Teror Hantu Penunggu Kontrakan Lama Cimanggis
Misteri Arwah Sinta di Cimanggis
Namaku Rina, seorang SPG di supermarket Matahari Mall Cimanggis. Usia baru menginjak 26 tahun, dan ini adalah kali pertama aku benar-benar tinggal sendirian, jauh dari keluarga di Cirebon. Setelah dua tahun bekerja di Jakarta, aku merasa lelah tinggal di kosan yang ramai dan sempit. Maka ketika ada teman kerja yang menawarkan kontrakan kecil di wilayah Cimanggis, aku langsung tertarik. Lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat kerja, harga sewanya pun lumayan murah untuk ukuran Depok. Aku tak banyak berpikir, langsung saja menyewa untuk enam bulan ke depan.
Kontrakan itu berada di ujung gang sempit, dengan jalan paving yang tidak rata dan penerangan yang seadanya. Di kanan kirinya, rumah-rumah tua berdiri dengan cat yang mulai mengelupas. Ketika pertama kali datang, suasananya terasa sedikit aneh. Mungkin karena terlalu sepi. Tapi aku hanya menganggap itu perasaan yang wajar untuk orang yang baru pindah.
“Tenang kok, Mbak,” kata pemiliknya, Bu Rini, waktu itu. “Cuma rumahnya udah lama nggak ditempati aja. Dulu ada yang ngontrak, tapi pindah mendadak.”
Aku tidak menanyakan lebih jauh. Dalam pikiranku, mungkin penghuni sebelumnya tidak cocok dengan lingkungan sekitar. Jadi aku mulai membereskan barang-barangku, mengepel lantai, membersihkan debu yang menumpuk, dan mengganti tirai jendela yang sudah kusam. Di siang hari, semuanya terasa normal. Tapi malam hari, semuanya berubah.
Malam pertama aku tidur di sana, udara terasa lembap dan dingin. Sekitar pukul sebelas malam, saat aku sudah berbaring di tempat tidur, terdengar suara langkah pelan di dapur. “Mungkin kucing,” pikirku. Tapi saat kudengar piring bergetar di meja, aku bangun dan menyalakan lampu. Tak ada siapa pun di sana. Hanya udara dingin yang seolah menempel di kulit. Aku kembali ke kamar dan menutup pintu rapat-rapat, mencoba menenangkan diri dengan berdoa pelan sebelum tidur.
Hari-hari berikutnya terasa semakin aneh. Setiap malam selalu ada saja kejadian yang tak bisa dijelaskan. Pintu yang terbuka sendiri, lampu yang berkedip, suara langkah di plafon, bahkan bayangan putih yang melintas di cermin kamar mandi. Aku mencoba mengabaikannya, menyalahkan kelelahan karena jam kerja yang panjang. Tapi semakin aku berusaha menolak percaya, semakin sering gangguan itu terjadi.
menutupi wajah. Aku terpaku di tempat. Tapi ketika aku berkedip, sosok itu lenyap. Tidak ada siapa pun di sana. Aku menelan ludah, bergegas masuk, dan mengunci pintu dari dalam. Hati kecilku mulai berkata bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan rumah ini.Suatu malam, sepulang kerja, aku melihat sosok wanita berdiri di depan rumah kontrakanku. Ia mengenakan gaun putih panjang, rambutnya terurai
Di dalam kamar, aku menyalakan televisi kecil agar tidak merasa sepi. Tapi suara TV seolah tertelan oleh keheningan rumah. Saat aku hendak mematikan lampu, terdengar suara lirih dari arah dapur, seperti seseorang berbisik, “Kenapa kamu di sini...?”
Suara itu jelas. Aku terpaku di tempat tidur, napasku tercekat. “Siapa di sana?” tanyaku dengan suara gemetar. Tidak ada jawaban, tapi suara langkah pelan terdengar mendekat. Aku memegang senter di meja dan menyorot ke arah suara itu. Di sana, di dekat pintu dapur, aku melihat sosok wanita bergaun putih berdiri kaku. Wajahnya pucat, mata hitamnya kosong, dan di sisi kanan wajahnya tampak seperti terbakar. Aku menjerit sekeras mungkin dan berlari keluar rumah malam itu juga.
