Penampakan di Rumah Panggung Nenek

Table of Contents
Penampakan di Rumah Panggung Nenek - Cerpen Horor Mania

Kisah Arwah Wanita Bergaun Putih di Rumah Nenek

Namaku Dina, seorang karyawan swasta di Jakarta. Hidup di ibu kota membuatku terbiasa dengan ritme cepat, suara klakson, lembur sampai larut malam, dan kopi yang menjadi teman setia. Namun di balik kesibukan itu, ada rasa lelah yang tak terobati. Jadi ketika perusahaan memberikan cuti panjang, aku tak berpikir dua kali untuk pulang ke kampung halamanku di Kalimantan Selatan, di sebuah desa kecil bernama Sungai Dua. Di sanalah rumah nenekku berdiri—rumah panggung kayu tua yang sejak kecil selalu kurindukan.

Rumah itu terbuat dari kayu ulin, berdiri gagah di tepi hutan kecil, tidak jauh dari sungai yang airnya masih jernih. Setiap kali aku datang, aroma kayu basah dan daun kering selalu menyambut, memberi rasa nostalgia yang hangat. Tapi kali ini, entah kenapa, suasananya terasa sedikit berbeda—sepi, sunyi, bahkan cenderung mencekam. Angin sore yang dulu menenangkan kini berhembus dingin menusuk kulit.

“Nek!” panggilku begitu turun dari mobil travel.

Nenek muncul di beranda rumah panggung. Tubuhnya kurus, rambutnya memutih seluruhnya, tapi senyumnya masih sama hangat seperti dulu. “Dinaaa! Akhirnya pulang juga, Nak!” katanya sambil membuka tangannya lebar-lebar. Aku berlari memeluknya. Tubuhnya masih harum minyak kayu putih dan bunga kenanga, aroma yang selalu membuatku merasa aman.

“Hehe, iya Nek, kangen banget sama Nenek,” kataku sambil tersenyum. Namun saat melewati tangga kayu menuju ruang tamu, bulu kudukku meremang. Suara kayu berderit pelan, dan sesaat aku merasa ada sesuatu yang memperhatikanku dari bawah rumah. Aku menoleh sekilas, tapi tak ada siapa-siapa. Hanya bayangan pohon pisang yang bergoyang diterpa angin.

Hari-hari pertama berjalan biasa saja. Aku membantu Nenek menjemur pakaian, membersihkan pekarangan, dan menata dapur yang penuh alat masak kuno. Setiap pagi kami minum kopi di beranda sambil mendengar burung bersiul. Aku hampir lupa bahwa rumah ini pernah terasa aneh. Sampai akhirnya malam ketiga datang.

Hujan turun deras malam itu. Aku baru saja akan tidur ketika terdengar suara “tok… tok… tok…” dari bawah rumah panggung. Langkahnya pelan tapi berat. Aku berpikir mungkin itu ayam atau kucing. Tapi setelah beberapa saat, langkah itu berhenti tepat di bawah kamarku. Lalu terdengar suara lain—seperti desahan panjang.

“Haaahhh…”

Suara itu membuat jantungku berdetak cepat. Aku menahan napas, mencoba berpikir logis, tapi rasa takut menelanku bulat-bulat. Aku menarik selimut sampai ke leher dan menutup telinga rapat-rapat. Tapi suara langkah itu tetap terdengar. Berjalan pelan, bolak-balik, seolah seseorang sedang mondar-mandir di bawah.

“Tolong…” suara itu terdengar lirih, samar, tapi jelas. Aku membeku di tempat. Tak lama kemudian, suara itu lenyap. Aku tak bisa tidur sampai pagi.

Esok harinya aku menceritakan semuanya pada Nenek. “Nek, semalam aku dengar suara langkah di bawah rumah. Kayak orang jalan, tapi aneh banget,” kataku sambil menyeruput kopi. Nenek terdiam lama sebelum menjawab.

“Dina, kalau malam-malam dengar suara apa pun dari bawah rumah, jangan disahut ya,” ucapnya akhirnya.

“Kenapa, Nek?”

“Karena dulu… rumah ini pernah jadi tempat tinggal sementara bagi seorang perempuan yang datang tengah malam. Cerita tentang arwah yang belum tenang bukan hal baru di nusantara. Bahkan ada kisah Teror Hantu Suanggi di Hutan Papua yang membuat warga sekitar hidup dalam ketakutan dan hingga kini masih menjadi misteri di tanah timur Indonesia. Namanya Lela. Dia minta tumpangan waktu hujan besar, tapi… besoknya dia ditemukan meninggal di dekat hutan belakang.”

