Hantu Tali Pocong Penghuni Rumah Kosong

Table of Contents
Hantu Tali Pocong Penghuni Rumah Kosong - Cerpen Horor Mania

Kisah Mistis Tali Pocong di Rumah Kosong Jawa Timur

Malam di sebuah kota kecil di Jawa Timur itu selalu terasa sepi. Arum, seorang wanita pekerja kantoran berusia tiga puluhan, baru saja pindah ke rumah kontrakan kecil yang sederhana. Rumah itu berada tepat di sebelah sebuah bangunan kosong yang sudah lama tak berpenghuni. Bangunan itu tampak rapuh, catnya mengelupas, dan jendela-jendela kayunya berderit bila tertiup angin. Sejak pertama kali menempati kontrakan itu, Arum merasa ada sesuatu yang berbeda dengan suasana sekitar. Namun ia mencoba mengabaikannya karena tidak ingin pikirannya dipenuhi rasa takut.

Setiap pulang kerja, sekitar pukul delapan malam, Arum kerap melewati halaman samping rumah kosong itu. Awalnya, ia hanya mendengar suara aneh, seperti kain yang diseret di lantai atau suara benda jatuh tanpa sebab. "Mungkin hanya tikus," pikirnya dalam hati, mencoba menenangkan diri. Namun perasaan itu tidak pernah hilang, semakin hari semakin kuat.

Suatu malam, ketika ia menyalakan lampu teras, matanya menangkap sesuatu yang aneh. Dari celah jendela rumah kosong itu, ia melihat ada kain putih panjang tergantung, seperti seutas tali lusuh. Kain itu melambai-lambai seolah tertiup angin padahal udara malam itu terasa sangat pengap. Arum merinding. Ia segera masuk ke rumahnya dan mengunci pintu rapat-rapat.

Keesokan harinya, Arum bercerita kepada tetangganya, Bu Yati, seorang ibu paruh baya yang tinggal di depan kontrakannya.

"Bu, rumah kosong di sebelah itu... kenapa rasanya aneh ya? Saya kemarin lihat kain putih menggantung di dalamnya," kata Arum hati-hati.

Bu Yati menatapnya serius lalu berbisik, "Jangan macam-macam, Nak. Sudah banyak yang diganggu kalau terlalu penasaran dengan rumah itu. Dulu pemiliknya meninggal tidak wajar... katanya saat dikuburkan, tali pocongnya lupa dilepas."

Arum menelan ludah. "Maksudnya... kain itu...?"

"Ya, ada yang bilang arwahnya masih gentayangan. Kain yang kamu lihat mungkin tali pocongnya," jawab Bu Yati lirih.

Arum berusaha tertawa untuk menutupi rasa takutnya. "Ah, masa sih Bu... mungkin cuma kain biasa."

Tapi ucapan Bu Yati terus terngiang di telinganya. Malam itu, rasa penasarannya memuncak. Setelah pulang kerja, ia memberanikan diri mendekati rumah kosong itu. Ia menyalakan senter dari ponselnya, melangkah perlahan ke arah jendela yang sebelumnya ia lihat kain putih itu tergantung. Degup jantungnya semakin kencang. Dan benar saja, di sana, kain lusuh itu masih ada, tergantung panjang seperti tali. Tanpa berpikir panjang, ia nekat menarik kain itu lewat jendela yang terbuka sedikit.

Kain itu dingin, lembab, dan baunya menyengat. Arum bergidik saat meraih ujungnya. Saat kain itu berhasil ia tarik keluar, tiba-tiba terdengar suara berderit keras dari dalam rumah kosong. Seperti ada sesuatu yang bergeser. Arum panik dan segera berlari masuk ke rumahnya sambil membawa kain itu. Ia melempar kain tersebut ke atas meja ruang tamu, lalu bersembunyi di balik selimut.

Sejak saat itu, gangguan demi gangguan mulai menghantui kehidupannya. Malam pertama, ia mendengar suara ketukan keras di pintu belakang. "Tok... tok... tok..." Padahal jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Ia mengintip dari jendela, tapi tidak ada siapa-siapa. Malam berikutnya, ia mendengar suara seseorang menyeret sesuatu di lantai, seperti kain yang panjang. Suaranya datang dari ruang tamu, padahal ia sedang sendirian.