Aku mengetuk pintu rumah Dina, teman kerja yang tinggal tidak jauh dari kontrakanku. Wajahnya terkejut ketika melihatku datang dengan wajah pucat dan napas tersengal.
“Rina, kenapa? Kamu kenapa malam-malam begini?” tanyanya khawatir.
“Ada... ada perempuan di rumahku. Pucat, bajunya putih... dia berdiri di dapur, Din!” jawabku terbata.
Dina memelukku, mencoba menenangkan. Kami duduk sampai larut malam di ruang tamunya. “Kamu yakin nggak salah lihat?”
“Aku nggak mungkin salah lihat. Dia nyata, Din.”
Dina menghela napas panjang. “Kalau begitu, kamu harus cari tahu. Siapa tahu ada sesuatu di rumah itu yang belum selesai. Biasanya begitu kalau arwah belum tenang.”
Keesokan paginya, aku kembali ke kontrakan. Matahari terang membuat suasana rumah tampak lebih normal. Tapi di dapur, aku melihat noda cokelat tua di lantai, tepat di dekat wastafel. Warnanya seperti darah yang sudah mengering. Aku mencoba membersihkannya dengan air sabun, tapi noda itu tak mau hilang.
Sejak hari itu, sosok wanita itu semakin sering muncul. Kadang berdiri di depan kamar, kadang di cermin kamar mandi, kadang duduk di kursi ruang tamu sambil menunduk. Aku mulai tak bisa tidur. Setiap kali aku menutup mata, aku bisa merasakan tatapan seseorang dari sudut ruangan. Suara langkahnya, napasnya, bahkan aroma melati yang menyengat selalu muncul sebelum kemunculannya.
Suatu malam, aku memberanikan diri berbicara. “Kamu mau apa dariku?” tanyaku dengan suara pelan. Tiba-tiba udara di kamar menjadi sangat dingin. Lampu berkedip tiga kali, dan sosok wanita itu muncul di depan lemari. Ia menatapku dengan mata kosong lalu membuka mulutnya perlahan. “Tolong... carikan aku...”
“Carikan apa? Siapa kamu sebenarnya?” tanyaku dengan gemetar.
Wanita itu tidak menjawab. Ia menghilang dalam kabut tipis, meninggalkan aroma melati yang begitu tajam. Aku terduduk lemas, memikirkan kata-katanya: “Carikan aku.” Apa maksudnya? Apa yang harus kucari?
Keesokan harinya aku menemui Bu Rini, pemilik kontrakan. Wajahnya langsung berubah ketika aku menceritakan gangguan yang kualami. “Astaga, jadi kamu juga melihatnya?” katanya pelan.
“Maksud Ibu?” tanyaku heran.
Bu Rini menarik napas panjang. “Sebelum kamu, ada perempuan yang ngontrak di sana. Namanya Sinta. Umurnya mungkin sebaya kamu. Dia juga kerja di mall, SPG katanya. Tapi...” ia terdiam sejenak, “...dia meninggal di rumah itu. Katanya bunuh diri. Tapi banyak yang bilang dia dibunuh pacarnya. Polisi nggak pernah nemu bukti.”
“Jadi... arwah itu... Sinta?”
Bu Rini hanya mengangguk pelan. “Mungkin. Sejak dia meninggal, rumah itu kosong lama. Banyak yang bilang sering terdengar suara perempuan menangis malam-malam. Tapi waktu kamu datang, aku pikir semuanya sudah tenang.”
Perasaan takut bercampur kasihan memenuhi dadaku. Mungkin Sinta belum bisa pergi karena masih ada yang belum selesai. Aku pun memutuskan untuk mencari tahu. Aku mulai bertanya ke tetangga sekitar. Seorang bapak tua di rumah sebelah berkata, “Waktu itu malam Jumat, Nak. Ada yang dengar suara orang ribut. Katanya pacarnya datang, terus ada yang teriak minta tolong. Besok paginya, Sinta ditemukan gantung diri di kamar. Tapi anehnya, di tangannya ada luka lebam, dan tali yang dipakai bukan miliknya.”
