Kisah Polwan dan Peti Terlarang Singosari

Table of Contents
Makhluk di Balik Peti Kuno - Cerpen Horor Mania

Makhluk Misterius di Balik Peti Kuno

Langit senja di Jawa Timur berwarna jingga kemerahan, angin berembus lembut membawa aroma tanah basah seusai hujan. Di ruang kerja kecil di kantor polisi daerah Malang, seorang wanita berpakaian seragam duduk menatap berkas laporan dengan wajah serius. Ia adalah Novi, seorang Polwan muda yang dikenal berani dan jujur, sering menangani kasus besar yang bahkan membuat polisi laki-laki segan padanya.

Di tangannya, ada berkas kasus besar yang baru saja selesai — kasus geng kriminal “Lembah Malam”. Geng ini terkenal sadis dan misterius. Mereka melakukan perampokan bersenjata, pemerasan, bahkan perdagangan barang antik hasil jarahan dari situs-situs purbakala di Jawa Timur. Setelah berbulan-bulan penyelidikan, akhirnya Novi dan timnya berhasil menggerebek markas mereka di pinggiran hutan Gunung Kawi.

Malam penggerebekan itu tak akan pernah ia lupakan. Hujan turun deras, dan suara tembakan bergema di antara pepohonan. Novi berlari bersama timnya, menembus kegelapan menuju bangunan tua yang dijadikan markas geng. Lampu senter menembus kabut tipis, menyorot pintu kayu yang hampir lapuk.

“Tim Alfa, masuk dari sisi barat! Tim Bravo, ikuti saya!” perintah Novi tegas melalui radio. Meski tubuhnya mungil, suaranya memantul kuat di udara malam. Dalam waktu singkat, suara teriakan dan dentuman senjata memenuhi udara. Geng “Lembah Malam” akhirnya berhasil dilumpuhkan. Sebagian besar menyerah, sisanya tertembak di tempat.

Namun di ruang bawah tanah bangunan itu, sesuatu menarik perhatian Novi. Ada sebuah ruangan yang dikunci rapat. Saat mereka mendobraknya, aroma dupa menyengat langsung menyeruak keluar. Di tengah ruangan itu berdiri sebuah peti kayu hitam besar, tampak tua dan berlumut. Di sekelilingnya terdapat lingkaran dari garam yang sudah sebagian terhapus.

“Apa ini?” tanya salah satu anggota, Bima, sambil menyorot dengan senter. “Peti mati?”

“Bukan,” jawab Novi perlahan. Ia berlutut, memperhatikan ukiran di permukaannya. “Ini sepertinya peti kuno. Lihat ukirannya... ada tulisan aneh.”

Ukiran itu seperti huruf Jawa Kuno yang bercampur dengan aksara Sanskerta. Di tengahnya terdapat ukiran wajah seorang wanita bermahkota dengan mata tertutup. Ada juga simbol seperti bunga teratai dan naga melingkar di pinggir peti. Semua terlihat mistis dan menyeramkan di bawah cahaya lampu senter yang redup.

“Bu Novi,” bisik Bima, “saya nggak tahu kenapa, tapi saya ngerasa kayak... dilihatin dari dalam peti.”

Novi menatap rekan mudanya itu. “Jangan ngomong aneh-aneh. Kita bawa peti ini sebagai barang bukti. Ini bisa jadi benda hasil curian mereka dari situs bersejarah.”

Mereka membawa peti itu keluar. Tapi yang aneh, selama peti itu diangkat, beberapa anggota melaporkan mendengar suara lirih, seperti orang menangis. Saat Novi menoleh, tak ada siapa pun. Ia mencoba berpikir logis — mungkin hanya suara angin di antara pepohonan.

Keesokan harinya, semua anggota geng “Lembah Malam” yang ditangkap ditemukan tewas di dalam sel. Tanpa luka, tanpa darah. Wajah mereka membiru dengan ekspresi ketakutan yang tak wajar. Novi berada di tempat kejadian pagi itu, menatap tubuh-tubuh kaku yang kini hanya menjadi misteri.

“Bu Novi,” kata dokter forensik, “tidak ada tanda-tanda pembunuhan. Tapi mereka semua mati bersamaan, kira-kira jam tiga dini hari.”

“Tiga dini hari?” ulang Novi, menatap jam tangannya. Waktu yang sama saat peti itu tiba di kantor polisi malam sebelumnya. Ia merinding.

Beberapa hari kemudian, peti itu diperiksa oleh tim arkeolog dari Surabaya. Seorang profesor bernama Rendra datang bersama dua asistennya. Mereka memeriksa tulisan di peti itu dengan teliti, bahkan mengambil foto untuk dianalisis.

“Luar biasa,” kata Profesor Rendra dengan nada kagum. “Tulisan ini berasal dari masa Kerajaan Singosari. Ini sangat tua, mungkin abad ke-13.”

“Tapi Profesor,” sela Novi, “kenapa ada simbol-simbol seperti itu? Ini bukan sekadar ukiran biasa, bukan?”

