Teror Pesugihan Ayam Hitam di Kendal
Ritual Ayam Hitam untuk Pesugihan
Vina memandang keluar jendela mobil yang berdebu. Jalanan panjang menuju desa kecil di Kendal itu berkelok, dikelilingi pepohonan yang semakin rapat. “Udah dekat, Ma?” tanya Dito, anak bungsunya, dari bangku belakang.
“Sebentar lagi, Nak,” jawab Arif, suaminya, yang memegang setir sambil sesekali melirik peta di ponselnya. “Rumahnya ada di paling ujung desa. Katanya halaman luas.”
Vina mengangguk. Ia berusaha tersenyum, namun kegelisahan semakin merayap di dadanya. Awalnya, pindah ke desa terpencil ini terasa seperti keputusan tepat. Harga rumah murah, suasana tenang, udara masih segar. Cocok untuk membesarkan dua anak mereka—Nala dan Dito. Tapi semakin dekat dengan desa itu, hawa di sekitarnya berubah aneh. Lebih gelap, lebih suram.
Ketika memasuki gapura desa, Vina memperhatikan mushola tua yang mereka lewati. Catnya mengelupas, pintunya terkunci, dan halaman depannya tampak kusam. Tidak ada anak-anak kecil mengaji, tidak ada ibu-ibu yang menyapu halaman. Sunyi total. Di desa Jawa, pemandangan itu langka.
“Masjidnya sepi amat, ya…” gumam Vina.
Arif tertawa kecil, suara yang berusaha ia buat riang. “Mungkin jam segini memang nggak ada kegiatan.”
“Tapi tadi kita lewat jam azan magrib dan nggak ada suara apa pun.”
Arif tidak menjawab. Hening mendadak terasa menyesakkan.
Mobil akhirnya berhenti di depan rumah baru mereka. Rumah sederhana namun cukup besar, dengan halaman berumput yang agak liar dan sebuah sumur tua di belakang pohon mangga. Suasananya membuat Vina teringat pada cerita tentang Sosok di Balik Rumah Angker Malang, meski ia mencoba mengabaikan pikiran itu. Dua anak mereka langsung turun dari mobil dengan antusias.
“Ma! Ada sumur! Kayak di film horor,” celetuk Nala.
“Ssst, jangan ngomong yang aneh-aneh,” tegur Vina, meski ia sendiri merasa sumur itu memancarkan hawa dingin yang bukan dari angin sore.
Mereka mulai menurunkan barang. Seorang lelaki tua berdiri di depan pagar. Tubuhnya kurus, wajahnya cekung, dan matanya seperti tidak pernah tidur.
“Selamat datang…” katanya lirih.
Vina tersenyum kaku. “Terima kasih, Pak… kami baru pindah.”
Nama saya Parman,” gumamnya. “Kalau malam… jangan keluar rumah. Di sini tidak aman.”
Wajah Vina menegang. “Tidak aman… kenapa, Pak?”
Pak Parman tidak menjawab. Ia hanya membalikkan badan dan pergi perlahan, seolah kata-katanya tadi sudah lebih dari cukup sebagai peringatan.
Vina berdiri mematung, merasakan hawa aneh merayap ke tengkuk. Ia menelan ludah. Pindah ke desa ini mendadak tampak seperti keputusan yang terburu-buru.
Hari pertama, suasana masih baik-baik saja. Vina dan Arif membereskan rumah, sementara anak-anak bermain di halaman. Namun Vina mulai memperhatikan hal-hal kecil yang janggal. Tidak ada suara kambing, tidak ada ayam berkeliaran, padahal desa ini katanya desa pertanian. Sawah yang mereka lewati sempit-sempit dan sebagian besar tampak seperti tanah mati—kering, retak, dan gelap.
Esok paginya, Vina pergi ke warung untuk membeli gula. Warung itu kecil tapi lengkap. Wanita pemilik warung tampak ramah di awal, namun mendadak seperti ketakutan ketika Vina mulai bertanya tentang mushola desa.
“Bu… di sini nggak ada pengajian?” tanya Vina.
Wajah ibu itu menegang. “Sudah lama nggak ada, Bu.”
“Kok bisa? Musholanya tutup juga?”
Wanita itu menelan ludah. “Bu… saya cuma bisa bilang satu: kalau malam Selasa Suro, kunci pintu rapat-rapat. Jangan keluar. Jangan dengar apa pun.”
“Selasa Suro? Emangnya kenapa?”
Wanita itu langsung membalik badan, pura-pura sibuk menata barang. Tak mau bicara lagi.
Vina pulang dengan dada bergemuruh oleh rasa tidak enak yang sulit dijelaskan.
Di rumah, ia bercerita pada Arif, namun suaminya mencoba menenangkan. “Mungkin cuma mitos desa. Kamu kan tahu sendiri, tiap desa punya cerita mistis masing-masing.”
“Tapi yang ini beda, Rif.” Suara Vina bergetar. “Rasanya kayak semua orang menyimpan satu rahasia gelap.”
Malam itu, mereka tidur lebih awal. Tetapi menjelang tengah malam, Vina terbangun karena suara seperti langkah kaki di halaman belakang.
