Sosok di Balik Rumah Angker Malang

Table of Contents
Sosok di Balik Rumah Angker di Malang - Cerpen Horor Mania

Misteri Sosok Putih Rumah Angker Malang

Namaku Raras, seorang ibu rumah tangga berusia 32 tahun. Aku, suamiku Bagas, dan anak semata wayang kami, Lila, baru pindah ke sebuah desa kecil bernama Desa Jatisari di daerah pinggiran Malang, Jawa Timur. Awalnya, kami berpikir hidup di desa akan memberi ketenangan setelah bertahun-tahun hidup di Surabaya yang penuh macet, bising, dan biaya hidup tinggi.

Rumah yang kami tinggali terletak di ujung desa, dekat area kebun kopi dan hutan kecil yang jaraknya tak jauh dari belakang rumah. Dari teras belakang, aku melihat sebuah rumah tua berdiri dengan angkuh tapi lusuh, seolah menanti sesuatu. Rumah itu sudah terlihat seperti hampir roboh: dinding kayunya lapuk, sebagian atapnya ambruk, dan halaman depannya penuh ilalang tinggi.

Sejak pertama kali melihat rumah itu, aku merasa dadaku berat. Ada aura dingin yang tidak bisa kujelaskan. Tapi karena hari sedang cerah dan Lila berlarian kegirangan melihat ayam-ayam warga, aku mencoba mengabaikan perasaan itu.

Namun ketenangan itu hanya bertahan beberapa hari.

Malam ketiga, tepat setelah pukul sepuluh malam, aku mendengar suara ketukan dari arah dapur. Aku yang saat itu sedang membersihkan meja makan tersentak kaget.

Tok… tok… tok…

Aku menahan napas. Bagas sedang mencuci kaki di kamar mandi. Lila sudah tertidur pulas.

Aku berjalan pelan menuju jendela dapur, menyingkap tirai perlahan. Saat itu aku melihatnya—sebuah siluet wanita berdiri kaku dekat rumah tua itu. Rambut panjangnya menutupi seluruh wajah, bergaun putih lusuh yang bergoyang ditiup angin.

Aku mundur tanpa sadar dan hampir menjatuhkan gelas di tangan. Wajahku memanas, tapi tubuhku dingin.

“Ras? Kamu kenapa?” suara Bagas muncul.

“Aku lihat… ada orang di luar,” jawabku gemetar.

Bagas melongok lewat jendela. “Kosong, Ras. Mungkin bayangan ilalang.”

Aku ingin memaksa, tapi ia menutup tirai sambil menghela napas. Malam itu aku tak tidur, meski Bagas dengan santai kembali tertidur seperti tidak terjadi apa-apa.

Besoknya, aku terus merasa diawasi. Ketika berjalan ke belakang rumah, ketika menjemur pakaian, bahkan saat menyuapi Lila sarapan. Setiap sudut terasa seperti ada mata yang mengintip dari tempat gelap.

Siangnya, ketika aku sedang mencuci piring, Lila tiba-tiba bertanya sesuatu yang membuat jantungku serasa berhenti.

“Bu, kok tante itu rambutnya nutupin muka?” tanyanya sambil menatap ke jendela depan.

Aku langsung menoleh cepat. “Tante siapa, Nak?”

“Tante yang tadi. Dia lihat Lila. Terus bisik-bisik.”

Aku menggigil. “Bilang apa?”

Lila menirukan dengan suara kecil, “Liiilaaa… sini…”

Tanpa sadar aku memeluk Lila erat. “Kalau ada yang aneh, bilang ibu ya. Jangan dideketin.”

Sore itu, aku memberanikan diri bertanya pada tetangga sebelah, Bu Rini. Reaksinya membuatku semakin takut. Ia bahkan menyebut bahwa beberapa warga pernah mengalami gangguan yang serupa dengan kisah Kuntilanak Merah Penunggu Kampung Jemblung, seolah fenomena seperti itu bukan hal baru di desa ini.

