Hantu di Rumah Tradisional Minang

Table of Contents
Hantu di Rumah Tradisional Minang - Cerpen Horor Mania

Kisah Mistis Puti Mariani di Rumah Gadang

Namaku Rani, seorang pegawai kantoran di Padang. Hidupku berjalan datar dan nyaris tanpa kejutan. Pagi hari aku berangkat kerja, tenggelam dalam tumpukan laporan, dan malam hari hanya dihabiskan dengan menatap layar ponsel atau menonton film horor yang tak pernah benar-benar menakutkanku. Aku pikir, dunia nyata terlalu logis untuk dihantui. Tapi itu sebelum aku dikirim ke Tanah Datar.

Suatu pagi di kantor, atasanku, Pak Surya, memanggilku ke ruangannya. “Rani, ada proyek survei untuk properti warisan budaya. Kita mau mengajukan kerja sama untuk restorasi rumah gadang tua di Tanah Datar. Kau bisa berangkat besok pagi?”

“Besok, Pak?” tanyaku kaget. “Saya sendiri?”

Pak Surya mengangguk. “Ya. Kau paling teliti soal laporan struktur bangunan. Cuma survei visual, kok. Nanti sopir kantor akan menemanimu.”

Aku mengangguk walau agak ragu. Rumah tua? Di daerah terpencil? Tapi, sebagai karyawan baru, aku tak bisa menolak. Aku menerima tugas itu dengan senyum profesional, meski di dalam hati terbersit rasa khawatir yang sulit dijelaskan.

Keesokan paginya, mobil kantor sudah menunggu di depan kosanku. Sopirnya, seorang pria tua bernama Pak Darman, menyapaku dengan sopan. Kami berangkat pukul tujuh pagi, melewati jalanan berliku yang dikelilingi pepohonan rindang. Di beberapa titik, kabut tipis turun dari perbukitan, membuat perjalanan terasa seperti menembus dunia lain.

“Rumah gadang yang akan Ibu survei itu sudah lama tak dihuni,” kata Pak Darman sambil menatap jalan di depan. “Kata orang sini, rumah itu milik keturunan bangsawan dulu. Tapi sejak putri bungsunya meninggal, tak ada yang mau tinggal di sana.”

“Kenapa?” tanyaku penasaran. “Rumahnya rusak atau dijual?”

“Tidak, Bu. Rumahnya masih kokoh. Tapi katanya, arwah si putri masih menunggu di sana. Orang menyebutnya Puti Mariani.”

Namanya terdengar lembut, tapi ada sesuatu di balik nada suara Pak Darman yang membuatku bergidik. “Ah, mitos lokal, Pak. Saya sudah sering dengar cerita begitu,” ucapku mencoba santai.

“Mungkin, Bu. Tapi di kampung, mitos sering lahir dari kenyataan yang pernah terjadi,” jawabnya pelan.

Perjalanan terus berlanjut. Jalan semakin sempit, hingga akhirnya kami tiba di depan rumah gadang yang dimaksud. Rumah itu berdiri di tengah padang hijau, dikelilingi pepohonan besar dan bunga liar yang tumbuh tanpa terurus. Atap gonjongnya yang melengkung ke atas terlihat megah namun menakutkan, seolah tanduk-tanduk itu siap menusuk langit kelabu di atasnya.

“Saya tunggu di mobil saja, ya, Bu,” ujar Pak Darman cepat, seperti ingin menghindari sesuatu.

“Baiklah,” jawabku. Aku melangkah menaiki tangga kayu yang kokoh tapi berdebu. Udara di sekitar terasa lembap dan aneh, seperti ada sesuatu yang mengawasi dari kejauhan.

Pintu rumah gadang itu sedikit terbuka. Saat kudorong, suara engsel tua berderit panjang. Aroma kayu lapuk dan debu menyambutku. Di dalamnya, ruangan besar terbentang dengan tiang-tiang kayu yang tinggi. Cahaya matahari masuk dari celah dinding, menimbulkan pola bayangan yang tampak seperti gerakan lembut seseorang di antara tiang-tiang itu.

