan. Namun bagi Rara, malam-malam panjang di bawah ratapan kuburan batu itu adalah bukti nyata bahwa dunia orang mati dan dunia manusia tidak sepenuhnya terpisah. Ada saat-saat di mana keduanya bersentuhan, dan jika tidak berhati-hati, satu langkah saja bisa membuat seseorang terjebak di antara dua dunia selamanya.

Dan hingga kini, warga desa masih percaya: pada malam-malam ketika bulan separuh tertutup awan, kadang terdengar suara tangisan lembut dari arah kuburan batu di bukit. Suara itu bukan ancaman—melainkan ratapan seorang ibu yang akhirnya menemukan kedamaian setelah ratusan tahun mencari anaknya. Suara yang hanya bisa didengar oleh mereka yang memiliki darah yang sama dengannya.

Rara tahu, suara itu kini bukan lagi kutukan. Ia adalah panggilan kasih sayang dari leluhur, pengingat bahwa di tanah Sumba yang penuh sejarah dan misteri, setiap batu dan angin menyimpan kenangan yang tak akan pernah mati.

Posting Komentar