Kuntilanak di RSUD Yogyakarta

Table of Contents
Kuntilanak di RSUD Yogyakarta - Cerpen Horor Mania

Teror Mistis Mahasiswi di Rumah Sakit Yogya

Dewi menatap layar ponselnya yang bergetar di atas meja belajar. Malam itu suasana kos begitu sepi. Angin berhembus pelan dari jendela yang sedikit terbuka, menimbulkan suara gesekan dedaunan. Pesan dari sahabatnya, Rani, muncul di layar: “Dew, aku dirawat di RSUD Yogyakarta. Maag-ku kambuh parah. Tolong jenguk aku, ya.”

Dewi terdiam sejenak, menatap layar ponselnya dengan dahi berkerut. Ia baru saja menyelesaikan tugas kuliahnya di jurusan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, dan sebenarnya tubuhnya sudah letih. Namun, membayangkan Rani terbaring sakit membuatnya tak tega. Rani adalah sahabat dekatnya sejak SMA di Sleman, mereka kuliah di kota yang sama dan sering berbagi cerita tentang kehidupan di Yogyakarta yang penuh kenangan dan misteri, seperti misteri penampakan hantu di rumah panggung yang sempat viral di daerah selatan kota.

“Kasihan Rani, pasti sendirian di rumah sakit,” gumam Dewi sambil mengambil jaket abu-abu yang tergantung di kursi. Ia menatap jam di dinding—pukul 20.50. Waktu berkunjung memang sudah lewat, tapi ia berpikir mungkin petugas rumah sakit tidak akan terlalu mempermasalahkan.

Ia keluar dari kos yang berada di kawasan Pogung Lor, memesan ojek online, dan dalam waktu dua puluh menit sudah tiba di depan gerbang RSUD Yogyakarta. Rumah sakit itu berdiri megah namun menyimpan kesan tua, dengan gedung utama yang sudah berumur puluhan tahun. Penerangan di beberapa sudut tampak temaram, menciptakan bayangan panjang di dinding.

Begitu memasuki halaman depan, hawa dingin langsung menyergap tubuh Dewi. Udara di sekitar terasa berbeda, seolah lebih berat, lembap, dan beraroma karbol bercampur melati yang samar-samar tercium. Ia berjalan ke pos satpam.

“Malam, Mbak. Sudah jam segini mau ke mana?” tanya satpam berperawakan besar itu. “Teman saya dirawat, Pak. Saya cuma mau jenguk sebentar. Namanya Rani, di ruang Mawar 3,” jawab Dewi sopan. Satpam itu menatap Dewi lama, lalu menghela napas. “Sebenarnya jam besuk sudah lewat, tapi kalau cuma sebentar, silakan. Tapi hati-hati, ya. Lorong ke ruang Mawar agak gelap, lampunya sering mati.” Dewi mengangguk, mengucap terima kasih, lalu berjalan masuk.

Langkahnya menggema di lantai keramik putih. Beberapa bagian gedung terlihat sepi, hanya terdengar suara alat pendingin dan derit roda brankar yang didorong petugas jaga. Di tengah perjalanan, Dewi berhenti mendadak. Di sisi kanan, dekat tangga menuju ruang ICU lama yang sudah tidak digunakan, tampak seorang nenek-nenek duduk bersila di lantai. Ia mengenakan kebaya cokelat tua dan kain batik. Rambutnya putih seluruhnya, disanggul rapi. Di depannya, tersusun sesajen: bunga melati, dupa yang masih mengepulkan asap tipis, dan sebuah guci kecil berisi air bening.

Nenek itu duduk tenang, menatap kosong ke lantai. Wajahnya keriput, matanya cekung, tapi ada sesuatu dari sorot matanya yang membuat Dewi tidak nyaman. Entah kenapa, pandangan nenek itu terasa seolah menembus dirinya.

“Permisi, Nek,” sapa Dewi pelan, mencoba sopan. Tak ada jawaban. Nenek itu tetap diam, jemarinya memegang ujung dupa yang mulai padam. Dewi tersenyum kikuk, mengira nenek itu tidak mendengarnya. Ia melangkah lagi, tapi tanpa sengaja kakinya menyenggol guci kecil di depan nenek itu. “Krakk!” Guci itu pecah di lantai, airnya tumpah membasahi keramik. “Aduh, maaf, Nek! Saya nggak sengaja!” seru Dewi panik sambil menunduk mengambil pecahan guci. Tapi saat ia menatap nenek itu, tatapan mata tua itu berubah tajam, menatapnya seperti sedang memandang dosa besar.

