Kampung Seribu Hantu Tirta Asih
Misteri Desa Hilang Penuh Arwah
Santi, seorang mahasiswi tingkat akhir, memutuskan untuk mengambil liburan setelah berminggu-minggu menjalani UAS yang melelahkan. Ia butuh ketenangan, jauh dari hiruk pikuk kota dan gangguan manusia. Maka ia mengajak empat sahabatnya — Raka, Putri, Gilang, dan Mira. Lima orang itu sudah bersahabat sejak semester awal, dan liburan ke pegunungan sudah menjadi rencana lama yang baru bisa terwujud.
Perjalanan mereka dimulai dengan penuh tawa dan semangat. Mobil sewaan melaju melewati hutan hijau dan udara dingin khas pegunungan menyambut dengan lembut. Gilang sempat bercanda mengingat cerita Temanku Sudah Mati Saat Mendaki yang pernah ia dengar di kampus, namun mereka semua hanya menertawakannya. Setelah tiba di titik pendakian, mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki untuk mencari lokasi camping paling tenang sesuai rencana.
Awalnya semuanya menyenangkan, mereka mendirikan tenda di tepi sungai kecil dan memasak mie sambil bernyanyi. Namun pada hari kedua, hujan turun tiba-tiba dan tanah menjadi licin. Sungai meluap, memaksa mereka mengemas semuanya dengan tergesa-gesa. Mereka melanjutkan perjalanan mengikuti jalur hutan yang seharusnya menuju ke basecamp, namun entah bagaimana mereka salah arah.
“Kita udah muter-muter dari tadi, sumpah ini jalannya nggak beres,” keluh Putri sambil menghentakkan kakinya ke tanah.
“GPS nggak ada sinyal, map juga nggak jelas. Kita cuma perlu tetap jalan lurus,” balas Raka.
Tapi tidak ada yang benar-benar lurus di tengah hutan. Kabut tebal turun secara tiba-tiba, membuat pandangan hanya sejauh satu meter. Aneh, kabut datang begitu cepat, seperti muncul dari tanah. Udaranya juga terasa sangat dingin, dingin yang menusuk tulang.
Saat kabut menipis, mereka melihat sebuah gapura kayu tua di depan mereka bertuliskan Selamat Datang di Kampung Tirta Asih. Di baliknya tampak deretan rumah kayu tradisional berjajar rapi. Ladang-ladang kecil, pagar bambu, dan warga desa yang sedang beraktivitas.
“Desa? Di peta harusnya nggak ada perkampungan di wilayah ini,” gumam Gilang.
Meski ragu, mereka masuk, karena kondisi fisik dan mental sudah mulai menurun. Para warga desa langsung menyambut mereka. Wajar, ramah, sopan. Anak kecil berlari-lari, bapak-bapak bekerja di sawah, ibu-ibu menjemur pakaian. Tidak ada yang terlihat menyeramkan sedikit pun.
“Silakan beristirahat, Nak. Kalian pasti lelah,” ujar seorang pria tua berkumis tebal, tampaknya kepala desa.
Tanpa curiga, mereka mengikuti ajakan itu. Mereka diberi kamar di rumah besar dengan nuansa Jawa yang sederhana namun nyaman. Penduduk memberikan makanan dan minuman hangat. Tidak ada satu pun dari mereka yang mencurigai bahwa sesuatu salah — setidaknya sampai malam tiba.
Malam pertama menjadi titik awal semua teror.
Santi tidak bisa tidur karena perasaan tidak nyaman yang tak dapat dijelaskan. Suasananya terlalu sunyi untuk sebuah desa. Bahkan jangkrik tidak terdengar. Ia memutuskan pergi ke kamar mandi, namun saat melewati ruang tamu, ia melihat seorang anak kecil berdiri memunggunginya.
“Dek… kamu ngapain di sini?” tanya Santi pelan.
Anak itu menoleh — bukan menoleh biasa, melainkan memutar kepala hingga 180 derajat. Tubuhnya tidak bergerak sama sekali. Matanya kosong, mulutnya terbelah sampai ke pipi.