Profesor Rendra menatapnya serius. “Betul. Ini bukan sekadar hiasan. Saya rasa ini semacam mantra pengikat. Kalimatnya kurang lebih berbunyi, ‘Barang siapa membuka wadah ini, maka penjaganya akan mencari tubuhnya kembali. Profesor Rendra juga sempat membandingkan ukiran di peti itu dengan legenda Misteri Keris Pusaka di Solo, yang sama-sama dipercaya menyimpan kekuatan gaib dari masa kerajaan kuno.’”

Novi mengernyit. “Penjaga? Maksudnya apa?”

“Entahlah,” jawab Rendra, “tapi berdasarkan naskah kuno yang pernah saya baca, pada masa Singosari memang ada kepercayaan tentang roh penjaga pusaka. Biasanya roh perempuan yang disegel dalam wadah agar melindungi benda suci dari tangan jahat.”

“Dan kalau wadah itu dibuka?” tanya Novi.

Profesor itu menatapnya lama. “Maka roh itu akan bebas. Tapi karena sudah lama disegel, ia mungkin tidak lagi tahu siapa musuh atau temannya.”

Hening menyelimuti ruangan. Bahkan bunyi jarum jam terdengar jelas. Sejak hari itu, Novi merasa tidak tenang. Ia berniat menyimpan peti itu sementara di rumahnya, karena kendaraan pengangkut dari Surabaya belum datang akibat jalan longsor. Ia menganggap itu hanya benda mati. Tapi malam pertama, keanehan mulai terjadi.

Tengah malam, Novi terbangun karena mendengar suara langkah kaki di ruang tamu. Ia sempat berpikir itu maling. Ia mengambil pistol dan berjalan perlahan ke arah suara itu. Namun begitu sampai di sana, langkahnya terhenti. Di samping peti kuno itu berdiri sosok wanita bergaun putih lusuh, rambut panjang menutupi wajah, tubuhnya melayang samar. Kejadian itu mengingatkannya pada kisah Kuntilanak di RSUD Yogyakarta yang sempat viral karena kemunculan serupa di rumah sakit lama.

“Siapa kau?!” seru Novi, mengarahkan pistolnya.

Wanita itu tidak menjawab. Ia hanya berbisik pelan, bahasanya asing — seperti Jawa Kuno yang sangat tua. Suaranya seperti berasal dari dalam kepala Novi.

“Sira... nyilih wadahku...”

Pistol di tangan Novi bergetar. Ia merasa udara di ruangan menurun drastis. Seketika lampu padam, hanya cahaya senter di sudut ruangan yang bergetar karena tiupan angin. Lalu suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat — “Wadahku...”

Novi menjerit dan berlari ke kamarnya. Sepanjang malam ia tidak tidur, duduk sambil menyalakan lampu dan membaca doa. Namun setiap kali matanya mulai menutup, suara tangisan itu kembali terdengar, seolah memanggil dari dalam peti.

Hari kedua, gangguan semakin parah. Saat mandi, Novi melihat bayangan wanita bergaun putih di cermin di belakangnya. Saat ia menoleh, bayangan itu hilang. Bahkan saat siang hari, ia mendengar suara gamelan halus dan bau dupa memenuhi rumahnya.

Rekannya, Bima, datang menemuinya sore itu. “Bu, maaf... tapi saya lihat dari luar rumah ibu kayak ada asap putih di jendela. Ada yang bakar dupa ya?”

Novi terdiam. “Aku nggak bakar apa-apa.”

Bima langsung pucat. “Saya... saya rasa sebaiknya peti itu jangan disimpan di sini.”

Namun Novi bersikeras. Ia ingin mencari tahu kebenaran di balik misteri itu. Tapi malam ketiga menjadi puncak dari semuanya.

Petir menyambar langit. Novi duduk di ruang tamu, menatap peti kuno itu yang kini terlihat lebih gelap dan seolah berdenyut. Suara lirih mulai terdengar lagi — kali ini bukan hanya tangisan, tapi juga kata-kata yang perlahan bisa ia pahami.

“Aku... ora salah... aku dikubur urip-urip...”

Bahasa Jawa Kuno. Novi menegakkan tubuhnya. “Kau... siapa?” tanyanya pelan.

Bayangan wanita itu muncul lagi di hadapannya. Kali ini ia tampak jelas — wajahnya pucat, matanya merah, namun sorotnya penuh duka. “Aku Lembah Ayu... pelayan kerajaan Singosari. Aku njaga pusaka iki... wong-wong jahat ngrebut lan ngurung aku...”

Novi mendengarkan dengan jantung berdegup cepat. Tiba-tiba, bayangan-bayangan masa lalu muncul di pikirannya. Ia melihat kilasan perang, api, dan seorang wanita yang diseret ke dalam lubang besar bersama peti hitam itu. Suara teriakan terdengar — “Segel dia! Jangan biarkan dia keluar!”

Wanita itu menangis dan berteriak, tapi tanah menutup tubuhnya. Lalu semuanya gelap.

Novi terbangun dari kilasan itu dengan napas tersengal. Ia menatap wanita hantu itu dengan ngeri. “Kenapa kau menunjukkan ini padaku?”

“Amarga sira sing nyawakake aku maneh... saiki sira kudu nerusake tugasku...”