“Bu Raras… semoga bukan yang saya pikir,” katanya.

“Memang ada apa, Bu?” tanyaku ketakutan.

Bu Rini menatap rumah tua itu lalu menarik napas panjang. “Itu rumah Sulastri. Wanita yang dibunuh suaminya sendiri bertahun-tahun lalu. Sejak itu, banyak yang melihat penampakan perempuan bergaun putih dengan rambut menutupi wajah.”

Aku memegang dadaku. “Jadi itu… dia?”

“Saya tidak bisa bilang pasti,” katanya. “Tapi kamu harus hati-hati. Dia tidak suka ada wanita tinggal dekat situ.”

Malam berikutnya, pukul dua dini hari, suara ketukan di pintu belakang terdengar lagi. Kali ini jauh lebih keras.

Tok! Tok! TOK! TOK!

Aku bangun dengan tubuh bergetar. Bagas ikut terbangun, wajahnya kesal karena merasa terganggu.

Di dapur, Bagas membuka pintu… dan melihat halaman yang kosong. Tapi ketika ia melangkah keluar, tiba-tiba terdengar suara lengkingan.

Hiiiiiiiihhhhhhhh…!!!

Bagas melonjak mundur. “Astaghfirullah!” teriaknya.

Suara itu begitu tajam dan menusuk, mirip cerita-cerita kemurkaan dari Pintu Terlarang di RSJ Lawang Malang yang pernah kudengar. Bagas melonjak mundur. “Astaghfirullah!” teriaknya.”

Ia berlari ke arahku. “Ada yang teriak dari rumah tua! Suaranya kayak suara cewek kesakitan!”

Aku langsung menangis. “Aku udah bilang, Gas!”

Ketakutan itu tak berhenti sampai di situ. Malam itu, kami mendengar langkah menyeret di lantai dapur. Suara piring jatuh. Suara ketawa panjang, melengking, menembus dinding kamar.

Ketika pagi datang, kami tidak tidur satu detik pun.

Hari-hari berikutnya semakin buruk. Aku mulai sering melihat bayangan wanita itu di jendela kamar mandi, halaman belakang, dan sekali—di dalam dapur.

Siang itu, aku sedang memasak sup untuk Lila. Ketika membuka lemari bumbu, aku tidak sengaja melihat pantulan kaca dari oven kecil yang kami beli minggu lalu.

Di pantulan itu, terlihat sosok wanita berdiri tepat di belakangku.

Aku menjerit, tapi ketika menoleh—tidak ada siapa-siapa. Namun bau yang menyengat—bau busuk bercampur tanah basah—tetap tertinggal di udara.

Sore harinya, aku kembali menemui Bu Rini. Kali ini ia memberikan informasi baru.

“Raras… dulu Sulastri itu orangnya baik. Pendiam, tapi suka membantu orang. Tapi suaminya kasar. Sering terdengar suara pertengkaran. Sampai suatu malam… Sulastri mati. Mayatnya ditemukan dalam keadaan mengenaskan di dapur.”

Aku menutup mulutku. “Kenapa arwahnya jadi begitu… menyeramkan?”

Bu Rini berkata pelan, “Katanya, Sulastri meninggal sambil merasa sangat membenci perempuan lain. Suaminya sering menuduh dia berselingkuh. Padahal dia tidak pernah. Kebencian itu… terbawa sampai mati.”

Malam ke-12 tinggal di sana menjadi malam paling gelap dalam hidupku.

Sekitar jam satu pagi, Lila terbangun sambil menangis.

“Bu… tante itu di kamarku… dia duduk di pojok…”

Aku langsung menggendong Lila sambil memeluknya erat. Bagas menyulut lampu kamar.

“Tante apa?!” tanya Bagas dengan panik.

Lila menunjuk sudut kamar. “Tante Sulastri… dia bilang jangan rebut rumahnya.”

Tubuhku langsung lemas. Bagas baru pertama kali mendengar nama itu dari mulut Lila. Ia menatapku penuh tanda tanya.

Aku menggeleng, tak sanggup menjelaskan.

