Genderuwo Penunggu Rumah Tua
Kisah Mistis Gisel Dihantui Genderuwo
Namaku Gisel, seorang wanita muda berusia 26 tahun. Pekerjaanku sebagai sales produk kecantikan membuatku sering bepergian dari satu kota ke kota lain, menjelajahi jalanan besar hingga jalan kecil di desa-desa pelosok. Bersama tim kecilku—Wiwin, Sandra, Novi, dan Bayu sang sopir—kami menempuh perjalanan panjang demi mencapai target penjualan setiap bulan. Kadang kami tertawa sepanjang jalan, kadang kami bertengkar karena lelah dan panas, tapi di balik itu semua, kami sudah seperti keluarga kecil yang saling menjaga.
Hari itu, jadwal kami adalah ke sebuah daerah terpencil di Jawa Timur. Desa itu katanya cukup jauh dari pusat kota, dan aksesnya sulit dijangkau. Menurut supervisor, tempat itu masih minim pesaing dan punya potensi besar untuk produk kecantikan. Aku yang ambisius langsung menyetujui, tanpa berpikir panjang.
“Gisel, yakin kamu mau ke sana? Aku dengar tempatnya agak mistis,” kata Wiwin, rekanku yang paling penakut, sambil menatap peta di dashboard mobil.
“Ah, Win, kamu itu kebanyakan nonton film horor. Nggak ada yang mistis, yang ada cuma toko-toko yang butuh produk kita!” candaku, berusaha terdengar optimis.
Bayu, yang sedang menyetir, menimpali dengan nada santai, “Iya, paling juga cuma cerita warga. Aku udah sering lewat daerah yang katanya angker, tapi nggak pernah lihat apa-apa.”
“Ya tapi, aku pernah baca di internet, banyak desa di Jawa Timur yang masih percaya sama penunggu tempat tua,” ujar Novi, menatap ke luar jendela dengan wajah cemas. Ia bahkan sempat menyebut tentang Kisah Polwan dan Peti Terlarang Singosari, cerita yang katanya terjadi tak jauh dari daerah itu.
“Udahlah, jangan ngomongin hantu. Ntar malah beneran nongol,” kata Sandra sambil tertawa kecil. Ia memang paling berani di antara kami semua.
Perjalanan memakan waktu hampir tujuh jam. Jalan menanjak, hutan jati di kiri-kanan, sinyal ponsel hilang sejak dua jam lalu. Saat mobil berhenti di depan rumah besar dari kayu, seorang pria tua berpeci menghampiri kami. Ia memperkenalkan diri sebagai Pak Kades.
“Selamat datang, Nak. Kalian dari kota ya? Rumah ini bisa kalian pakai buat sementara, biar nggak usah nginep jauh-jauh. Tapi hati-hati, ya. Jangan keluar malam-malam,” katanya sambil tersenyum tipis.
Rumah itu tampak tua tapi terawat. Dindingnya dari kayu jati, lantainya berderit tiap kali diinjak. Di seberangnya, sekitar seratus meter, berdiri rumah kayu yang lebih besar, lebih tua, dan tampak kosong. Atapnya sebagian sudah runtuh, tapi ada aura misterius yang kuat di sana.
“Itu rumah siapa, Pak?” tanyaku penasaran.
Pak Kades menatap lama ke arah rumah itu sebelum menjawab pelan, “Itu rumah Mbah Dargo. Sudah kosong dua puluh tahun. Dulu sempat ditinggali keluarganya, tapi sejak kejadian itu... tak ada yang mau mendekat.”
“Kejadian apa, Pak?” tanya Wiwin, nadanya tegang.
“Sudah, jangan tanya. Yang penting kalian jangan ke sana. Rumah itu punya penunggu,” jawab Pak Kades tegas, lalu berpamitan.
Kami pun masuk ke rumah sewaan. Malamnya, saat sedang makan, rasa penasaran kami muncul lagi. Novi menatapku sambil tersenyum menggoda. “Gisel, kamu nggak penasaran rumah itu kayak apa?”
“Aku penasaran sih, tapi kan udah dibilang jangan,” jawabku, walau sebenarnya hatiku gatal ingin tahu.
“Cuma lihat dari luar aja, nggak usah masuk,” kata Sandra. “Siapa tahu bagus buat foto. Rumah kayu antik loh, jarang banget ada.”
Bayu menghela napas. “Ya udah, tapi cepet. Aku nyalain senter mobil. Jangan lama-lama.”
Kami berjalan ke arah rumah tua itu. Udara tiba-tiba terasa lebih dingin. Angin menembus celah pepohonan, menimbulkan suara berdesir. Rumah itu berdiri kokoh, kayunya tebal dan hitam legam. Ada aura seolah waktu berhenti di sekelilingnya.
“Astaga... ini kayak rumah jaman kolonial,” gumam Novi sambil menyorot kamera ponselnya. “Keren banget!”