Keterangan itu membuat bulu kudukku berdiri. Mungkinkah dia dibunuh dan dibuat seolah bunuh diri?
Aku kembali ke kontrakan sore itu. Aku mencari di setiap sudut rumah, berharap menemukan sesuatu. Saat menggeser lemari di kamar, aku melihat papan lantai yang sedikit terangkat. Aku membukanya perlahan, dan di bawahnya kutemukan sebuah kotak besi tua berdebu. Tanganku gemetar saat membuka penutupnya. Di dalamnya ada foto seorang perempuan bergaun putih—Sinta—bersama seorang pria. Di bawah foto itu ada selembar surat lusuh bertuliskan, “Kalau aku mati, itu bukan salahku. Tolong buktikan.”
Jantungku berdebar keras. Ini pasti yang dia maksud. Aku menggenggam surat itu, tapi tiba-tiba seluruh lampu di rumah padam. Dari arah dapur terdengar langkah kaki pelan. Aku menatap ke arah sana, dan sosok Sinta muncul lagi. Tapi kali ini wajahnya tak seangker sebelumnya. Ia tersenyum samar.
“Kamu menemukannya...” katanya lembut. “Terima kasih...”
Tubuhnya perlahan memudar, seperti asap yang tertiup angin. Untuk pertama kalinya, udara di rumah itu terasa hangat. Aku meneteskan air mata tanpa sadar. “Tenanglah, Sinta. Aku akan bawa ini ke yang berwenang.”
Keesokan harinya, aku membawa foto dan surat itu kepada Bu Rini. Ia menatapnya lama dan terisak pelan. “Aku tahu, dari dulu ada yang nggak beres. Tapi aku takut bicara. Mungkin sekarang arwahnya bisa tenang.”
Beberapa minggu kemudian, polisi datang meninjau kembali kasus kematian Sinta. Mereka menemukan bahwa pacarnya, Arman, pernah terlibat dalam kasus kekerasan sebelumnya. Dari bukti surat dan foto yang kutemukan, mereka membuka penyelidikan ulang. Tak lama kemudian, Arman ditangkap setelah mengakui bahwa ia telah mencekik Sinta dalam pertengkaran dan berpura-pura membuatnya tampak bunuh diri.
Sejak saat itu, kontrakanku tidak lagi dihantui. Tidak ada suara langkah kaki, tidak ada bayangan putih, dan malam terasa benar-benar tenang. Aku bisa tidur dengan nyenyak. Tapi setiap kali aroma melati samar tercium di udara, aku tahu itu tanda Sinta datang sekadar menyapa.
Satu malam, aku duduk di beranda sambil menatap langit. Angin malam berembus lembut, dan entah mengapa aku merasa ditemani. “Kamu sudah bebas, kan, Sinta?” bisikku pelan. Dan di kejauhan, terdengar suara lembut seperti jawaban, “Terima kasih...”
Keesokan harinya, seorang tetangga baru lewat dan bertanya, “Mbak, ini rumah yang katanya angker itu, ya?”
Aku tersenyum tipis. “Dulu iya. Tapi sekarang sudah nggak lagi. Penghuninya sudah tenang.”
Kontrakan itu kini terasa seperti rumah sungguhan. Meski menyimpan kenangan kelam, aku merasa ada ikatan aneh antara aku dan Sinta. Mungkin karena kami sama-sama perempuan yang berjuang hidup sendiri di kota besar, sama-sama bekerja keras, dan sama-sama pernah merasa sendirian. Bedanya, aku beruntung masih hidup untuk menceritakan kisah ini. Dan semoga, kisah Sinta tak akan pernah dilupakan, agar tidak ada lagi yang mati sia-sia di balik dinding sunyi sebuah kontrakan tua di Cimanggis.
Tapi kadang, saat malam purnama menggantung tinggi dan cahaya rembulan menembus jendela kamar, aku masih mendengar langkah pelan dari arah dapur. Langkah yang lembut, tenang, dan damai. Bukan langkah menakutkan seperti dulu. Seolah dia datang hanya untuk memastikan satu hal—bahwa aku baik-baik saja.

Posting Komentar