Tapi seolah malam itu menjadi jawaban untuk Bagas.

Karena beberapa menit kemudian, kami mendengar suara seseorang berjalan di atap rumah—pelan, tapi berat, seperti seseorang menyeret kakinya.

Sreeek… sreeekk… sreeekkk…

Bagas mengepalkan tangan. “Ini nggak bener. Aku harus lihat.”

“Aku ikut!” kataku sambil memeluk Lila.

Bagas keluar kamar dengan membawa senter. Aku mengikutinya sampai ke ruang tengah.

Sampai tiba-tiba sesuatu mengetuk jendela depan dengan sangat keras.

TOK! TOK! TOK! TOK!

Kami bertiga mematung.

Lalu terdengar suara perempuan dari luar, lirih, melengking, seperti suara yang keluar dari tenggorokan yang rusak.

“Raaaraaaas…”

Aku menutup mulut, menahan tangis.

Bisikan itu berubah.

“KELUAAAR…”

Bagas mendekati jendela sambil gemetar. Ketika ia mengarahkan senter ke luar—

Dia ada di sana.

Sulastri berdiri menempel dengan kaca jendela. Wajahnya hancur, bibirnya sobek, matanya hitam seperti dua lubang besar. Rambutnya berayun ke kiri dan kanan meski tidak ada angin.

Bagas menjerit dan terjatuh.

Aku menariknya dan kami berlari masuk kamar lalu mengunci pintu.

Dari luar pintu, terdengar suara Sulastri menyeret kakinya mendekat.

Sreeeek… sreeeek… sreeeek…

Lalu suara ketukan.

TOK! TOK! TOK!

Diikuti bisikan yang membuat darahku seakan berhenti.

“Aku di sini…”

Kami bertiga berpelukan, menunggu sampai suara itu menghilang.

Pagi harinya, tanpa diskusi, kami memutuskan pindah.

Bagas mengemas barang seadanya. Aku mengurus Lila yang masih panik setiap mendengar suara keras.

Tapi sebelum pergi, aku harus kembali masuk ke rumah sendirian untuk mengambil map berisi dokumen penting yang terselip di lemari kamar.

Bagas menungguku di mobil sambil memeluk Lila.

Aku masuk rumah dengan langkah gemetar. Udara di dalam rumah terasa berat. Seperti ada seseorang menahan napas mengikuti gerakanku.

Setelah mengambil map itu, aku hendak keluar… tapi pintu kamar menutup sendiri keras sekali.

BRAK!

Aku langsung membalik badan.

Dan di sana, hanya beberapa langkah dariku… berdiri Sulastri.

Wajahnya sangat dekat. Warna kulitnya pucat kehijauan. Matanya membesar tak wajar. Dari mulutnya keluar suara lirih seperti seseorang merintih kesakitan.

Ia mengangkat tangan panjangnya dan menunjuk tepat ke dadaku.

“Jangan… pernah… kembali…”

Suara itu keluar seperti bisikan dari dasar liang kubur.

Aku mundur sambil menangis, berlari keluar kamar, keluar rumah, dan langsung masuk mobil tanpa menoleh lagi.

Kami meninggalkan desa itu hari itu juga. Tidak pamit. Tidak menutup rumah. Tidak melihat ke belakang.

Rumah itu masih berdiri sampai hari ini. Rumah tua itu juga. Rumah Sulastri.

Kadang, saat malam tiba dan aku menatap jendela rumah baruku, aku merasa ada sesuatu di kejauhan. Sesuatu yang memperhatikan. Sesuatu yang menunggu.

Entah hanya perasaan… atau Sulastri masih mengira aku akan kembali.

Karena kadang… saat angin malam bertiup pelan, aku mendengar suara lirih yang sangat kukenal.

“Raraaassss…”

Dan tubuhku langsung menggigil, menyadari satu hal: Beberapa teror tak akan pernah bisa benar-benar hilang. Mereka hanya menunggu… hingga kita lengah.

Posting Komentar