“Permisi, saya dari kantor dinas kebudayaan. Mau survei bangunan,” panggilku. Suaraku menggema ke seluruh ruangan, tapi tak ada jawaban.

Aku mulai berjalan pelan, memotret bagian dalam rumah. Di sisi kanan, tampak beberapa lemari tua dengan ukiran khas Minang. Di sisi kiri, sebuah ranjang besar dari kayu jati, di atasnya terlipat kain putih lusuh. Aku mendekat untuk melihat, dan tiba-tiba, kain itu bergerak sendiri. Seolah ada tangan di bawahnya yang menarik.

“Astaga…” bisikku pelan sambil mundur. Aku menatap tajam, mencoba memastikan apa aku hanya berhalusinasi. Tapi ketika kain itu terangkat perlahan dan jatuh lagi ke lantai, aku mendengar sesuatu—napas. Napas halus, seperti milik seorang perempuan.

“Ada orang?” tanyaku cepat. Tak ada jawaban. Tapi di balik ranjang itu, kulihat sepasang kaki tanpa alas. Putih pucat, menggantung tanpa menyentuh lantai.

Seketika tubuhku kaku. Aku ingin berlari, tapi suaranya terdengar lagi, kali ini lebih dekat. “Jangan pergi…”

Sebuah sosok muncul dari balik tiang. Rambutnya panjang menjuntai hingga ke lantai, wajahnya tertutup sebagian, dan baju putihnya robek di beberapa bagian. Dari bawah rambutnya, aku melihat setitik merah di pipi—darah?

“Pulanglah… ini rumahku,” bisiknya dengan suara lembut yang menggema di telingaku.

Aku menjerit dan berlari keluar. Di luar, Pak Darman tampak panik saat melihatku pucat pasi. “Ada apa, Bu Rani?”

“Ada perempuan di dalam, Pak! Saya lihat sendiri!” jawabku terbata. Tapi ketika kami menoleh ke arah rumah itu, pintunya tertutup rapat, seperti tak pernah terbuka.

Pak Darman menarik tanganku pelan. “Sudah, Bu. Kita pergi. Tempat ini tidak suka diganggu.”

Kami langsung kembali ke mobil dan meninggalkan tempat itu tanpa menoleh ke belakang. Namun di kaca spion, aku sempat melihat sesuatu di beranda rumah itu—sosok putih yang berdiri diam, menatap mobil kami menjauh.

Malamnya, di penginapan kecil di Batusangkar, aku mencoba menenangkan diri. Tapi rasa takut itu tak hilang. Aku membuka laptop dan memeriksa foto-foto hasil survei. Sebagian besar tampak normal, sampai aku menemukan satu foto aneh. Di salah satu sudut ruang tengah, terlihat bayangan samar perempuan berdiri di belakang tiang kayu. Bayangan itu jelas bukan pantulan atau efek cahaya.

Aku menutup laptop dengan cepat, mencoba menepis pikiran buruk. Tapi rasa gelisah itu terus mengganggu. Pukul dua dini hari, aku terbangun karena mendengar suara langkah di luar kamar. Langkah pelan, berirama, seolah seseorang berjalan sambil menyeret kain panjang.

“Pak Darman?” panggilku dari dalam kamar. Tak ada jawaban. Langkah itu berhenti tepat di depan pintu. Aku menahan napas. Sunyi. Lalu, dari sela pintu, terdengar suara lembut.

“Kenapa kau kembali?”

Darahku serasa berhenti mengalir. Aku menatap pintu itu yang mulai bergetar pelan, seolah ada yang mendorong dari luar. Aku berlari ke arah jendela, membukanya, dan keluar lewat sana tanpa berpikir. Aku langsung menuju mobil dan menghidupkan mesin, melarikan diri ke arah jalan utama tanpa menoleh ke belakang.