Suara nenek itu pelan tapi bergetar. “Anak muda... kau menendang sesajen untuk penunggu tempat ini.” Dewi menelan ludah. “Sesajen? Saya benar-benar minta maaf, Nek. Saya nggak tahu itu penting.” “Kau harus menggantinya. Malam ini juga. Guci itu tempat persembahan untuk roh-roh yang haus. Kalau tidak, mereka akan menuntutmu,” ucap nenek itu dingin. Dewi tertawa kecil, mencoba menutupi ketakutannya. “Ah, Nenek bercanda, ya? Ini kan rumah sakit, bukan tempat pesugihan atau mistik begitu.” Nenek itu tidak tersenyum. Ia menunduk, lalu berkata lirih, “Kau akan tahu sendiri… siapa yang bercanda.” Dewi baru hendak bertanya lebih lanjut, tapi ketika menoleh, nenek itu sudah tidak ada. Hanya sisa dupa yang mengepul di lantai kosong. Ia menatap sekeliling dengan bingung. “Aneh, cepat banget hilangnya.”

Ia segera melanjutkan langkah ke ruang Mawar 3. Di dalam, Rani tampak terbaring pucat namun sadar. “Dewi?” katanya lemah. “Syukurlah kamu datang.” Mereka berbincang sebentar, Dewi membawa buah dan air putih. Tapi Rani tampak terus menatap ke arah pintu, seolah ada sesuatu di luar kamar. “Ran, kamu kenapa?” tanya Dewi. “Di lorong tadi kamu lihat nenek-nenek nggak?” tanya Rani tiba-tiba. Dewi menatapnya kaget. “Lihat. Kenapa?” “Jangan deketin dia,” bisik Rani dengan mata melebar. “Katanya, dia bukan manusia.”

Dewi merinding. “Kamu tahu dari mana?” “Perawat sini yang cerita. Dulu ada petugas kebersihan tua namanya Nyai Karsih. Dia sering duduk di lorong itu, bawa sesajen. Katanya buat nenangin roh pasien yang meninggal. Tapi suatu malam, dia jatuh di situ dan meninggal sendiri. Sejak itu, banyak yang masih lihat dia.” Dewi menatap Rani tak percaya. “Kamu bercanda, kan?” Rani menggeleng. “Aku lihat sendiri beberapa kali. Kalau kamu lihat dia duduk di lantai, jangan ganggu sesajennya.” Dewi tertawa kecil. “Tapi aku sudah—” ia berhenti bicara. Rani menatapnya. “Sudah apa, Dew?” Dewi menelan ludah. “Nggak apa-apa…”

Setelah pamit pulang, Dewi berjalan melewati lorong yang sama. Dupa dan guci yang pecah masih ada di lantai. Ia merasa bersalah, tapi pikirannya menolak percaya hal-hal seperti itu. Namun saat melangkah menjauh, angin dingin menerpa lehernya, dan terdengar suara tawa perempuan lirih dari arah tangga.

“Hihihihihihi…”

Dewi menoleh cepat. Kosong. Tapi bau melati begitu kuat, seolah mengepung dirinya. Ia berlari keluar rumah sakit, menahan ketakutan yang mulai menyesak dada.

Di kos, ia mencoba tidur. Tapi sekitar tengah malam, suara tawa itu muncul lagi, kali ini di dalam kamarnya. Ia membuka mata, dan melihat bayangan hitam berdiri di dekat lemari. Rambut panjang, tubuh tinggi, dan kepala miring dengan suara tawa melengking. “Hihihihihihihihi…” Dewi menjerit. “Siapa kamu?! Pergi!” Bayangan itu mendekat perlahan, dan suara nenek tua itu terdengar di telinganya, seperti berbisik dari udara. “Sudah kubilang, ganti gucinya, Dewi…”

Keesokan harinya, Dewi datang ke kampus dengan wajah pucat. Teman-temannya mengira ia kurang tidur. Tapi sepanjang hari, ia terus merasa diawasi. Di toilet fakultas, saat mencuci tangan, ia melihat di cermin ada sosok perempuan berdiri di belakangnya. Rambutnya panjang, matanya merah. Saat Dewi berbalik, tak ada siapa pun di sana. Namun lantai di bawah wastafel penuh bunga melati segar.

