Suara Tangisan dari Rumah Lama di Medan
Kisah Hantu Bergaun Putih di Rumah Lama
Malam itu, hujan deras mengguyur kota Medan. Langit kelabu, petir sesekali membelah gelapnya malam. Jalanan yang biasanya ramai kini sepi, hanya beberapa kendaraan melintas cepat dengan lampu menyala redup. Di ujung sebuah gang tua di kawasan Jalan Brigjen Katamso, berdiri sebuah rumah besar peninggalan Belanda yang sudah lama terbengkalai. Dindingnya berlumut, jendelanya tertutup papan kayu, dan atapnya bocor di beberapa bagian. Warga sekitar menyebutnya “Rumah Lama Van Rensburg”. Sama seperti kisah Genderuwo Penunggu Rumah Tua, tak seorang pun berani lewat di depannya saat malam tiba. Mereka bilang, dari dalam rumah itu sering terdengar suara tangisan perempuan setiap malam Jumat.
Maya, seorang siswi SMA berusia 17 tahun, baru saja pindah ke Medan bersama ibunya. Ayahnya meninggal setahun lalu akibat kecelakaan di proyek pembangunan. Kepergian sang ayah membuat ibunya, Bu Lestari, memutuskan untuk pindah ke rumah peninggalan keluarga yang tak jauh dari rumah tua itu. Rumah mereka sederhana, tapi cukup nyaman. Hanya saja, suasananya selalu terasa aneh sejak pertama kali mereka menempatinya—sepi, dan kadang terdengar seperti ada langkah kaki di atap.
Maya bukan tipe gadis penakut. Ia senang membaca novel misteri, melukis, dan sesekali berkeliling mencari bangunan tua untuk digambar. Bagi sebagian orang, rumah lama di ujung gang itu adalah sumber ketakutan. Tapi bagi Maya, rumah itu seperti memanggilnya. Setiap kali pulang sekolah, pandangannya selalu tertuju ke rumah tersebut. Ada sesuatu yang menarik sekaligus menakutkan dari bangunan itu.
“Ma, rumah besar di ujung gang itu kenapa kosong terus, ya?” tanya Maya suatu sore saat mereka makan malam bersama.
Ibunya terdiam sesaat, menatap Maya dengan raut serius. “Rumah itu peninggalan orang Belanda zaman dulu. Katanya ada yang meninggal di sana... orang bilang, arwahnya gak pernah tenang. Banyak tempat seperti itu, seperti kisah Misteri Kamar Hotel 13: Malam yang Kelam. Jadi jangan sering lihat ke sana, Maya. Mama gak mau kamu kenapa-kenapa.”
“Aku cuma penasaran aja, Ma. Bangunannya bagus. Sayang banget kalau dibiarkan rusak begitu,” jawab Maya santai.
“Nak,” kata ibunya lembut tapi tegas, “kadang sesuatu yang kelihatan menarik justru menyimpan hal yang gak bisa dijelaskan.”
Maya hanya tersenyum kecil, tidak menanggapi. Tapi malam itu, rasa penasarannya semakin besar.
Hujan turun lagi malam itu. Angin bertiup kencang hingga membuat jendela kamarnya berderit. Maya belum bisa tidur. Ia duduk di meja belajarnya, menatap keluar jendela. Samar-samar, di balik tirai hujan, ia melihat rumah tua itu. Dan di salah satu jendela rumah itu, tampak ada cahaya redup—seperti lilin yang menyala.
“Siapa yang nyalain lampu?” gumam Maya heran.
Ia mencondongkan tubuh, menatap lebih jelas. Dan tiba-tiba, suara itu terdengar—lirih, panjang, seperti tangisan perempuan.
“Hhh... hhhuaaa...”
Suara itu mengalun lembut tapi menyayat hati. Maya tertegun, bulu kuduknya meremang. Ia menutup tirai cepat-cepat, mematikan lampu, dan berbaring di tempat tidur. Tapi suara tangisan itu tak berhenti. Semakin lama, semakin dekat, seolah berasal dari halaman depan rumahnya sendiri.
Ia menutup telinganya dengan bantal, berusaha tidur. Tapi hingga jam menunjukkan pukul dua dini hari, suara itu masih terdengar. Lalu, tiba-tiba... *tok tok tok!*—suara ketukan pelan terdengar dari jendela kamarnya.
