Hantu Pocong di Pemakaman Kampung Nelayan

Table of Contents
Hantu Pocong di Pemakaman Kampung Nelayan - Cerpen Horor Mania

Kisah Wartawan Diganggu Pocong Laut

Awan kelabu menggantung di atas laut sore itu ketika Ratri, seorang wartawan surat kabar, menjejakkan kakinya di sebuah kampung nelayan yang terpencil di pesisir utara Jawa. Udara asin bercampur bau amis ikan langsung menyambut, tapi bukan itu yang membuat langkahnya terasa berat. Ia datang bukan untuk menulis berita perihal hasil laut, melainkan sebuah laporan mengenai kisah-kisah misterius yang menyelimuti pemakaman tua di kampung tersebut. Ratri dikenal di redaksinya sebagai wartawan pemberani yang kerap meliput kisah-kisah aneh dan horor di pelosok negeri.

“Mbak yakin mau ke sana sendirian? Apalagi menjelang malam begini,” ucap Pak Jaya, seorang nelayan tua yang mengantarnya sampai batas desa. Tatapan matanya penuh rasa cemas, seakan ia tahu apa yang menunggu di depan sana.

Ratri tersenyum tipis sambil merapikan kameranya. “Saya sudah terbiasa liputan di tempat-tempat aneh, Pak. Lagi pula, saya hanya perlu beberapa foto dan keterangan. Besok pagi saya harus kirim naskah ke redaksi.”

Namun sorot mata Pak Jaya tak menunjukkan rasa lega. Lelaki tua itu berulang kali menoleh ke arah jalan kecil yang menuju ke pemakaman kampung, seolah ingin menahan Ratri agar tak melangkah lebih jauh. “Kalau begitu, jangan berlama-lama. Pemakaman itu bukan tempat biasa. Orang-orang kampung sini sudah jarang berani lewat sana malam-malam.”

Ratri mengangguk singkat. Rasa penasaran seorang jurnalis mengalahkan segala rasa takut. Ia menyalakan senter kecilnya dan mulai menyusuri jalan setapak yang gelap, diapit semak belukar yang bergerak-gerak tertiup angin laut. Suara serangga malam semakin nyaring, dan dari kejauhan terdengar deburan ombak yang tak pernah berhenti.

Sampai di gerbang pemakaman, hawa dingin menusuk tulang. Nisan-nisan tua berlumut berjejer rapat, beberapa hampir roboh. Dari jauh terdengar sayup-sayup suara ombak menghantam karang. Ratri menyalakan kamera dan mulai memotret. Saat ia menunduk untuk menulis catatan di buku kecilnya, tiba-tiba terdengar suara lirih—seperti seseorang yang sedang mengerang.

“Siapa di sana?” Ratri bersuara lantang, mencoba terdengar berani. Namun hanya angin yang menjawab. Daun kelapa kering berderak seolah menertawainya.

Ia melangkah lebih dalam, meneliti sebuah makam yang dipenuhi sesajen kering. “Sepertinya warga sini masih sering melakukan ritual,” gumamnya sambil mengambil foto. Bau bunga layu bercampur dengan aroma tanah basah, menciptakan suasana yang makin mencekam.

Baru saja ia hendak berpindah, tiba-tiba dari balik salah satu nisan muncul sosok putih melompat dengan gerakan kaku. Pocong. Matanya merah menyala di balik kain kafan yang lusuh, dan bau busuk langsung menusuk hidung Ratri.

“Astaga!” Ratri terhuyung, hampir menjatuhkan kameranya. Ia mundur beberapa langkah, tapi sosok itu terus mendekat, meloncat-loncat dengan suara kain terikat berdecit. Jantungnya berdegup kencang, tangan gemetar mencari-cari sesuatu di tas. Senter jatuh dan padam, menyisakan hanya cahaya bulan pucat yang menyorot wajah menyeramkan makhluk itu.

“Apa… mau apa kau dariku?” suara Ratri bergetar. Tak ada jawaban selain erangan berat, seperti suara seseorang yang kesakitan. Pocong itu berhenti tepat di depan sebuah nisan yang retak. Ratri bisa melihat jelas, matanya seperti memohon sekaligus mengancam.

Tiba-tiba, sosok itu lenyap begitu saja. Hilang ditelan gelap malam. Namun suara kain terseret masih terdengar samar-samar, seakan ia tak benar-benar pergi.

Ratri terdiam, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Ia mengira halusinasi, tapi kamera yang masih menggantung di leher terasa berat. Ia memberanikan diri melihat layar hasil jepretan terakhir. Jantungnya hampir berhenti—di layar terlihat jelas sosok pocong itu menatap lurus ke arahnya, meski kini wujud aslinya sudah tak tampak.

Ia menghela napas, mencoba menenangkan diri. “Ini bahan berita yang luar biasa,” katanya setengah berbisik. Namun saat ia melangkah mundur, dari arah belakang terdengar suara lantang.

“Kenapa kau bangunkan dia?”