Seketika, tubuh Novi terasa dingin. Wanita itu mendekat dan menyentuh dadanya. Hawa panas menjalar ke seluruh tubuh, dan pandangannya kabur. Ia mendengar bisikan samar — “Saiki... kowe bisa ndelok kaya aku ndelok...”

Keesokan paginya, Novi terbangun di lantai ruang tamu. Peti itu sudah tertutup rapat, dan tak ada tanda-tanda kehadiran sosok wanita itu lagi. Namun sesuatu dalam dirinya telah berubah. Ia bisa merasakan hawa dingin di setiap sudut rumah, bisa tahu kalau ada “sesuatu” yang tak kasat mata sedang memperhatikannya. Bahkan, ia bisa merasakan aura orang-orang di sekitarnya — mana yang baik, mana yang menyimpan niat jahat.

Profesor Rendra datang kembali hari itu, dan Novi menceritakan semua yang dialaminya. Profesor itu mendengarkan dengan ekspresi ngeri. “Kalau benar begitu, peti itu harus dikembalikan ke tempat asalnya. Kalau tidak, arwah itu tidak akan tenang.”

Dengan bantuan dokumen kuno, mereka menemukan lokasi yang tertulis di ukiran peti: sebuah bukit di Tumpang, tak jauh dari reruntuhan candi tua. Menurut legenda, tempat itu dulu menjadi lokasi pengorbanan bagi penjaga pusaka kerajaan.

Malam itu, Novi bersama Bima dan dua anggota lain membawa peti itu menggunakan truk kecil. Hujan rintik turun, jalanan berkabut, dan suara jangkrik terdengar pelan dari hutan sekitar. Saat mereka sampai di puncak bukit, angin berembus kencang membawa aroma bunga melati yang anehnya semakin kuat mendekati tempat itu.

“Ini tempatnya,” kata Profesor Rendra pelan. “Kembalikan ke sini, dan jangan menoleh ke belakang.”

Novi mengangkat peti itu perlahan dan meletakkannya di tengah batu datar. Saat tangannya menyentuh kayu, hawa dingin langsung menjalar hingga ke tulang. Ia berlutut, menutup matanya. Lalu, dari balik kabut, muncul sosok wanita itu sekali lagi. Kali ini wajahnya damai, tubuhnya bersinar lembut.

“Matur nuwun, sira wis ngembaliake aku... saiki tugasku rampung...”

Novi menunduk, air matanya menetes tanpa ia sadari. “Kau tidak akan mengganggu lagi?”

Wanita itu tersenyum. “Aku ora bakal ngganggu. Aku ninggalake sira bagian saka aku. Gunakake kanggo nglindungi wong-wong sing butuh pertolongan.”

Seketika cahaya putih menyilaukan mata mereka. Ketika kabut menghilang, sosok itu lenyap dan peti tertutup sendiri. Novi berdiri, menatap langit malam yang kini cerah. Tapi di telinganya, terdengar bisikan lembut — “Sira saiki penjagaku...”

Sejak malam itu, hidup Novi berubah sepenuhnya. Ia bisa merasakan kejahatan sebelum terjadi. Dalam penyelidikan kasus-kasus baru, ia sering mendapat firasat kuat yang selalu terbukti benar. Banyak pelaku kejahatan tertangkap karena “insting” Novi yang tak masuk akal. Orang-orang mulai menjulukinya “Polwan indra keenam”.

Namun Novi tahu, kekuatan itu bukan sepenuhnya miliknya. Ia masih sering mendengar suara samar dalam bahasa Jawa Kuno setiap malam. Kadang suara tangisan, kadang doa. Dan dalam keheningan, Novi selalu berbisik pelan, “Terima kasih, Lembah Ayu.”

Tiga bulan kemudian, kabar mengejutkan datang dari Tumpang. Peti kuno yang dikembalikan Novi ditemukan hilang dari tempatnya. Tak ada bekas digali, tak ada tanda di tanah. Seolah menghilang begitu saja. Penduduk sekitar melaporkan melihat cahaya aneh di langit malam sebelum peti itu lenyap.

Profesor Rendra menghubungi Novi dengan suara cemas. “Bu Novi, peti itu... sudah tidak ada. Saya takut sesuatu akan terjadi lagi.”

Novi hanya diam sejenak, lalu menjawab dengan nada tenang, “Biarkan saja. Kalau dia kembali, aku sudah tahu bagaimana harus menghadapinya.”

Malam itu, Novi duduk di beranda rumah dinasnya, memandangi langit. Angin berhembus lembut membawa aroma melati yang sama seperti dulu. Dalam samar, ia mendengar bisikan lembut, “Aku ora adoh, sira saiki kawitanku...”

Novi tersenyum tipis. Kini ia bukan hanya seorang penegak hukum dunia manusia. Ia telah menjadi penjaga dua dunia — yang terlihat dan yang tak terlihat. Dan di balik semua ketenangan itu, di suatu tempat entah di mana, peti kuno itu mungkin sedang menunggu saatnya untuk kembali dibuka.

Sampai saat itu tiba, Novi tahu — ia tidak lagi sendirian.

Posting Komentar