Namun, di spion tengah mobil, aku melihat sosok itu duduk di kursi belakang. Rambutnya menutupi wajah, dan dari sela-selanya tampak senyum tipis yang aneh. Aku menjerit sekencang-kencangnya dan membanting setir. Mobil oleng dan berhenti di pinggir jalan.

Pagi harinya, aku ditemukan warga dalam keadaan pingsan. Kata mereka, aku terus bergumam tentang “rumah gadang berdarah”. Polisi datang menanyai, tapi ketika kami kembali ke lokasi rumah itu, semuanya tampak berbeda. Tidak seseram kemarin, tapi tetap sunyi. Namun di salah satu tiang kayu, ada bercak merah tua yang terlihat seperti darah.

Seorang lelaki tua setempat mendekat padaku. “Anak muda, kau melihatnya, ya?” katanya dengan suara pelan.

“Melihat apa, Pak?” tanyaku ragu.

“Puti Mariani. Ia meninggal terbakar di rumah ini puluhan tahun lalu. Katanya, malam sebelum kebakaran, ia dipaksa menikah dengan bangsawan yang tak dicintainya. Ia memilih mengurung diri di kamar. Saat api melahap rumah, semua orang sempat keluar, tapi ia… tidak.”

Suara lelaki tua itu membuat bulu kudukku berdiri. “Jadi rumah ini… benar-benar berhantu?”

Ia hanya tersenyum pahit. “Kau bisa sebut itu hantu. Tapi di sini, kami menyebutnya roh penunggu. Ia menjaga rumah ini dari tangan-tangan yang serakah.”

Setelah kejadian itu, aku meminta dipindahkan ke bagian administrasi agar tak perlu lagi melakukan survei lapangan. Tapi sejak malam itu, aku tidak pernah benar-benar tenang. Di kamar kosku, kadang aku mendengar suara langkah yang sama—pelan, menyeret, berirama. Kadang, ketika aku bekerja lembur sendirian di kantor, layar komputerku tiba-tiba berubah menjadi gelap, dan di pantulannya, aku melihat sosok perempuan berpakaian putih berdiri di belakangku.

Aku mencoba mengabaikannya. Tapi suatu malam, sekitar pukul sebelas, aku mendengar suara berbisik dari arah jendela kantor. “Kau tak seharusnya meninggalkanku, Rani…”

Aku menoleh cepat, tapi hanya melihat bayangan di kaca. Bayangan seorang perempuan dengan rambut panjang dan mata merah menyala. Aku menjerit, tapi seluruh lampu kantor padam bersamaan. Setelah malam itu, aku tak pernah datang ke kantor lagi.

Mereka bilang aku menghilang. Di meja kerjaku, hanya ada tumpukan dokumen berserakan dan satu foto rumah gadang di atasnya. Foto yang sama dengan yang kupotret hari itu. Bedanya, kini ada dua sosok di foto itu—aku, dan perempuan berpakaian putih yang berdiri di sebelahku, tersenyum samar.

Beberapa bulan kemudian, rumah gadang itu kembali menjadi bahan pembicaraan warga. Ada yang bilang, setiap malam Jumat, terlihat dua sosok perempuan berdiri di beranda rumah itu. Salah satunya mengenakan pakaian kantor, satunya lagi berkebaya putih, rambutnya terurai panjang. Keduanya menatap jalan, seolah menunggu seseorang yang tak pernah datang.

Dan konon, siapa pun yang berani memotret rumah itu dari dekat akan mendapati sosok tambahan di hasil fotonya—seorang wanita muda dengan ekspresi kosong, berdiri di samping Puti Mariani. Mereka bilang, roh itu bukan lagi penunggu rumah gadang… tapi sudah menjadi bagian darinya.

Nama wanita itu adalah Rani—dan aku, mungkin, kini hanya cerita lain dari hantu di rumah tradisional Minang.

Posting Komentar