Maya langsung menegakkan tubuhnya, matanya melebar. Ia menatap jendela yang tertutup tirai. Ketukan itu terdengar lagi, pelan tapi jelas. Dengan tangan gemetar, ia berjalan mendekat. Ia menyingkap tirai perlahan. Tak ada siapa-siapa di luar sana. Hanya hujan dan bayangan rumah tua di kejauhan.
Keesokan harinya di sekolah, Maya bercerita pada dua teman barunya, Rani dan Dira.
“Aku dengar suara perempuan nangis dari rumah tua itu. Serius. Sumpah bukan halusinasi,” kata Maya sambil meneguk susu kotak di kantin.
Rani mengerutkan kening. “Ah, paling cuma suara angin, May. Kadang suaranya bisa kayak orang nangis.”
“Enggak, Ran. Itu beneran suara orang. Kayak sedih banget,” kata Maya dengan nada yakin.
Dira menatap Maya dengan ekspresi serius. “Aku pernah dengar juga. Kakekku bilang, dulu rumah itu punya keluarga Belanda yang kejam. Ada pembantunya, namanya Clara. Waktu tentara datang, keluarga itu kabur, tapi Clara dikunci di dalam rumah. Dia mati kelaparan di sana.”
Rani mendesah. “Serius banget sih kalian. Jangan bahas hal-hal mistis di pagi hari.”
Namun cerita Dira melekat di kepala Maya. Nama “Clara” terasa familiar entah kenapa, seolah ia pernah mendengarnya. Malamnya, saat ia menggambar rumah tua itu dari jendela kamarnya, tanpa sadar tangannya menulis di bawah gambar itu: *Clara Van Rensburg.*
Ia menatap tulisan itu heran. “Kenapa aku nulis nama itu?” gumamnya.
Keesokan harinya, hujan turun sejak sore. Ibunya pergi arisan di rumah tetangga. Maya sendirian di rumah. Suara petir bergemuruh, dan rasa penasaran yang menumpuk membuatnya tak tahan lagi. Ia mengambil payung dan senter, lalu melangkah keluar menuju rumah tua itu.
Gerbang besinya berkarat dan dikunci rantai, tapi mudah dibuka karena sudah longgar. Ia masuk perlahan, menapaki halaman yang penuh rumput liar dan daun gugur. Udara di sana lembab, baunya apek seperti benda-benda lama yang membusuk. Pintu depan rumah terbuka sedikit, berderit saat ia dorong. Di dalam gelap, tapi masih terlihat perabot tua berserakan—kursi rotan patah, lemari kayu besar, dan lukisan wanita Belanda bergaun putih tergantung miring di dinding.
Lukisan itu menarik perhatian Maya. Wajah perempuan di lukisan itu cantik, berambut panjang pirang, dengan mata biru yang tampak sedih. Anehnya, lukisan itu tidak berdebu seperti benda lain di ruangan itu. Seolah seseorang baru saja membersihkannya.
“Kamu... Clara?” bisik Maya pelan.
Seketika angin bertiup kencang dari jendela pecah di pojok ruangan. Lukisan itu jatuh, dan dari baliknya keluar selembar foto tua. Maya mengambilnya. Di foto itu tampak seorang gadis muda bergaun putih—dan di belakangnya, sosok samar hitam berdiri di sudut.
Sebelum sempat berpikir, Maya mendengar suara tangisan lagi. Kali ini dari lantai atas. Pelan tapi jelas. Ia menyorotkan senter ke arah tangga kayu. Langkahnya berat, tapi ia tetap naik. Tangis itu semakin keras. “Hhh... hhhh...”
Di ujung lorong, salah satu pintu terbuka sedikit. Dari dalam tampak cahaya lilin berkelap-kelip. Maya mendekat dengan degup jantung cepat. Ia membuka pintu, dan di dalam, ia melihat sosok perempuan bergaun putih duduk di depan cermin tua. Rambutnya panjang menutupi wajah, bahunya berguncang karena menangis.
“Kamu... Clara?” tanya Maya dengan suara bergetar.
Perempuan itu berhenti menangis. Perlahan, ia menoleh. Rambut panjangnya terurai, memperlihatkan wajah pucat dengan mata hitam pekat tanpa bola mata. Senyum tipis muncul di wajahnya, lalu suara lirih keluar dari bibirnya.
“Kau datang...”
Maya menjerit dan menjatuhkan senter. Lilin di ruangan itu padam seketika. Ia berlari ke arah tangga, tapi lantai berderit seolah menarik kakinya. Ia jatuh di anak tangga terakhir dan melihat sosok itu berdiri di bawah, menatapnya dari dekat.
