Makhluk Mistis di Gua Kuno Malang
Teror Arwah Kuno Gua Malang
Nama saya Vani. Seorang perempuan berusia 27 tahun, arkeolog lapangan yang terbiasa dengan panas, lumpur, dan tumpukan tanah bersejarah. Banyak orang mengira pekerjaan saya sekadar menggali tanah, memotret batu, dan sesekali muncul di berita ketika menemukan sesuatu yang “wah”. Padahal kenyataannya jauh lebih rumit—dan lebih berbahaya dari yang dibayangkan.
Namun tidak pernah sekali pun dalam hidup saya, saya membayangkan bahwa suatu penemuan dapat mengubah hidup saya, menghantui hari-hari saya, bahkan hampir merenggut kewarasan saya. Saya tidak tahu bahwa perjalanan saya ke sebuah gua tua di Malang akan menyeret saya jauh lebih dalam daripada sekadar mempelajari masa lalu.
Hari itu, awalnya hanyalah hari biasa. Saya dan tim sedang menyelesaikan pendataan situs lama di daerah Jawa Timur ketika kepala desa setempat mendatangi kami dengan wajah cemas namun antusias.
“Ada tanah longsor kecil di pinggir hutan dekat lereng bukit,” katanya. “Ada gua terbuka. Warga nggak berani mendekat. Katanya tempat itu dari dulu angker.”
Kalimat terakhirnya membuat beberapa warga yang ikut datang merapatkan selendang ke tubuh, seolah udara mendadak dingin meskipun matahari sedang terik.
Sementara bagi saya—kata “angker” justru seperti bel alarm yang membangkitkan rasa penasaran.
Kami langsung menuju lokasi. Perjalanan menembus hutan memakan waktu sekitar satu jam. Jalan setapak lembab, dipenuhi akar pepohonan besar yang mencuat. Suara serangga dan burung bersahut-sahutan, menciptakan suasana yang sulit dijelaskan. Perpaduan antara keindahan alam dan rasa asing yang membuat kulit merinding—mirip ketegangan cerita Hantu Terowongan Surabaya yang Mengerikan yang dulu pernah saya dengar.
“Van, ini keliatan bukan gua alam biasa,” kata Raka, rekan satu tim yang sudah seperti kakak sendiri bagi saya. “Mulut guanya simetris. Kayak digarap manusia.”
Saya mendekat. Benar. Struktur atas batu tampak terpotong rata, bukan hasil erosi. Ada garis pahatan halus meski sudah tertutup lumut. Dari luar saja tempat itu sudah memberi isyarat bahwa ada sesuatu yang lebih tua daripada yang pernah kami temukan di daerah ini.
Saat kami masuk, hawa dingin langsung menerpa. Seperti AC yang menyala di dalam ruangan batu besar. Cahaya headlamp menyorot dinding gua yang tidak sepenuhnya alami. Ada ukiran. Ada pola. Ada simbol yang belum pernah saya lihat.
“Ini… bukan periode Majapahit,” gumam saya. “Dan bukan juga Singosari. Tapi motifnya mengarah ke era awal kerajaan-kerajaan Jawa.”
Lila, antropolog tim kami, menyentuh permukaan dinding dengan hati-hati. “Simbol ini menunjukkan ritual pemujaan. Tapi bentuknya tidak lengkap. Seolah pernah ditekan secara paksa untuk dihapus.”
Kami terus melangkah masuk hingga mencapai ruang yang lebih besar. Di tengah ruangan, terdapat altar batu dengan beberapa benda: gelang emas tua, serpihan logam, dan sebuah wadah kecil yang pecah separuh.
Sebelum saya bisa memotret, terdengar suara… tangisan.
Suara lirih. Jelas. Suara perempuan menangis terisak seperti menahan sakit yang tidak pernah hilang.
“Ini pasti suara dari lorong sebelah,” kata Raka, meskipun suaranya bergetar.
Saya ingin percaya itu hewan, atau gema angin, atau apa pun yang rasional. Tapi hati saya tahu itu bukan suara alam. Ada rasa pilu yang terlalu manusia di dalamnya.
Kami menyusuri lorong sampai berakhir pada sebuah tembok batu yang berbeda warna. Tembok itu bukan runtuhan alami. Itu… penutup.
“Seperti ada sesuatu yang sengaja ditahan di dalam,” ujar Lila.