Rani menemuinya di kantin sore itu. “Dew, kamu kelihatan aneh. Kamu nggak apa-apa?” Dewi menatapnya dengan mata sayu. “Ran, aku diganggu. Aku nggak tahu harus gimana. Aku dengar tawa perempuan itu setiap malam.” Rani menggenggam tangan Dewi. “Kamu harus balik ke rumah sakit itu. Ganti gucinya, seperti kata nenek itu.” “Tapi nenek itu udah nggak ada, Ran. Aku udah cari tahu.” Rani terdiam. “Siapa bilang nggak ada?” katanya pelan. “Kadang yang sudah mati pun… masih bisa menunggu.”

Malamnya, Dewi memberanikan diri kembali ke RSUD Yogyakarta. Ia membawa guci baru dari pasar Beringharjo, lengkap dengan bunga melati dan dupa. Ia ingin menaruhnya di tempat yang sama. Hujan turun gerimis, membuat suasana semakin suram. Begitu memasuki lorong, lampu-lampu mulai berkedip. Setiap langkah Dewi terasa berat, seolah udara di sekitar menolak kedatangannya. Ia berlutut di lantai tempat guci dulu pecah. “Nek, maafkan saya… Saya nggak tahu kalau itu penting,” bisiknya lirih. Ia menaruh guci baru itu di lantai dan mulai menyusun bunga melati.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki di belakangnya. Pelan tapi pasti, semakin mendekat. “Sudah kau ganti, Dewi?” suara itu parau, penuh dendam. Dewi menoleh perlahan. Di sana, berdiri sosok nenek tua yang sama, tapi kini wajahnya pucat seperti mayat, matanya hitam seluruhnya. Di belakangnya, muncul bayangan tinggi berambut panjang, dengan gaun putih kotor dan darah menetes dari ujung rambutnya. “Kenapa baru sekarang?” tanya nenek itu. “Kau sudah membuatnya marah…” Kuntilanak di belakangnya mengeluarkan tawa melengking yang memekakkan telinga. “Hihihihihihi!” Lampu lorong padam bersamaan. Dewi menjerit dan berlari, tapi jalanan terasa berputar. Dinding rumah sakit seolah berubah bentuk, lorong menjadi lebih panjang tanpa ujung. Di setiap sisi, muncul bayangan pasien dengan wajah rusak, tubuh penuh darah, menatapnya kosong. “Maaf! Saya nggak sengaja!” teriak Dewi ketakutan. Tapi suaranya tenggelam oleh tawa kuntilanak yang semakin keras. “Hihihihihihihi…”

Ia akhirnya jatuh tersungkur di lantai, memegang guci yang hampir pecah lagi. Nenek itu mendekat, membisikkan sesuatu di telinganya, “Sekarang giliranmu menjaga tempat ini.” Cahaya kilat menyambar dari jendela rumah sakit, dan semua gelap seketika.

Keesokan paginya, petugas rumah sakit menemukan guci pecah di lantai lorong lama dan bunga melati berserakan. Mereka juga menemukan jaket kampus bertuliskan nama “Dewi A.” tergeletak di sana, namun tidak ada tanda-tanda Dewi di mana pun. Satpam yang berjaga malam itu bersumpah melihat sosok gadis berjalan di lorong pukul dua dini hari, membawa guci kecil dan bunga melati. Ketika dipanggil, gadis itu menoleh, tersenyum samar, lalu menghilang di udara.

Sejak malam itu, beberapa perawat melaporkan gangguan aneh di RSUD Yogyakarta. Sesajen yang diletakkan di ruang rawat selalu berpindah tempat sendiri. Kadang terdengar tawa perempuan di ruang kosong. Pasien sering mengeluh mencium bau melati padahal tidak ada bunga di sekitar. Dan di lorong tempat Nyai Karsih dulu sering duduk, kini kadang terlihat sosok gadis muda duduk termenung di lantai keramik, memeluk guci pecah di tangannya.

“Hihihihihihi…”

Beberapa pengunjung yang datang malam hari mengaku melihat gadis itu berjalan melewati lorong sambil menatap kosong ke arah ICU lama. Saat mereka mencoba mendekat, gadis itu perlahan lenyap, meninggalkan jejak air dan bunga melati di lantai. Kini, legenda tentang Kuntilanak di RSUD Yogyakarta menjadi kisah menyeramkan yang sering dibicarakan oleh mahasiswa dan petugas rumah sakit. Mereka percaya, Dewi tak benar-benar pergi. Ia menjadi bagian dari penunggu rumah sakit itu—penjaga baru yang tak kasat mata. Dan setiap kali bau melati memenuhi lorong-lorong rumah sakit tua itu, semua tahu satu hal: roh Dewi sedang lewat, menunggu seseorang yang berani mengganggu sesajen berikutnya.

“Hihihihihihihi…”

Posting Komentar