Teror Hantu Berkepala Dua di Hotel Bogor
Misteri Kamar Terlarang di Hotel Bogor
Kabut Bogor belum benar-benar terangkat ketika Susi tiba di depan Hotel Samudra Arta, tempat ia mulai bekerja seminggu lalu. Bangunan hotel itu berdiri megah, tetapi entah kenapa setiap kali ia memandanginya, ada hawa dingin yang merayap dari sela-sela tembok tuanya. Semakin hari, firasatnya semakin kuat: hotel ini menyimpan sesuatu yang tidak wajar.
Susi adalah karyawan baru bagian housekeeping. Ia diterima setelah wawancara singkat yang terlalu mudah. Nyaris terlalu mulus. Ia curiga sebenarnya hotel sedang kekurangan karyawan, tapi semua orang terlihat bekerja seperti otomatis, hening, dan tidak banyak bicara.
Namun sejak hari pertama bekerja, Susi sering mendengar suara aneh di lorong-lorong. Terkadang seperti bisikan. Kadang seperti langkah kaki bayi merayap. Kadang seperti seseorang menyebut namanya.
Pernah suatu pagi, ketika ia merapikan trolley perlengkapan, suara lirih itu terdengar lagi.
“...Suuusiii…”
Nadanya panjang, bergetar, seolah dipanggil dari dua arah.
Susi menoleh cepat. Tidak ada siapa pun. Lorong itu panjang, lampunya redup, dan ujungnya tampak seperti menghilang ke dalam kabut yang masih menempel di kaca-kaca besar hotel.
“Aduh, kenapa sih hotel ini,” gumamnya sambil mengusap lengan, merasakan bulu kuduknya meremang.
Ia berusaha memaksa dirinya untuk mengabaikan suara-suara itu. Namun pada hari ketiga, sesuatu yang jauh lebih nyata muncul.
Ia sedang membawa cucian kotor dari lantai dua ke ruang laundry ketika tiba-tiba, di ujung lorong, muncul sosok perempuan. Gaun putihnya lusuh dan sobek, rambutnya panjang hingga menutup wajah.
Namun bukan itu yang membuat Susi tertegun.
Perempuan itu memiliki dua kepala. Dua kepala berdempetan, satu menghadap ke kanan, satu menghadap ke kiri, seolah keduanya sedang mencari sesuatu dalam ruangan itu.
Tubuh Susi membeku seperti es. Ia bahkan lupa bernapas.
Begitu ia mengedip, sosok itu hilang.
“Sembunyi di mana pun bisa hilang begitu aja? Nggak masuk akal…” bisiknya panik.
Sejak saat itu, sosok berkepala dua itu muncul hampir setiap hari. Kadang hanya sekilas. Kadang sangat dekat. Terlalu dekat.
Suatu pagi ketika Susi hendak membersihkan kamar 208—kamar yang sejak awal membuatnya tidak nyaman—ia merasakan jantungnya berdegup kencang.
Supervisor mengatakan kamar itu kosong. Tidak pernah ditempati dalam beberapa bulan terakhir. Tidak ada tamu. Tidak ada pemesanan.
Tetapi ketika Susi mendorong pintu, lampunya menyala dan ada aroma susu basi bercampur kain busuk menyengat hidungnya.
“Nggak mungkin kamar kosong bau begini,” gumamnya sambil menahan mual.
Tirai jendela bergerak pelan, padahal jendela tertutup rapat.
Susi mendekat.
Dari balik tirai, muncul tangan kecil—tangan bayi, kurus, pucat, dan panjang seolah tubuhnya kurang gizi.
Lalu kepala itu muncul. Bukan satu. Dua kepala bayi prematur, kembar dempet, dengan wajah pucat pucat seperti kertas.
Susi terpaku dalam ketakutan. Bayi itu menatapnya, mata kecilnya dingin, kosong, namun seolah meminta sesuatu.
Kemudian dari bawah ranjang, sosok perempuan berkepala dua itu merangkak keluar dengan gerakan patah-patah. Tubuhnya gemetar seolah menahan sakit, dan dua kepalanya mengeluarkan suara lirih:
“Ka… mi… di… sini…”
Susi menjerit, menjatuhkan sapu dan ember, lalu berlari keluar kamar tanpa menoleh lagi. Lorong terasa begitu panjang, seolah hotel mempermainkan jaraknya.
Begitu ia sampai di lobi, seorang satpam menatapnya dengan datar.
“Kamar 208, ya?” tanya satpam itu singkat.