Santi spontan menutup mulutnya untuk menahan teriakan. Anak itu tersenyum — senyum lebar yang salah, senyum bukan milik manusia hidup.
Ia mundur perlahan, kemudian langsung kabur ke kamar, membangunkan Putri dan Mira. Tetapi keduanya menyalahkan kelelahan sebagai penyebab halusinasi. Meski begitu, hingga subuh Santi tidak bisa memejamkan mata karena suara tawa anak itu terus terdengar di luar dinding kamar.
Pagi datang, penduduk bertingkah seolah tidak ada apa-apa. Mereka tetap ramah dan menawarkan sarapan. Tetapi Santi mulai memperhatikan sesuatu — tidak ada satu pun hewan di desa. Tidak ada burung di langit, tidak ada ayam, tidak ada anjing. Bahkan tidak ada kabel listrik, tidak ada tiang listrik, meski di malam sebelumnya rumah diterangi lampu.
Ia ingin mengajak teman-temannya pergi saat itu juga, namun mereka tidak percaya. “Santai dulu, kan cuma tiga hari di sini, lumayan buat healing,” ujar Gilang.
Malam kedua, gangguan tidak hanya menimpa Santi. Semua merasakannya.
Gilang terbangun karena mendengar suara ketukan lemari. Saat dibuka, terlihat seorang wanita dengan rambut panjang duduk di dalamnya, menatap lurus tanpa kelopak mata. Ia perlahan bergerak ke luar dengan tubuh patah seperti tidak memiliki tulang.
Raka mendengar puluhan suara berbisik dari bawah kasurnya, seolah banyak orang berbicara bersamaan. Saat ia menutup telinganya, suara itu justru terdengar dari dalam kepalanya.
Putri melihat bayangan seseorang memanjat dinding kamar dengan gerakan aneh seperti laba-laba. Tubuh makhluk itu sama sekali tidak memiliki wajah, hanya daging rata.
Mira mengalami yang paling parah. Ketukan dari lemari membuatnya membuka pintu dengan panik, dan seorang nenek dengan tubuh membungkuk keluar, wajahnya dipenuhi belatung, giginya rontok satu persatu namun ia terus tersenyum.
Besok paginya mereka sepakat untuk pergi. Tetapi jalan keluar desa selalu berujung kembali ke gapura yang sama, tidak peduli arah mana yang mereka tempuh. Desa itu seperti memutar realita agar mereka tetap berada di dalamnya.
“Kita minta izin ke kepala desa. Mungkin mereka nggak suka kita pergi diam-diam,” ujar Raka.
Ketika mereka datang ke rumah kepala desa, lelaki itu sudah duduk menunggu di ruang tamu tanpa ekspresi.
“Kalian tidak akan pergi,” katanya tanpa emosi.
“Apa maksudnya? Kami hanya numpang istirahat. Kami mau pulang!” teriak Santi.
“Di sini tidak ada yang datang… dan tidak ada yang pergi. Kalian akan tinggal bersama kami. Selamanya.”
Tiba-tiba semua penduduk desa muncul — tidak lagi dengan bentuk manusia. Kulit mereka membusuk, mata kosong, tubuh patah, beberapa bahkan hanya separuh tubuh. Semua tersenyum — senyum kematian.
Mereka berlari, tetapi setiap pintu berubah menjadi tembok, setiap jalan menjadi belokan tanpa ujung. Desa itu menutup mereka. Hari demi hari berjalan tanpa pagi atau malam, waktu terasa berhenti. Mereka hanya bersembunyi dari para roh desa yang memburu mereka seolah menikmati permainan.
Mereka mulai kehilangan tenaga dan akal. Terkadang mereka mendengar suara orang-orang memanggil nama mereka dari segala arah. Kadang mereka dikejar oleh makhluk-makhluk tanpa wajah, kadang oleh tubuh yang terseret karena kehilangan kaki, kadang oleh anak kecil yang tertawa sambil memegang bagian tubuh keluarganya yang terpotong.