Kreeeek… kreeeek…
Seperti seseorang menyeret sesuatu yang berat.
“Rif…” bisik Vina sambil mengguncang pundak Arif. “Denger nggak?”
Arif membuka mata setengah sadar. “Angin kali…”
Tetapi suara itu semakin jelas. Bukan angin. Bukan pula langkah manusia.
Lalu terdengar suara kokok ayam—serak… panjang… menurun… seperti ayam yang disembelih tetapi dipaksa tetap hidup.
“Kokok apa itu…?” Vina menutup mulutnya sendiri agar tidak menjerit.
Tidak ada ayam di desa ini. Tidak satu pun ia lihat sejak mereka tiba.
Dan suara itu terdengar sangat dekat.
Kokoookkk… kkrhhhh… kkhhh…
Esok paginya, Vina mendapati halaman belakang basah oleh bercak-bercak hitam yang lengket, seperti darah yang sudah mengering sebagian. Sumur tua di sana tampak lebih gelap, dan ketika ia mendekat, bulu kuduknya berdiri. Ada bayangan ayam—berwarna hitam legam—muncul di permukaan air. Menatap lurus ke arahnya.
Vina terlonjak mundur. Tubuhnya gemetar tanpa henti.
Ketika ia kembali ke rumah, Pak Parman tampak berdiri di ujung jalan, memperhatikannya dengan tatapan yang sulit dibaca.
“Itu baru permulaan, Bu…” katanya sebelum pergi.
Vina merasa seluruh dunia mulai menyempit di sekitar rumah barunya.
Malam harinya, Arif pulang terlambat. Wajahnya pucat pasi.
“Kamu kenapa?” tanya Vina cemas.
“Aku lihat sesuatu di jalan tadi…” Arif duduk, tangannya bergetar. “Para lelaki desa jalan ke hutan bawa ayam hitam. Tapi ayamnya aneh. Matanya merah semua. Diam. Kayak udah… setengah mati.”
Vina menutup mulutnya. “Masya Allah… jadi apa yang orang-orang itu lakukan?”
Arif hanya menggeleng. “Aku takut, Vin. Rasanya kita harus pergi dari sini secepat mungkin.”
Vina mengangguk cepat. “Ayo pergi. Besok juga.”
Namun seperti mengejek keputusan mereka, mobil mereka tidak mau menyala keesokan harinya. Mesin sudah dicek, tidak ada yang rusak. Tapi begitu kunci diputar, mesin tetap mati total.
“Kayak ada yang sengaja nahan kita di sini…” gumam Arif dengan wajah pucat.
Malam Selasa Suro tiba. Vina ingat peringatan ibu warung dan tatapan mencekam Pak Parman. Ia memastikan semua pintu terkunci. Lampu dimatikan. Tirai ditutup rapat.
Tepat ketika jam berdentang pukul dua belas malam, suara langkah berat dan banyak terdengar melewati rumah.
Lewat celah tirai, Vina melihat puluhan pria desa berjalan dalam diam. Masing-masing membawa ayam hitam, sebagian masih meronta lemah. Tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara.
Suasana seperti ritual kuno yang tidak seharusnya dilihat manusia biasa.
Tiba-tiba terdengar suara keras dari dapur.
“Bukk!!”
Seperti sesuatu jatuh dari atas langit-langit. Suasana itu mengingatkan Vina pada kisah tentang Rahasia Kelam di Bawah Kamar Tidur, membuat bulu kuduknya langsung berdiri.
Vina menahan napas. Arif menggenggam tangannya dengan kuat. Bersama-sama mereka mendekati dapur.
Perlahan Arif membuka pintu dapur.
Dan Vina melihatnya—pemandangan yang membuat tubuhnya hampir jatuh pingsan.
Seekor ayam hitam besar, ukurannya hampir sebesar anjing dewasa, berdiri di tengah lantai dapur. Bulu-bulunya basah oleh darah, matanya merah menyala, dan paruhnya bergerigi seperti gigi manusia.
Ayam itu mengeluarkan suara rendah… “Krrrhhhhh…” lalu memiringkan kepalanya, menatap mereka dengan tatapan penuh kebencian.
“Tutup pintunya!” teriak Arif.
Mereka menutup pintu dapur dan menahannya dengan lemari makan. Pintu bergetar keras, dihantam kekuatan yang tidak masuk akal.
Kraaakk!! KRAAAK!!
Namun tiba-tiba hentakan itu berhenti. Sunyi kembali.
Ketika Arif membuka pintu pelan-pelan… ayam itu sudah menghilang, meninggalkan bau amis pekat yang menempel di udara.
Malam itu mereka tidak tidur.
Vina akhirnya mendesak Arif untuk mencari bantuan. Mereka menemui Pak Parman di pagi hari. Lelaki tua itu hanya mendesah panjang.
“Saya sudah bilang, Bu… desa ini sudah lama sesat.”
“Sesat gimana, Pak?” Vina menahan air mata. “Kami punya anak kecil! Kami nggak bisa hidup kayak gini!”
Pak Parman akhirnya membuka rahasia yang selama ini dikubur warga desa.
