Sosok Hantu di Jendela Rumah Makan Padang

Table of Contents
Sosok di Balik Jendela di Rumah Makan Padang - Cerpen Horor Mania

Misteri Sosok Wanita di Balik Jendela

Lina adalah seorang siswi SMA berusia 17 tahun yang tinggal di sebuah kampung kecil di pinggiran Bukittinggi. Hidupnya sederhana bersama kedua orang tuanya dan adik laki-lakinya, Dimas, yang baru berumur sepuluh tahun. Rumah mereka tidak besar, berdiri di tepi jalan kecil yang sepi, berdempetan dengan sebuah rumah makan Padang yang cukup terkenal di kampung itu, bernama “Rumah Makan Sederhana Minang Rasa”. Dari jendela kamarnya, Lina bisa melihat sebagian sisi rumah makan itu, termasuk satu jendela kecil yang tampak tidak terurus dan selalu tertutup tirai usang berwarna krem kusam.

Sejak kecil Lina sudah terbiasa dengan hiruk pikuk suara piring dan aroma gulai dari rumah makan itu. Tapi entah kenapa, sejak beberapa bulan terakhir, setiap sore menjelang magrib, ia selalu merasa tidak nyaman ketika memandang jendela kecil itu. Dari balik kaca buramnya, sering terlihat bayangan seseorang berdiri diam, tidak bergerak sama sekali. Ukurannya seperti manusia, tapi bentuknya samar. Kadang ia merasa bayangan itu menatap ke arahnya, seolah menyadari keberadaannya di balik jendela kamarnya sendiri.

“Mungkin cuma pantulan cahaya, Na,” kata ibunya suatu sore ketika Lina mengeluh soal itu. “Enggak, Bu. Aku lihat jelas, kayak orang berdiri. Kadang rambutnya panjang, kadang kayak cuma bayangan hitam. Tapi selalu muncul waktu magrib.” Ibunya tertawa kecil sambil melanjutkan menyiapkan sayur di dapur. “Kamu kebanyakan nonton film horor, ya? Sudahlah, jangan dipikirin. Magrib itu waktunya setan keluar, makanya jangan lihat ke luar.” Lina hanya mengangguk pelan, tapi hatinya tak tenang. Ia tahu apa yang ia lihat tidak biasa.

Sore berikutnya, ia sengaja menunggu waktu magrib sambil menatap jendela rumah makan itu. Udara terasa lembap dan angin bertiup pelan. Dari balik kaca, perlahan bayangan itu mulai tampak. Tapi kali ini, lebih jelas. Lina bisa melihat siluet seorang wanita berambut panjang menjuntai sampai bahu, memakai kebaya putih lusuh, berdiri diam menatap ke arah rumahnya. Saat adzan magrib berkumandang, bayangan itu tidak menghilang, malah makin jelas hingga terlihat seolah menempel di kaca, dengan wajah samar yang mengerikan.

Lina menjerit kecil dan buru-buru menutup tirai kamarnya. Jantungnya berdetak cepat. Malam itu ia tidak berani keluar kamar. Tapi anehnya, ketika hendak tidur, ia mendengar suara ketukan pelan dari arah dinding kamarnya yang menempel pada rumah makan itu. Tok… tok… tok… Tiga kali, pelan tapi jelas. “Siapa… siapa di situ?” tanya Lina dengan suara gemetar. Tidak ada jawaban. Hanya suara angin di luar dan derit kayu lantai yang pelan seolah ada seseorang berjalan di atasnya.

Keesokan harinya, Lina menceritakan semuanya kepada ayahnya. “Ah, paling tikus atau pohon kena angin. Jangan pikir yang aneh-aneh,” kata ayahnya sambil tertawa. Tapi Lina tahu, suara itu bukan suara tikus. Ia tidak pernah salah dengar. Bahkan adiknya, Dimas, juga mulai merasa terganggu. “Kak, tadi malam aku dengar orang nangis di luar kamar aku. Dari arah rumah makan,” kata Dimas polos. Lina langsung pucat. “Kamu serius, Mas?” “Iya, suaranya perempuan. Tapi pas aku buka jendela, nggak ada siapa-siapa.”