Dadaku terasa sesak. “Dia meninggal di sini?”

“Iya. Orang bilang, arwahnya belum tenang. Kadang dia masih datang malam-malam,” ujar Nenek pelan. “Kalau kau dengar langkah itu, mungkin dia sedang mencari tempat berlindung lagi.”

Sejak saat itu aku mulai memperhatikan hal-hal kecil di rumah itu. Kadang malam-malam ada suara kain bergesekan di dapur, kadang jendela terbuka sendiri meski sudah kukunci. Aku berusaha tak memikirkan hal-hal mistis, tapi perasaan tak nyaman itu terus menghantuiku.

Suatu malam, saat aku sedang menulis di meja, lampu kamar tiba-tiba berkelip. Suara “tik… tik…” seperti kuku mengetuk kayu terdengar dari arah pintu. Aku menatap ke sana. Pintu itu perlahan terbuka sendiri, disertai hembusan angin dingin. Dari sela pintu, tampak kain putih panjang bergerak pelan, lalu muncul sosok perempuan dengan rambut panjang menutupi wajahnya. Ia berdiri di sana, diam, dengan kepala agak miring ke kiri.

“Kaaau… pulang…” suaranya pelan tapi serak, membuat bulu kudukku berdiri. Aku menjerit, terjatuh dari kursi, dan lari ke kamar Nenek.

“Astaghfirullah, Dina! Ada apa?” tanya Nenek panik.

“Dia, Nek… perempuan itu… di kamarku!” jawabku gemetar.

Nenek menggenggam tanganku erat. “Sudah, Nak. Jangan takut. Besok kita panggil Pak Hadi.”

Keesokan harinya datanglah Pak Hadi, seorang dukun tua yang terkenal di desa itu. Wajahnya penuh keriput, tapi matanya tajam. Begitu masuk ke rumah, dia langsung memejamkan mata dan mengusap lantai kayu.

“Rumah ini masih ada penunggunya,” katanya perlahan. “Ada roh perempuan yang belum tenang. Dia tidak jahat, tapi marah.”

“Marah pada siapa, Pak?” tanyaku hati-hati.

Pak Hadi memandangku lama, lalu berkata, “Padamu, Nona.”

“Padaku? Tapi aku baru pulang!”

“Bukan karena kau pribadi, tapi karena darahmu. Kau keturunan orang yang dulu menolak menolongnya.”

Perkataan itu membuat suasana hening. Nenek menunduk. “Dulu, almarhum ayahku memang pernah menolak perempuan yang datang malam-malam itu. Ia takut disalahkan orang kalau perempuan itu mati di rumah kami. Tak tahunya… justru ia mati di luar,” ucap Nenek lirih.

Pak Hadi mengangguk. “Roh itu tersesat di antara penyesalan dan kemarahan. Dia ingin didengar, bukan ditakuti.”

Sore itu, Pak Hadi melakukan ritual. Dupa dibakar, dan mantra dilantunkan. Angin mendadak kencang, membuat tirai jendela berkibar hebat. Dari ruang tengah terdengar suara tangis perempuan, samar tapi memilukan. Aku melihat bayangan putih berlari ke arah dapur, lalu menghilang di dinding.

“Dia menunjukkan masa lalunya,” kata Pak Hadi. “Dia dibunuh di dekat sungai, bukan meninggal alami.”

“Siapa yang bunuh?” tanyaku lirih.

“Dia diserang seseorang yang dia percayai. Laki-laki yang dulu berjanji menolongnya,” jawab Pak Hadi.

Semua menjadi jelas: perempuan itu adalah korban, bukan arwah jahat. Ia hanya ingin ditemukan dan dipulihkan namanya.

Malam berikutnya, aku bermimpi. Dalam mimpi itu, aku berdiri di tepi sungai belakang rumah. Lela berjalan ke arahku, mengenakan gaun putih, wajahnya pucat tapi tidak menyeramkan. “Tubuhku masih di sana… di bawah pohon besar,” katanya sebelum menghilang.

Ketika bangun, aku langsung menceritakannya pada Nenek dan Pak Hadi. Tanpa banyak bicara, kami menuju sungai itu. Di bawah pohon besar, kami menggali sedikit tanah, dan benar saja—terdapat kain putih lusuh dan tulang kecil yang membatu. Nenek menangis sesenggukan. Pak Hadi membaca doa dan menutup kembali tanah itu, lalu menguburnya secara layak di pemakaman desa.