Santi hampir menyerah sampai suatu hari ia menemukan batu besar berlumut di tepi desa. Di batu itu tertulis peringatan tentang tragedi longsor 1998: Seluruh warga Desa Tirta Asih meninggal tertimbun. Tidak ada korban selamat. Desa hilang dari peta selamanya.
Santi menatap batu itu dengan air mata mengalir. “Jadi… desa ini… seharusnya nggak ada?”
Saat ia membaca tulisan itu, kabut terangkat tiba-tiba. Seluruh desa tampak berubah. Bangunan-bangunan itu tidak lagi mewah — hanya puing runtuhan tanah. Jalan tanah berubah menjadi perbukitan, tidak ada kehidupan manusia sama sekali, hanya sisa-sisa fondasi rumah. Teman-temannya jatuh tersungkur di sampingnya, terisak, ketakutan dan lelah.
Namun tepat ketika mereka mengira semuanya berakhir, para penduduk muncul dengan wujud asli mereka — roh-roh kematian yang terjebak di tanah longsor. Kepala desa melayang mendekati mereka dengan wajah hancur separuh.
“Kami sudah mati. Tapi kami tetap di sini. Dan kalian… milik kami.”
Teriakan mereka pecah ketika para hantu menyeret mereka, menarik mereka ke tanah. Tepat saat mereka hampir hilang, tanah kembali berguncang keras, seperti longsor terjadi kembali. Kabut menutup pandangan dan semua gelap.
Ketika Santi membuka mata, mereka sudah berada di tengah bukit kosong — tidak ada desa, tidak ada gapura, tidak ada bangunan. Hanya gundukan tanah dan pepohonan hening. Semua terbaring lemas, memandang sekitar dengan ketakutan.
Mereka berhasil turun gunung dengan tubuh gemetar hingga tiba di pos pendaki. Petugas pos menatap mereka dengan wajah bingung dan ngeri.
“Dari mana kalian? Di atas sana tidak ada desa, sudah puluhan tahun tempat itu kosong. Orang sini pun nggak berani ke daerah longsor.”
Tidak satu pun dari mereka menjawab. Tidak ada yang sanggup.
Malamnya mereka menginap di villa sederhana untuk menenangkan diri. Mereka tidur satu kamar berlima karena takut berpisah. Santi bahkan sempat teringat sebuah artikel tentang Teror Hantu Berkepala Dua di Hotel Bogor yang pernah ia baca, dan rasa takutnya semakin menjadi. Tepat pukul 1 dini hari, terdengar ketukan halus di pintu.
Tok… tok… tok…
Suara itu sama. Identik.
Mira menutup telinga dan menangis. “Jangan dibuka… jangan dibuka…”
Namun pintu itu terus bergetar seolah seseorang mencoba masuk dengan paksa. Suara banyak orang terdengar dari luar, suara dewasa, suara nenek-nenek, suara anak-anak, suara tawa — suara penduduk desa.
“Kalian sudah pernah tinggal bersama kami… jangan pergi lagi…”
Lampu kamar berkedip. Suhu turun drastis. Santi memandangi pintu dengan wajah pasi, karena ia tahu satu hal pasti:
Desa Tirta Asih tidak ingin mereka selamat. Desa itu telah mati… dan desa itu tidak bisa menerima bahwa mereka masih hidup.
Dan sampai hari ini, sejak kejadian itu, lima sahabat tersebut tidak pernah tidur tanpa mimpi buruk. Kadang mereka terbangun dengan suara ketukan, kadang dengan tawa anak kecil, kadang dengan bayangan wanita dari lemari. Mereka mencoba mengabaikan, berpindah-pindah rumah, bahkan pergi ke kota lain.
Tapi penduduk desa selalu menemukan mereka.
Karena Kampung Seribu Hantu tidak pernah mengizinkan siapa pun pergi… bahkan setelah mereka keluar dari sana.

Posting Komentar