Malamnya, rasa takut itu makin menjadi. Lina berusaha tidak memikirkan apa pun dan berdoa sebelum tidur. Tapi sekitar pukul sebelas malam, ia terbangun karena merasa kamarnya dingin luar biasa. Saat membuka mata, ia melihat sesuatu berdiri di ujung ranjangnya—sosok wanita berambut panjang, memakai kebaya putih yang kotor, wajahnya hancur dan mata hitam pekat menatap tajam ke arahnya. “KENAPA KAMU LIHAT AKU TERUS…?” Lina berteriak histeris hingga ayah dan ibunya berlari masuk. Tapi ketika lampu dinyalakan, sosok itu menghilang begitu saja. Lina hanya bisa menangis dan tubuhnya gemetar hebat.

Sejak malam itu, Lina tidak mau tidur sendiri. Ia tidur di kamar bersama ibunya, tapi teror itu tidak berhenti. Setiap malam selalu ada suara ketukan, tangisan, bahkan suara langkah kaki dari arah jendela. Kadang terdengar seperti seseorang mengetuk dari dalam dinding. Ibunya mencoba menenangkan, tapi pada malam keempat, bahkan ibunya ikut mendengar suara itu. “Tok… tok… tok…” Mereka saling berpandangan dengan wajah pucat. “Ayahmu besok suruh periksa rumah makan itu,” kata ibunya lirih.

Keesokan paginya, ayah Lina menemui salah satu pegawai rumah makan bernama Uni Reni, seorang wanita paruh baya yang sudah bekerja di sana lebih dari sepuluh tahun. “Uni, anak saya sering lihat sesuatu di jendela belakang rumah makan. Apa memang ada orang yang jaga di sana?” Wajah Uni Reni langsung berubah tegang. “Jendela belakang? Yang kecil di sisi barat?” “Iya, itu.” Uni Reni menatap tajam lalu berbisik, “Pak, sebaiknya jangan biarkan anak Bapak lihat ke sana lagi. Jendela itu sudah ditutup karena… ada yang ‘tinggal’ di situ.” “Apa maksud Uni?” “Tiga tahun lalu, sebelum rumah makan ini direnovasi, ada karyawan perempuan meninggal gantung diri di dapur belakang. Namanya Sari. Sejak itu, tiap sore selalu ada bayangan di jendela itu. Kami sudah panggil ustaz buat baca doa, tapi tetap saja muncul.”

Mendengar itu, ayah Lina langsung merinding. Ia pulang dan menceritakan semuanya pada istrinya. Tapi tidak memberitahu Lina agar anaknya tidak semakin ketakutan. Namun entah bagaimana, Lina seolah tahu ada rahasia yang disembunyikan darinya. Malam itu, ia bermimpi. Dalam mimpinya, ia berada di dapur rumah makan itu, dan seorang wanita berkebaya putih berdiri di depan jendela sambil menangis. “Kenapa kamu lihat aku terus…? Tolong aku keluar dari sini…” Lina terbangun sambil menjerit. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.

Sejak malam itu, kondisi Lina memburuk. Ia sering mengigau, memanggil nama “Sari” tanpa sadar. Kadang ia bicara sendiri di kamar, seolah sedang berbincang dengan seseorang yang tak terlihat. “Dia cuma pengin dengerin aku… dia sendirian…” begitu katanya setiap kali ditanya ibunya. Orang tuanya panik dan akhirnya memanggil Pak Haji Rauf, seorang dukun sekaligus ustaz di kampung mereka yang dikenal mampu menangani gangguan makhluk halus.

Pak Haji datang sore itu. Dengan membawa air doa dan dupa kecil, ia meminta izin untuk masuk ke kamar Lina. Begitu masuk, wajahnya langsung berubah pucat. “Tempat ini sudah dipenuhi energi buruk. Anakmu sedang diikuti, Bu.” “I-ikutin? Maksudnya gimana, Pak?” tanya ibunya panik. “Arwah perempuan itu, Sari. Dia merasa dipanggil oleh Lina. Setiap tatapan Lina ke arah jendela itu adalah panggilan bagi arwah yang belum tenang.” Lina yang duduk di pojok kamar hanya menunduk. Tapi tiba-tiba ia menatap Pak Haji dan berkata dengan suara yang bukan suaranya sendiri, lebih berat dan serak: “Aku nggak manggil dia… dia yang datang… dia yang mau aku lihat…”

Suasana kamar langsung mencekam. Pak Haji membaca ayat-ayat suci dengan cepat, dan Lina menjerit sekeras-kerasnya sampai tubuhnya kejang. Setelah ritual panjang, Lina akhirnya pingsan. Ketika sadar, ia tak ingat apapun. Pak Haji lalu memberikan air doa dan meminta keluarga menutup jendela kamarnya yang menghadap rumah makan dengan kain putih selama tujuh hari penuh, tanpa dibuka sedikit pun.