Tiba-tiba aku melihat batu hitam di bawah pohon besar di samping rumah. Di atas batu itu ada bunga melati yang mulai layu, seolah baru diletakkan beberapa hari lalu. Tanpa berpikir panjang, aku menyingkirkan bunga itu dengan ujung sepatuku.
“Gisel! Jangan sentuh!” teriak Wiwin. Tapi sudah terlambat.
Udara mendadak berubah. Angin berputar cepat, daun-daun beterbangan, dan terdengar suara berat mengeram dari dalam rumah. “Gruuuuhhhh...”
Kami semua panik dan berlari kembali ke rumah sewaan. Bayu sempat jatuh karena kakinya tersangkut akar. Kami tak menoleh ke belakang sampai pintu rumah terkunci rapat.
“Tuh kan! Aku udah bilang jangan usik!” bentak Wiwin, wajahnya pucat. Aku tak bisa berkata apa-apa. Dalam hatiku ada rasa bersalah yang samar, tapi juga bingung—masa hanya gara-gara bunga?
Malam itu, aku sulit tidur. Pukul dua dini hari aku terbangun karena mendengar suara langkah berat di depan rumah. “Dug... dug... dug...”
Aku menatap ke arah jendela, dan di sanalah aku melihatnya—sosok besar, hitam, matanya merah menyala, berdiri di bawah sinar bulan. Sosok itu persis seperti yang sering digambarkan dalam cerita Misteri Genderuwo: Makhluk Penunggu—tinggi, berbulu tebal, dan memancarkan aura yang menekan siapa pun yang menatapnya. Tubuhnya berotot, berbulu tebal, dan dari mulutnya keluar napas berat yang terdengar seperti hembusan api. Ia menatap langsung ke arahku.
Aku menjerit keras. “AAAAAAAAHHHHHHHHHH!”
Wiwin dan Sandra langsung bangun. “Gisel! Ada apa?”
“Aku... aku lihat sesuatu di luar!” kataku terbata-bata. Tapi saat mereka melihat, sosok itu sudah menghilang. Hanya terdengar suara angin menerpa dedaunan.
Bayu keluar dengan membawa senter, tapi tak menemukan apa pun. Kami semua akhirnya memutuskan untuk tidur bersama di ruang tengah malam itu. Tapi aku tahu, apa yang kulihat nyata.
Malam itu aku susah tidur, apalagi ada Bayu yang iseng mendekatiku, "Gisel aku menyukaimu, kamu seksi banget", “Berisik ah mesum! diem tidur tidur!." "Tenang Sel, ada aku disini, Bayu tidak akan macam-macam" tutur Sandra temanku yang sedang menyeret lemari panjang untuk menyekat posisku dan Bayu, semuanya tertawa malam itu.
Keesokan paginya, saat kami berjualan, aku merasa seperti diawasi. Di toko pertama, saat aku menata produk di rak, aku melihat bayangan hitam melintas cepat di cermin. Aku terdiam. Di toko kedua, botol lotion yang kususun tiba-tiba jatuh sendiri. Novi bahkan sempat teriak karena merasa pundaknya disentuh seseorang padahal tak ada siapa pun di belakangnya.
“Sel, aku nggak mau nginep lagi di sana malam ini,” kata Wiwin tegas saat kami makan siang di warung desa. “Kita cari penginapan lain aja.”
“Udah, jangan lebay,” balas Sandra, walau suaranya tak setegas biasanya. “Mungkin cuma halusinasi.”
Namun malam berikutnya, gangguan semakin parah. Lampu berkedip, pintu terbuka sendiri, dan suara langkah berat terdengar di teras. Kejadian itu membuatku teringat pada Teror Genderuwo di Hutan Kalimantan yang pernah viral di internet—kisah orang-orang yang juga diteror makhluk serupa di tengah hutan lebat. Kali ini, semua mendengarnya. Bayu mencoba keluar tapi langsung berteriak ketakutan. “Astaga! Ada bayangan hitam di depan rumah!”
Kami semua menjerit dan bersembunyi di kamar. Suara itu semakin keras. Seolah sesuatu berjalan mengelilingi rumah. Dan kemudian... terdengar suara berat berbisik di dekat jendela kamarku. “Kembalikan... milikku...”
Pagi harinya aku langsung menemui Pak Kades. Begitu mendengar ceritaku, wajahnya langsung pucat. “Kamu... menyentuh batu di samping rumah itu, ya?”
“Iya, tapi cuma bunga di atasnya,” jawabku takut.
Pak Kades memejamkan mata. “Itu bukan batu biasa, Nak. Itu batu segel. Dulu Mbah Dargo menahan makhluk besar di situ—Genderuwo yang menebar teror di desa ini. Bunga melati itu adalah penutup segel. Dan kamu... telah melepasnya.”
Darahku terasa dingin. “Jadi... sekarang makhluk itu bebas?”
Pak Kades mengangguk pelan. “Dan dia akan mencari yang menyentuh segelnya, sampai ia mendapatkan kembali apa yang ia anggap miliknya.”