Malam berikutnya, gangguan itu semakin parah. Saat sedang menonton televisi, tiba-tiba layar TV berkedip lalu mati. Arum mendengar suara kain diseret di lantai rumahnya sendiri. Ketika ia menoleh ke ruang tamu, kain putih panjang yang ia bawa dari rumah kosong itu bergerak sendiri. Merayap pelan, seolah ingin mendekatinya.

"Astaghfirullah...!" teriak Arum sambil mundur ketakutan.

Ia mencoba membakar kain itu keesokan harinya. Namun, saat api hampir menyambar, kain tersebut tiba-tiba basah seperti habis direndam air, dan api padam begitu saja. Arum semakin panik. Ia bahkan mencoba membuang kain itu ke sungai kecil di dekat kampung. Namun esok paginya, kain itu kembali muncul di meja ruang tamu rumahnya. Arum menjerit histeris dan menangis ketakutan.

Suatu malam, ia terbangun karena suara langkah kaki berat dari ruang tamu. Dengan tubuh gemetar, ia memberanikan diri membuka pintu kamar. Di sana, ia melihat sosok putih berdiri di pojokan ruang tamu. Kain putihnya menjuntai, tubuhnya kaku, dan yang paling membuat darahnya membeku adalah tali pocong yang masih melilit erat kepalanya. Sosok itu tidak menampakkan wajahnya, hanya berdiri kaku sambil menghadap ke arah Arum.

"Jangan... jangan mendekat!" teriak Arum dengan suara serak.

Sosok pocong itu tidak bergerak, tapi tiba-tiba tali yang melilit kepalanya terurai panjang hingga menjuntai ke lantai, bergerak seperti ular menuju kaki Arum. Ia menjerit histeris dan segera masuk kembali ke kamar, menutup pintu rapat-rapat. Namun suara seretan tali itu terus terdengar di balik pintu. Malam itu, ia tidak tidur sama sekali, hanya duduk di pojok kamar sambil membaca doa yang ia ingat.

Keesokan paginya, Arum mencoba meminta pertolongan seorang ustaz di kampung itu. Ustaz Rahman datang ke rumahnya untuk melihat kain yang ia bawa. Namun saat diperlihatkan, kain itu sudah tidak ada. Hilang tanpa jejak. Arum panik, ia yakin kain itu ada semalam.

"Mbak Arum, ini sudah keterlaluan. Kamu telah mengambil sesuatu yang seharusnya tidak disentuh. Arwah itu tidak akan tenang sebelum tali pocongnya kembali ke tempat semula," ujar Ustaz Rahman dengan wajah serius.

Arum gemetar. "Tapi... kain itu hilang, Ustaz. Saya tidak tahu ke mana."

Ustaz Rahman menatap dalam, lalu berkata, "Kalau begitu, kita harus mengembalikannya lewat doa. Tapi ingat, jangan sekali-kali menantang atau melawan. Semakin kamu melawan, semakin kuat ia menghantui."

Malam itu, Arum ditemani Ustaz Rahman membaca doa di ruang tamu. Namun suasana menjadi mencekam ketika lampu-lampu rumah tiba-tiba padam. Dari kegelapan, terdengar suara ketukan keras dari arah jendela. Kemudian, kain putih panjang itu muncul sendiri, menjuntai dari langit-langit rumah. Arum menjerit dan memeluk Ustaz Rahman erat-erat.

"Astaghfirullah...! Bacalah terus, Mbak Arum!" seru Ustaz Rahman sambil melanjutkan doa.

Tiba-tiba sosok pocong itu muncul lagi di pojokan ruangan. Kali ini lebih jelas, tubuhnya melayang sedikit di atas lantai. Tali pocongnya bergerak liar, seolah ingin mencekik Arum. Namun semakin kencang doa dibacakan, sosok itu perlahan memudar. Hanya saja, sebelum hilang sepenuhnya, terdengar suara serak berat yang bergema di seluruh ruangan.

"Kau... telah... membawanya..."