“Dulu desa ini subur. Panen melimpah. Orang-orang hidup kaya. Tapi manusia itu… tamak. Mereka ingin lebih. Ingin cepat kaya. Ingin hasil sawah berpuluh kali lipat,” katanya lirih. “Lalu datanglah seorang dukun dari daerah lain. Ia menawarkan pesugihan: meminum darah ayam hitam setiap malam Selasa Suro. Satu ayam hitam per kepala keluarga.”
“Dan… iblisnya muncul?”
Pak Parman mengangguk lambat. “Seekor iblis berwujud ayam hitam raksasa. Ia memakan darah itu dan sebagai gantinya, tanah desa jadi subur. Tapi kalau ada yang tidak melakukannya… keluarga mereka akan mati satu per satu.”
Vina menutup mulutnya, tubuhnya bergetar hebat. “Jadi rumah kami…”
Pak Parman menatap Vina dengan sedih. “Ya… keluarga sebelum Ibu menolak ritual itu. Mereka mati… dengan cara mengerikan.”
Vina menjerit kecil. Arif memeluknya.
“Pak… tolong kami. Bagaimana kami menghentikan ini?”
“Panggil seorang Kiyai. Tapi tidak semua Kiyai bisa. Iblis itu sudah dipelihara puluhan tahun.”
Kiyai pertama didatangkan sore itu. Ia tampak yakin dan kuat. Namun ketika ritual ruqyah dimulai, lampu rumah padam, jendela pecah, dan bayangan ayam raksasa muncul di sudut ruangan. Kiyai itu langsung terhempas ke dinding dan terbatuk darah.
“Saya… tidak sanggup…” katanya sebelum lari ketakutan.
Keesokan harinya, Kiyai kedua datang. Ia tampak lebih berpengalaman. Namun ketika iblis ayam hitam muncul dengan wujud lebih besar dan lebih buas, Kiyai itu pingsan dengan darah mengalir dari hidungnya.
“Ini… bukan jin biasa…” katanya setelah sadar.
Vina hampir putus asa.
Seminggu kemudian, datanglah seorang Kiyai yang berbeda. Orang-orang menyebutnya Kiyai Sepuh. Ia kecil, tenang, namun auranya kuat. Ia tidak banyak bicara.
“Bismillah… malam ini kita tuntaskan,” ujarnya.
Malam itu, angin berembus kencang. Lantai rumah bergetar. Dari sumur belakang terdengar suara geraman rendah… lalu tanah terbelah.
Iblis ayam hitam muncul dengan wujud penuh—tingginya hampir dua meter, sayapnya lebar, paruhnya bergerigi, dan kedua kakinya seperti kaki manusia yang ditumbuhi sisik tebal.
Nala dan Dito menjerit histeris dari kamar. Arif berusaha menenangkan mereka.
Kiyai Sepuh berdiri dan membaca doa dengan suara lantang. Cahaya muncul dari tongkatnya, memukul tubuh iblis itu, tetapi iblis itu melawan. Ia menubruk dinding, menghancurkan perabotan, mengaum dengan suara yang menggetarkan seluruh rumah.
“Manusia… rakus… kalian memanggilku… sekarang kalian menolak…” suara iblis itu bergema seperti dua suara bercampur.
Kiyai Sepuh mengetuk lantai dengan tongkatnya. Lingkaran cahaya terbentuk. Iblis itu mengaum kesakitan.
Namun ia tidak menyerah. Ia menerjang kuat, hampir menghancurkan pertahanan Kiyai.
Vina spontan berdiri, memeluk anak-anaknya, sambil berteriak, “Kami tidak mau pesugihan! Kami tidak mau perjanjian setan! Pergi dari desa ini!”
Suara Vina entah bagaimana memperkuat lingkaran doa Kiyai Sepuh. Cahaya semakin terang, menyilaukan.
Iblis itu menjerit panjang, tubuhnya retak, bulu-bulunya terbakar oleh cahaya yang semakin memekakkan telinga.
Dan akhirnya—
“BRAAAAKKK!!!”
Iblis ayam hitam itu meledak menjadi debu hitam. Bau amis langsung hilang.
Kiyai Sepuh jatuh terduduk, kelelahan. Namun ia tersenyum.
“Sudah berakhir.”
Keesokan hari, warga desa berdatangan. Banyak yang menangis, memohon maaf. “Kami terjebak dalam perjanjian itu… kami takut…” kata seorang bapak.
Sejak malam itu, mushola desa kembali dibuka. Orang-orang kembali shalat berjamaah. Tanah desa perlahan pulih. Udara terasa lebih ringan.
Vina dan keluarganya tetap tinggal di desa itu untuk beberapa bulan berikutnya. Mereka membantu warga kembali menjalani kehidupan yang normal, tanpa pesugihan dan tanpa ketakutan.
Namun kadang, ketika angin malam bertiup pelan… Vina masih mendengar kokok samar dari kejauhan.
Sangat pelan.
Seperti bisikan.
Seolah mengingatkan bahwa kegelapan yang pernah mengakar selama puluhan tahun itu… tidak pernah benar-benar hilang sepenuhnya.

Posting Komentar