Malam itu kami memutuskan pulang ke kota. Namun ternyata, makhluk itu tak berhenti di sana. Di perjalanan, Bayu sempat hampir menabrak sesuatu yang muncul tiba-tiba di tengah jalan—sosok besar berbulu yang melompat ke semak-semak. Setelah sampai di rumah, aku mulai dihantui mimpi buruk. Dalam mimpi, aku berada di rumah tua itu lagi, dan Genderuwo berdiri di belakangku, mengulurkan tangannya yang besar sambil berkata, “Kembalikan... rambutku...”
Rambutku? Aku terbangun dengan keringat dingin. Di cermin kamar, aku melihat sebagian rambutku benar-benar rontok di sisi kiri. Seketika aku histeris.
“Sel, ini udah nggak bisa dibiarkan,” kata Bayu keesokan harinya. “Kita harus cari pertolongan.”
Kami menemui Ustaz Hasan, seorang spiritualis yang dikenal bijak. Setelah mendengarkan cerita kami, ia berkata dengan suara tenang, “Makhluk itu terikat oleh perjanjian lama. Segelnya adalah batu dan bunga melati itu. Kau telah melepasnya tanpa izin, Gisel. Sekarang kau terikat dengannya.”
“Apa yang harus saya lakukan, Ustaz?” tanyaku gemetar.
“Kau harus kembali ke tempat itu. Bawa bunga melati baru, letakkan di atas batu itu dengan niat memohon ampun. Hanya itu satu-satunya cara. Jika tidak, ia akan terus mengikutimu... sampai kau mati.”
Tiga hari kemudian kami kembali ke desa itu. Kali ini bersama Ustaz Hasan dan beberapa warga. Malam itu sangat gelap, bulan tertutup awan. Angin berhembus dingin, membuat bulu kuduk berdiri.
“Kita lakukan sekarang, sebelum tengah malam,” kata Ustaz Hasan.
Kami berjalan menuju rumah Mbah Dargo. Begitu mendekat, terdengar suara berat yang familiar. “Kembalikan...”
Angin berputar cepat, daun-daun beterbangan. Lalu, dari balik rumah, muncul sosok itu. Besar, hitam, matanya merah menyala, tubuhnya beruap seperti asap hitam pekat. Semua orang mundur ketakutan, kecuali aku. Ustaz Hasan mendorongku pelan ke depan. “Pergilah, Gisel. Hanya kau yang bisa menghentikannya.”
Dengan tangan gemetar, aku menaruh bunga melati di atas batu itu. “Aku minta maaf... aku nggak tahu kalau aku telah melepasmu,” kataku sambil menunduk.
Sosok itu berhenti beberapa meter di depanku. Matanya menatapku tajam. Suaranya bergema berat, “Kau... telah membuka pintu antara dunia kami. Tapi kau juga bisa menutupnya...”
Ia menunduk, dan tubuhnya mulai memudar, terserap ke dalam batu. Sebelum lenyap sepenuhnya, aku mendengar bisikannya yang terakhir, “Jangan pernah sentuh sesuatu... yang bukan milikmu...”
Angin berhenti. Sunyi. Batu itu memantulkan cahaya samar, lalu redup kembali.
Pak Kades dan warga berlari mendekat. “Sudah, dia sudah pergi,” katanya lega. Aku jatuh berlutut, menangis dalam ketenangan yang aneh. Seolah beban berat yang menempel di tubuhku lenyap begitu saja.
Sejak saat itu, aku tak pernah lagi menjual produk ke desa-desa terpencil. Aku kembali bekerja di kota dan berusaha melupakan semuanya. Tapi ada sesuatu yang selalu mengingatkanku—setiap kali aku mencium wangi melati di malam hari, jantungku berdebar tak karuan. Kadang aku mendengar suara langkah berat di luar rumah, seperti seseorang berjalan pelan mendekati pintu.
Suatu malam, saat aku sedang menulis laporan penjualan di meja kerja, lampu tiba-tiba berkedip. Angin berhembus lewat jendela. Dan dalam kesunyian itu, aku mendengar suara berat, pelan, tapi jelas: “Aku... masih di sini...”
Mataku menatap ke arah jendela. Di sana, untuk sesaat, aku melihat bayangan besar dengan mata merah menyala sebelum menghilang ditelan gelap malam. Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Tapi dalam hati kecilku, aku tahu satu hal—ada sesuatu yang tak pernah benar-benar pergi.
Sampai hari ini, aku masih menyimpan setangkai melati kering di toples kaca kecil di atas meja. Bukan untuk kenangan, tapi sebagai pengingat... bahwa rasa ingin tahu bisa membuka pintu yang seharusnya tetap tertutup. Dan di balik setiap rumah tua, selalu ada penjaga yang tak ingin diganggu.
Dan mungkin... malam ini, saat kau membaca kisahku, ia sedang berdiri di belakangmu, mengamati... dengan mata merah yang sama seperti yang pernah menatapku malam itu.

Posting Komentar