Susi mengangguk gemetar.
“Biasakan saja,” katanya sambil berlalu.
Susi terpaku. Kata-kata itu logis untuk menghadapi tamu marah atau bau ruangan. Tapi untuk menghadapi hantu berkepala dua? Itu membuat hotel ini semakin mencurigakan.
Malam itu, saat shift selesai, Susi duduk sendirian di kantin karyawan, memeluk cangkir kopi yang sudah dingin.
Seorang pria tua duduk di hadapannya—Pak Rukman, karyawan paling tua dan paling lama bekerja di hotel itu.
“Kenapa pucat sekali? Kamu baru lihat setan?” tanyanya sambil tersenyum lelah.
Susi tertegun. “Bapak jangan bercanda…”, katanya, sambil mengingat sebuah cerita tentang Teror Pesugihan Ayam Hitam di Kendal yang pernah ia dengar dari teman.
“Jangan bilang… kepalanya dua?”
Susi membeku, jantungnya serasa berhenti.
“Pak… Bapak tahu?” desisnya pelan.
Pak Rukman mengangguk, wajahnya mendadak serius. “Jangan bahas di sini. CCTV ada di setiap sudut. Ikut saya.”
Ia membawa Susi ke gudang lantai satu, memastikan pintu tertutup rapat, lalu berbisik:
“Kamu sudah terpilih, Sus… Mereka memilihmu.”
Susi tidak mengerti. “Dipilih? Dipilih untuk apa?”
“Untuk melihat kebenaran. Untuk membuka rahasia yang sudah disembunyikan lebih dari sepuluh tahun.”
Pak Rukman menghela napas, lalu bercerita—cerita yang membuat seluruh tubuh Susi gemetar ketakutan dan kemarahan.
Dulu, sebelum hotel direnovasi, ada seorang perempuan muda—seorang pelayan hotel yang cantik, berambut hitam panjang. Ia menjalin hubungan gelap dengan pemilik hotel. Hubungan itu harusnya sebagai cinta terlarang biasa, tetapi berubah menjadi tragedi ketika perempuan itu hamil.
Ia melahirkan lebih cepat dari waktunya—bayi prematur yang lahir dengan dua kepala. Dokter bilang bayi itu memiliki kelainan langka, tetapi tetap hidup meski dengan kondisi sangat rapuh.
Pemilik hotel marah besar. Bayi itu adalah bukti dosa. Jika media atau keluarga mengetahui, reputasi hotelnya bisa hancur.
Karena takut skandal mencuat, ia memerintahkan beberapa pegawai kepercayaannya untuk membawa perempuan itu dan bayinya ke kamar terkunci—kamar 208. Mereka dikurung. Tidak boleh keluar. Tidak boleh menangis keras. Tidak boleh terlihat siapa pun.
Makanan diberikan seadanya. Tidak ada obat. Tidak ada perawatan medis. Ibu dan anak itu perlahan kelaparan, tubuh mereka semakin kurus, dan suara tangisan bayi itu semakin jarang terdengar.
Hingga suatu malam, perempuan itu meninggal sambil memeluk bayinya. Bayi itu ikut mati beberapa jam kemudian.
Namun karena keduanya saling berpelukan sangat erat saat meninggal, dan karena kematian mereka penuh penderitaan, arwah keduanya menyatu—membentuk sosok perempuan berkepala dua dengan suara bayi yang terus merintih.
“Mereka tidak akan pergi sampai kebenaran terbongkar,” kata Pak Rukman gemetar. “Dan kamu... entah kenapa, mereka memilih kamu.”
Susi menggenggam lututnya, tubuhnya bergetar hebat. “Tapi… kenapa saya, Pak?”
“Karena kamu punya keberanian lebih dari orang-orang di sini. Mereka ingin kamu melihat sesuatu.”
Percakapan itu terputus ketika pintu gudang terbuka keras. Pemilik hotel berdiri di sana, wajahnya datar namun matanya tajam.
“Ada yang curhat soal kamar tua?” katanya dingin.
Pak Rukman menunduk dalam. “Tidak, Pak. Saya hanya menjelaskan tugas.”
Pemilik hotel menatap Susi lama, sangat lama, hingga Susi merasa detak jantungnya berdentam di telinganya.
“Kamu karyawan baru yang pintar,” katanya sambil tersenyum kecil. “Tetaplah begitu. Hotel ini butuh orang yang tahu kapan harus diam.”
Setelah ia pergi, Susi merasa seluruh perutnya mual. Tatapan itu… seperti ancaman.