Arum pucat pasi. Malam itu, gangguan mereda. Namun sejak saat itu, ia tidak pernah lagi menemukan ketenangan di rumahnya. Kadang-kadang, ia masih mendengar suara kain diseret di lantai, atau ketukan pintu yang tiba-tiba. Rumah kosong di sebelahnya tetap berdiri angker, seolah menunggu korban berikutnya yang berani menyentuh tali pocong terkutuk itu.

Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk tanpa akhir. Arum mulai mengalami mimpi aneh. Dalam tidurnya, ia selalu melihat seorang pria dengan wajah tertutup kain putih berdiri di dekat sumur tua. Dalam mimpinya, pria itu menunjuk padanya sambil menggerakkan bibir seakan ingin berkata sesuatu. Namun tidak ada suara yang terdengar. Ketika Arum terbangun, ia selalu merasa ada sesuatu yang berdiri di ujung ranjangnya.

Rasa penasarannya bercampur dengan ketakutan. Arum akhirnya memberanikan diri bertanya lebih dalam kepada Bu Yati.

"Bu... pemilik rumah kosong itu, sebenarnya siapa?" tanya Arum dengan wajah pucat.

Bu Yati menghela napas panjang. "Namanya Pak Darmo. Dulu dia tinggal sendirian di rumah itu setelah ditinggal istrinya. Orangnya pendiam, jarang bersosialisasi. Suatu malam, dia ditemukan meninggal di kamarnya. Katanya meninggal karena sakit, tapi banyak yang bilang sebenarnya dia mati gantung diri. Saat dikuburkan, ada yang lupa melepaskan tali pocong di kepalanya."

Arum merinding. "Jadi... arwahnya tidak pernah tenang?"

"Ya, sejak itu rumahnya jadi angker. Banyak orang yang mengaku melihat sosok pocong melompat-lompat di halaman. Bahkan ada yang mendengar suara tali diseret. Tidak ada yang berani membeli rumah itu. Semua orang tahu, tali pocongnya masih ada," jelas Bu Yati.

Arum menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia merasa menyesal telah membawa tali itu keluar. Namun kini sudah terlambat. Gangguan itu semakin menjadi-jadi. Bahkan di kantor, ia sering melihat bayangan putih di pantulan layar komputernya. Rekan kerjanya mengira ia hanya kelelahan. Padahal Arum sedang berjuang melawan teror yang tak terlihat oleh orang lain.

Suatu malam, saat hujan deras, listrik di rumah padam. Arum mencoba menyalakan lilin. Namun saat lilin menyala, ia melihat kain putih panjang tergantung di langit-langit ruang tamu, meneteskan air seperti baru saja diangkat dari sumur. Ia menjerit, menjatuhkan lilin, dan berlari ke kamarnya. Dari balik pintu, ia mendengar suara keras: suara tali yang dipukulkan ke lantai berulang kali.

Ketika Ustaz Rahman datang kembali, ia berkata dengan wajah muram, "Arwah itu tidak hanya terikat pada tali, Mbak Arum. Tapi juga pada rumah ini. Selama rumah itu masih berdiri, terornya akan selalu ada."

Arum meneteskan air mata. Ia sadar, meski sudah berdoa, meski sudah mencoba mengembalikan semuanya, arwah itu tetap tidak tenang. Setiap malam ia masih mendengar suara seretan kain, ketukan pintu, dan bisikan samar. Ia tidak pernah tahu apakah suatu hari teror itu akan berhenti, atau justru semakin kuat hingga menyeretnya masuk menjadi bagian dari rumah kosong itu.

Dan hingga kini, Arum selalu bertanya-tanya: apakah benar tali itu sudah hilang, ataukah sebenarnya masih ada... bersembunyi di suatu sudut rumah, menunggu untuk kembali memperlihatkan terornya?

Tak ada yang tahu pasti. Namun satu hal yang jelas, rasa penasaran bisa membawa seseorang ke dalam kengerian yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Rumah kosong itu tetap berdiri, seolah menyimpan rahasia kelam tentang hantu tali pocong yang tidak pernah benar-benar pergi.

Posting Komentar