Sejak hari itu, suasana rumah berubah. Udara yang dulu berat kini terasa ringan. Tapi malamnya, aku masih mendengar langkah pelan di bawah rumah. Aku menatap ke jendela, melihat sosok putih berdiri di halaman, menatapku sambil tersenyum lembut. “Terima kasih…” bisiknya sebelum lenyap dalam kabut malam.

Aku pikir semuanya telah selesai, sampai suatu sore aku menemukan hal aneh. Di dapur, di rak kayu tua, aku melihat foto hitam putih yang sudah pudar. Seorang laki-laki muda berdiri di samping seorang perempuan yang sangat mirip dengan sosok yang pernah kulihat. Di balik foto itu tertulis, “Lela dan Amir, 1953.”

“Nek, siapa Amir ini?” tanyaku.

Nenek menatap foto itu lama. “Amir… dia kakekmu. Tapi waktu muda, dia memang sempat dekat dengan perempuan bernama Lela. Sebelum akhirnya menikah dengan almarhumah ibumu.”

Rasanya jantungku berhenti berdetak. “Jadi… Lela itu pernah dicintai Kakek?”

Nenek mengangguk pelan. “Tapi kisah mereka tak direstui keluarga. Lela datang malam itu mungkin ingin memohon pada kakekmu untuk lari bersamanya. Tapi takdir berkata lain.”

Semuanya tiba-tiba masuk akal. Arwah itu mungkin bukan hanya marah karena diabaikan, tapi juga karena dikhianati oleh orang yang dicintainya. Mungkin itu sebabnya dia menampakkan diri padaku—karena aku cucu dari pria yang membuat hidupnya berakhir tragis.

Sejak malam itu, aku sering berbicara dengan “dia”. Bukan dengan suara keras, tapi lewat doa. Kadang aku merasa seperti mendengar bisikan lembut di telingaku, “Aku tidak membencimu…”

Hari berganti minggu. Aku mulai bisa tidur tenang. Tapi setiap kali aku sendirian di beranda, aku selalu merasa ada angin lembut menyentuh rambutku. Seolah ada seseorang duduk di sebelah, menemaniku tanpa terlihat.

Beberapa minggu kemudian, Nenek sakit keras. Ia sempat memanggilku sebelum napas terakhirnya. “Dina, jaga rumah ini baik-baik. Rumah ini sudah berdamai dengan masa lalunya. Jangan takut dengan Lela. Dia bagian dari sejarah kita,” katanya dengan suara lemah.

Air mataku menetes saat aku menggenggam tangannya. “Iya, Nek. Aku janji.”

Setelah pemakaman Nenek, aku tinggal di rumah itu sendirian selama seminggu. Malam pertama begitu sunyi. Tapi justru di keheningan itulah aku merasa damai. Sekitar pukul dua dini hari, aku mendengar langkah di tangga. Aku tak terkejut. Ketika menoleh ke arah jendela, kulihat sosok Lela berdiri di luar, mengenakan gaun putih bersih tanpa noda, wajahnya tenang.

“Kini giliranmu menjaga rumah ini, Dina…” bisiknya sebelum perlahan menghilang di balik kabut.

Malam itu aku tak takut. Aku merasa seperti baru saja menerima warisan—bukan berupa harta, tapi kisah dan tanggung jawab untuk menjaga kedamaian rumah panggung itu.

Sejak saat itu, setiap kali aku pulang ke kampung, aku selalu membawa bunga melati. Aku letakkan di tangga rumah sebagai penghormatan. Penduduk desa sering berkata, “Kalau malam Jumat, dari rumah Nenekmu itu suka terlihat cahaya putih di beranda. Tapi bukan menakutkan, justru menenangkan.”

Aku hanya tersenyum setiap kali mendengarnya. Karena aku tahu, itu bukan gangguan, melainkan tanda bahwa arwah Lela masih menjaga rumah panggung Nenek—rumah yang pernah menjadi saksi antara cinta, penyesalan, dan pengampunan yang tak lekang oleh waktu.

Dan kadang, ketika aku menatap bulan purnama dari jendela kamarku di Jakarta, aku bisa mendengar bisikan lembut di telinga, “Terima kasih, Dina…”

Aku tahu, meski jarak memisahkan, sebagian jiwaku masih tertinggal di rumah panggung itu—bersama kenangan, arwah, dan cinta yang tidak sempat selesai di masa lalu.

Itulah kisahku. Kisah tentang penampakan di rumah panggung nenek—bukan sekadar cerita horor, tapi kisah tentang dosa yang diwariskan, pengampunan yang menembus kematian, dan ketenangan yang akhirnya ditemukan setelah puluhan tahun.

Posting Komentar