Malamnya, teror semakin menjadi.
Susi terbangun di kamar mess karena mendengar suara ketukan pelan:
Tok… tok… tok…
Ia membuka pintu. Lorong gelap. Tidak ada orang.
Namun ia mendengar suara tawa bayi.
“Hhii… hhkgh… hihihi…”
Suara itu seperti dari jarak dekat, tetapi tidak terlihat.
Tiba-tiba lampu lorong mati. Gelap total.
Dalam gelap, ada napas dingin tepat di belakang telinganya. Dua napas berbeda. Dua arah berbeda.
“Hhh… hhh… susi… lihat… kami…”
Ketika lampu menyala, sosok perempuan berkepala dua itu berdiri sangat dekat. Salah satu kepala menangis, satunya lagi tersenyum samar—senyum mengerikan tanpa bibir.
“Lihat… kebenaran…”
Lalu semuanya menghilang.
Esoknya, ia menemukan sesuatu di atas bantalnya—sebuah kunci tua berkarat.
Susi tahu kunci itu bukan dari dunia ini. Tapi untuk apa?
Hari itu, ia memberanikan diri kembali ke kamar 208. Kamar itu lebih dingin dari sebelumnya, seperti ruang mayat. Setelah mencari dengan senter, ia menemukan celah kecil di dinding sebelah lemari.
Kunci itu pas.
Dengan suara berderit panjang, dinding itu bergeser. Di baliknya ada ruangan sempit, hanya satu meter kali satu meter. Dinding penuh bekas cakar dan tulisan miring, seperti bahasa putus asa.
Ada kasur tipis berlumut. Ada rantai kecil. Ada cangkir plastik retak.
Dan aroma kematian yang menyengat meski bertahun-tahun sudah berlalu.
Saat Susi masih mencoba mencerna semuanya, suara langkah terdengar. Ternyata, cerita tentang Rahasia Jari Berdarah di Rumah Tua yang pernah beredar di kalangan warga setempat, kembali teringat di pikirannya.
Pemilik hotel muncul di ambang pintu.
“Jadi kamu sudah sejauh ini.”
Suara itu membuat jantung Susi membeku.
“Pak… saya hanya—”
“Kamu tidak boleh tahu,” katanya dingin sambil mengeluarkan pisau kecil. “Hotel ini berdiri karena reputasi. Dan reputasi itu harus dijaga.”
Susi mundur, punggungnya menempel dinding.
Namun saat pemilik hotel mengangkat pisau, terdengar suara lirih dari ruangan kecil itu—suara bayi menangis. Lalu jeritan perempuan.
Pemilik hotel terpaku ketakutan. “Tidak… jangan…”
Dari dalam ruangan tersembunyi itu, sosok perempuan berkepala dua muncul perlahan-lahan, kedua kepalanya memancarkan cahaya gelap.
“Kaaauuuu… buuunuuhh… kaaaamiii…”
Pemilik hotel menjerit dan terjatuh mundur.
Arwah itu menubruknya, seluruh ruangan bergetar, lampu meledak satu per satu. Jeritan pemilik hotel terdengar menggema di seluruh lantai.
Ketika semuanya tenang, ia sudah terbaring tak bernyawa. Wajahnya pucat, matanya kosong, seolah seluruh hidupnya tersedot keluar.
Hantu berkepala dua itu menatap Susi—tanpa amarah. Justru seperti sedih.
“Terima… kasih… Susi…”
“Kami… bebas…”
Dua kepala itu perlahan menyatu menjadi cahaya kecil yang naik ke langit-langit. Lalu hilang sepenuhnya, meninggalkan keheningan yang justru terasa hangat.
Susi hanya bisa duduk sambil menangis, memeluk lututnya. Ia telah menjadi saksi dari tragedi yang selama ini dikubur dalam-dalam.
Satu minggu kemudian, hotel ditutup. Polisi menemukan ruangan tersembunyi dan catatan lama. Beberapa karyawan lama diinterogasi. Beberapa menangis. Beberapa lainnya kabur.
Susi memberikan kesaksian, tetapi ia tidak pernah menyebut tentang hantu. Ia hanya berkata ia menemukan ruangan itu secara tidak sengaja.
Namun sampai hari ini, ketika ia berjalan melewati jalanan Bogor yang berkabut, ia kadang mendengar tawa kecil dua bayi mengikuti langkahnya.
Bukan menakutkan.
Lebih seperti ucapan terima kasih.

Posting Komentar