Tapi pada malam keempat, hal yang tidak diinginkan terjadi. Sekitar tengah malam, ketika semua sudah tertidur, kain putih yang menutup jendela itu mulai bergerak sendiri. Dari baliknya terdengar suara ketukan pelan, lalu suara tangisan wanita. “Lina… aku kedinginan… bukain aku…” Lina terbangun, matanya berat, seolah sedang dalam mimpi. Dengan langkah pelan ia mendekati jendela. Kain putih itu berkibar, lalu dari baliknya muncul tangan pucat yang menembus kain, mencoba meraih wajahnya. “LINA!!!” teriak ibunya dari pintu. Ia langsung menarik anaknya menjauh. Saat mereka berdua melihat ke arah kain putih itu, kain itu tiba-tiba terbakar sendiri, mengeluarkan bau amis dan asap hitam pekat. Lina pingsan di tempat.

Setelah kejadian itu, keluarga Lina memutuskan untuk pindah sementara ke rumah nenek di kampung sebelah. Rumah makan Padang di sebelah rumah mereka mendadak ditutup tanpa alasan jelas. Kata warga, pemiliknya pindah mendadak setelah mengalami kejadian aneh di dapur—panci bergerak sendiri, suara tangisan wanita dari dalam jendela, dan bau anyir darah setiap sore menjelang magrib.

Tiga bulan kemudian, Lina dan keluarganya kembali ke rumah mereka. Rumah makan Padang itu sudah ditinggalkan, bangunannya kusam dan berdebu. Tapi jendela kecil itu masih ada, berdiri di sisi barat, menatap lurus ke arah kamar Lina. Walau takut, Lina mencoba menatap sekali lagi, hanya untuk memastikan semuanya sudah berakhir. Namun ketika matahari sore mulai turun dan cahaya jingga menyapu jendela itu, sesuatu di balik kaca buramnya tampak bergerak. Bayangan putih. Rambut panjang. Wajah samar menatap balik padanya.

“Kenapa kamu lihat aku terus…?” Suara itu lirih, hampir seperti bisikan angin, tapi jelas terdengar di telinga Lina. Ia menutup mata dan berlari masuk ke rumah, air matanya mengalir. Sejak hari itu, ia tidak pernah lagi membuka tirai jendelanya. Bahkan ketika malam turun dan angin membawa suara ketukan dari arah dinding rumah makan, Lina hanya berdoa dalam hati agar sosok itu menemukan jalan untuk pergi dengan tenang.

Namun, hingga kini, rumah makan itu tetap kosong. Orang-orang yang melewati jalan di samping rumah Lina sering mengatakan mereka melihat bayangan wanita berdiri di balik kaca buram jendela itu. Beberapa anak muda yang iseng merekam menggunakan ponsel pun mengaku melihat sosok samar di dalam rekaman, berdiri menatap dengan mata kosong. Warga akhirnya memasang papan kayu untuk menutupi jendela itu, tapi setiap kali hujan deras turun, papan itu selalu terbuka kembali, seolah ada sesuatu dari dalam yang ingin keluar.

Lina sekarang sudah berusia dua puluh tahun, tapi trauma itu masih melekat kuat. Ia masih tinggal bersama keluarganya, dan rumah makan itu masih berdiri di sebelah rumah mereka—kosong, berdebu, dan sunyi. Tapi setiap kali sore menjelang magrib, dari arah dinding rumah, masih terdengar suara ketukan tiga kali. Tok… tok… tok… Seolah sosok di balik jendela itu masih ingin menatap balik, menunggu seseorang untuk melihatnya sekali lagi.

Dan di kampung itu, ada satu nasihat yang masih dipercaya sampai sekarang: jangan pernah menatap jendela rumah makan itu terlalu lama. Karena jika kamu melihat terlalu lama, dia akan membalas menatapmu… dan mungkin tidak akan berhenti sampai kamu menjadi bagian dari bayangannya sendiri.

Posting Komentar