Ratri menoleh cepat. Seorang perempuan tua dengan rambut putih panjang berdiri di dekat pohon waru besar. Matanya cekung, wajahnya pucat. Tidak ada suara langkah ketika ia mendekat.

“Saya… saya hanya seorang wartawan. Saya tidak bermaksud mengganggu,” ucap Ratri tergagap.

Perempuan tua itu mendengus. “Sejak dahulu, pocong di makam ini menunggu seseorang untuk membebaskannya. Tapi orang-orang kampung hanya berani meninggalkan sesajen, tidak ada yang berani menatap matanya. Kau sudah melakukannya. Sekarang, dia akan terus mengikutimu.”

Ratri merinding hebat. “Apa maksud Anda?”

Perempuan itu tidak menjawab, melainkan berbalik perlahan. Tubuhnya memudar, lalu hilang seperti asap. Ratri melangkah panik, berlari keluar pemakaman sambil menahan napas. Jalanan sepi, hanya suara laut yang menggema.

Namun rasa lega tak bertahan lama. Di balik gelap, ia mendengar lagi suara lompat-lompatan itu, semakin lama semakin dekat. Ratri mempercepat langkah, hingga akhirnya tiba di rumah kayu kecil tempat Pak Jaya menunggunya. Nafasnya terengah-engah, wajah pucat pasi.

“Mbak kenapa?!” Pak Jaya langsung menghampiri. Namun sebelum Ratri sempat menjawab, terdengar suara keras di luar rumah, seperti sesuatu jatuh menghantam tanah.

Keduanya saling berpandangan, lalu dengan ragu Pak Jaya membuka jendela. Di luar, tak ada apa-apa. Hanya bayangan pohon kelapa menari diterpa angin. Tapi Ratri melihat jelas—di sudut halaman, pocong itu berdiri menatapnya, seolah menunggu.

“Dia… dia mengikutiku, Pak,” bisiknya lemah.

Pak Jaya menutup jendela cepat-cepat dan menyalakan dupa di sudut ruangan. “Saya sudah bilang, makam itu bukan tempat main-main. Kalau dia sudah menempel, susah diusir. Kau harus bertahan sampai fajar. Hanya matahari yang bisa melemahkannya.”

Malam terasa sangat panjang. Setiap kali angin berhembus, terdengar suara erangan di luar rumah. Sesekali, pocong itu muncul di jendela, menatap dengan mata merah menyala. Ratri menutup telinganya, menunduk di sudut ruangan sambil berdoa. Namun semakin ia mencoba memejamkan mata, semakin jelas wajah pocong itu muncul dalam pikirannya.

Ketika jarum jam menunjuk pukul dua dini hari, suasana semakin mencekam. Lampu minyak di dalam rumah tiba-tiba berkedip-kedip, lalu padam. Ruangan tenggelam dalam kegelapan pekat. Dari luar terdengar suara ketukan pelan di pintu, tiga kali, berirama lambat.

“Jangan dibuka,” kata Pak Jaya dengan suara bergetar. “Kalau kau buka, dia akan masuk.”

Namun ketukan itu tak berhenti, malah semakin keras. Ratri menutup mulutnya agar tidak berteriak. Keringat dingin mengucur deras dari kening. Lalu terdengar suara berat, parau, dari balik pintu.

“Bebaskan… aku…”

Ratri menutup telinganya, menangis tanpa suara. Kata-kata itu begitu jelas, seakan tepat di telinganya. “Pak… apa maksudnya dia ingin bebas?”

Pak Jaya menggertakkan gigi. “Arwah itu dikubur tanpa sempat dilepaskan ikatan kafannya. Dia terperangkap, tak bisa pergi dengan tenang. Hanya orang yang berani membuka ikatan itu yang bisa membebaskannya.”

Ratri terperanjat. “Kenapa tidak ada yang melakukannya?”

“Karena siapa pun yang mencoba, pasti mati sebelum sempat menyelesaikannya,” jawab Pak Jaya lirih. “Dan sekarang, entah kenapa, dia memilihmu.”

Kata-kata itu membuat darah Ratri terasa membeku. Ia menatap ke arah pintu yang terus diketuk. Suara erangan berubah menjadi ratapan panjang, memilukan sekaligus menyeramkan.

Menjelang subuh, suara itu perlahan menghilang. Ketukan berhenti, dan keheningan kembali. Saat matahari pertama muncul, pocong itu sudah tak terlihat. Namun di tanah halaman rumah, terlihat jelas bekas jejak loncatan yang mengarah ke laut.

Ratri menatap laut lepas. Ia sadar, liputannya kali ini bukan hanya soal cerita rakyat, tapi pengalaman nyata yang akan menghantuinya sepanjang hidup. Dan meski matahari sudah tinggi, di dalam hati kecilnya ia tahu: pocong itu belum benar-benar pergi. Bayangan matanya yang merah, erangan parau, dan kata-kata “bebaskan aku” masih terngiang jelas. Ratri pun mulai meragukan dirinya sendiri, apakah ia masih bisa kembali hidup normal setelah malam itu, atau selamanya akan dibayangi oleh pocong dari pemakaman kampung nelayan.

Posting Komentar