“Aku menunggumu...” kata sosok itu sebelum menghilang disapu kilatan petir.
Maya menjerit keras, lalu semuanya gelap.
Ia sadar keesokan paginya, sudah berada di kamar. Ibunya duduk di sampingnya dengan wajah pucat. “Kamu kenapa masuk ke rumah itu, Maya?! Orang kampung hampir semua tahu rumah itu angker!”
Maya menangis. “Aku cuma pengen tahu siapa yang nangis di sana. Aku pikir dia butuh bantuan, Ma...”
Ibunya memeluknya erat. “Jangan pernah ke sana lagi, Nak. Kalau kamu dengar suara itu lagi, jangan jawab, jangan lihat ke arah sana. Rumah itu bukan tempat manusia.”
Beberapa hari berlalu. Maya berusaha melupakan kejadian itu. Tapi setiap malam, suara tangisan itu kembali terdengar. Bukan dari rumah lama, tapi dari dalam kamarnya sendiri. Kadang terdengar dari cermin, kadang dari bawah tempat tidur. Maya sering terbangun karena merasa seseorang menyentuh rambutnya.
Suatu malam, ia mendengar bisikan pelan. “Maya...”
Ia menoleh cepat, tapi tak ada siapa-siapa. Lalu suara itu terdengar lagi, lebih dekat. “Maya... kau sudah janji... temani aku...”
Maya menatap cermin, dan dari pantulannya, ia melihat sosok perempuan bergaun putih berdiri di belakangnya, menatap dengan senyum lebar yang aneh. Maya menjerit, tapi tubuhnya tak bisa bergerak. Tangan dingin mencengkeram pundaknya.
“Aku sendirian... jangan tinggalkan aku lagi...”
Setelah malam itu, keadaan Maya berubah. Ia sering melamun di sekolah, berbicara sendiri, dan menggambar wajah perempuan bergaun putih di setiap buku catatannya. Rani dan Dira mulai khawatir.
“May, kamu kenapa sih akhir-akhir ini?” tanya Dira di kantin.
“Clara sedih,” jawab Maya tanpa menatap mereka.
Rani saling pandang dengan Dira. “Clara? Siapa?”
“Dia... teman baruku. Dia sendirian di rumah itu. Aku harus temani dia,” kata Maya sambil tersenyum kosong.
Keesokan malamnya, ibunya menemukan Maya berdiri di depan cermin kamar sambil menangis. “Dia nunggu aku, Ma. Aku gak boleh ninggalin dia.”
Bu Lestari memeluknya sambil menangis. “Kamu cuma mimpi, Maya. Tolong sadar.”
Namun Maya menatap ibunya dengan mata kosong. “Clara gak mau aku pergi.”
Seminggu kemudian, Maya menghilang. Rumah mereka kosong, pintu belakang terbuka, dan di meja belajarnya tertinggal gambar seorang perempuan bergaun putih dengan tulisan: *“Aku sudah bersamanya.”*
Tim pencari menemukan jejak langkah menuju rumah tua Van Rensburg, tapi di dalam, hanya ada sepatu Maya dan lilin yang masih menyala. Sejak malam itu, dua suara tangisan terdengar dari rumah itu—bukan satu lagi.
Warga bilang, kini suara tangisan itu terdengar lebih menyayat. Kadang terdengar dua perempuan menangis bersamaan. Beberapa saksi yang nekat lewat di depan rumah itu pada malam hari mengaku melihat dua sosok di jendela lantai dua: satu perempuan bergaun putih, satu lagi gadis berseragam SMA, berdiri berdampingan sambil menatap keluar, menangis.
Dan setiap kali hujan turun di Medan, suara tangisan itu kembali terdengar, mengalun lembut di antara petir—seolah dua jiwa kesepian sedang saling memanggil dari dunia yang berbeda. Mereka bilang, jika seseorang terlalu lama menatap rumah itu, maka suara tangisan itu akan mengikuti... sampai ke rumahnya sendiri.
Sekarang, rumah itu benar-benar kosong. Tapi di malam tertentu, jika kau berdiri cukup dekat, kau bisa mendengar suara langkah di dalam, suara tangisan yang bergema lembut, dan suara perempuan berbisik dari dalam tembok: “Jangan tinggalkan aku sendirian...”
Dan mungkin, kalau kau berani menatap jendela lantai dua, kau akan melihat mereka berdua... Maya dan Clara... menatapmu balik dari balik kaca berdebu.

Posting Komentar