Saya menelan ludah. Kata-katanya terasa terlalu tepat.
Setelah dokumentasi selesai, kami membawa artefak yang dapat dianalisis. Semua sesuai protokol. Tidak ada yang melanggar aturan. Atau… setidaknya begitu pikir kami.
Masalahnya: ada aturan yang jauh lebih tua daripada semua protokol modern.
Dan malam itu, saya melanggarnya.
Di kantor pusat penelitian, ruangan saya menjadi tempat pertama yang menunjukkan tanda-tanda keanehan. Lampu di meja saya berkedip-kedip tanpa alasan. Komputer menyala sendiri. Kertas laporan berjatuhan meski tidak ada angin—mengingatkan saya pada cerita Hantu di Balik Kulkas Tua yang pernah saya baca.
Yang paling aneh, setiap malam ruangan itu dipenuhi aroma bunga kanthil.
Aroma yang biasanya digunakan dalam upacara tradisional untuk memanggil roh.
Saya mencoba mengabaikannya. Hingga suatu malam, saat saya sendirian, suara langkah terdengar dari lorong panjang kantor yang gelap. Langkah perlahan. Sangat lambat. Seolah seseorang menyeret kakinya.
Saya memanggil. “Halo? Ada orang?”
Tidak ada jawaban.
Namun langkah itu semakin mendekat… kemudian berhenti tepat di depan pintu ruang saya.
Ketika saya memberanikan diri membuka pintu, tidak ada siapa pun. Lorong kosong. Lampu mati. Dan aroma kanthil begitu pekat hingga membuat pusing.
Saya pikir hanya imajinasi. Tetapi ketika pulang ke rumah, saya sadar kesalahan besar saya: sesuatu dari gua itu mengikuti saya.
Malam itu, saya terbangun karena suara kain yang diseret di lantai. Ketika membuka mata, sosok perempuan berdiri di sudut ruangan. Ia memakai pakaian Jawa kuno—jarik lusuh dan kemben sobek, tubuhnya kotor seperti baru bangkit dari tanah basah.
Rambutnya panjang acak-acakan, dan wajahnya pucat dengan mata kosong yang menatap langsung ke arah saya.
Ia bergerak mendekat.
“Pulangkan…” bisiknya.
Suara itu membuat seluruh tubuh saya membeku. Saya ingin lari, berteriak, melakukan apa saja, tetapi kaki saya seperti tertanam di kasur.
Ketika sosok itu hampir menyentuh wajah saya, tiba-tiba ia menghilang. Begitu saja. Meninggalkan hawa dingin dan aroma bunga kanthil yang menusuk.
Keesokan paginya saya datang ke kantor dengan wajah pucat. Namun baru saja saya masuk, Lila menghampiri dengan panik.
“Van! Kamu semalam kenapa balik ke kantor? Kamu masuk ruang arsip jam dua pagi!”
Saya mendengarnya dengan jantung terhenti. “Lila, aku nggak keluar rumah semalam.”
Wajah Lila langsung pucat.
“Petugas keamanan lihat kamu, Van. Atau… sesuatu yang menyerupai kamu.”
Sejak itu, saya tahu makhluk yang mengikuti saya bukan sekadar arwah penasaran. Ia bisa meniru. Ia bisa memanipulasi. Ia bisa berpura-pura menjadi saya.
Beberapa hari kemudian, kami sepakat kembali ke gua. Ada banyak hal yang perlu dijelaskan, dan saya tidak mungkin hidup dengan teror ini selamanya.
Ketika kami masuk kembali, suasana gua berbeda. Lebih berat. Lebih gelap. Seolah udara di dalamnya mengandung beban ratusan tahun penderitaan.
Kami menuju tembok yang dulu kami temukan. Kali ini, kami membawa alat untuk melakukan uji struktur. Dan hasilnya jelas:
Di balik tembok itu ada ruang lain. Ruang yang disegel.
“Ada tulang manusia di balik sini,” ujar Raka setelah memeriksa menggunakan kamera serat optik kecil yang berhasil diselipkan melalui celah kecil.
Dada saya langsung sesak. Saya tahu apa yang harus dilakukan—atau lebih tepatnya, apa yang diminta sosok itu.
Setelah berjam-jam membuka segel batu (dengan tetap menjaga struktur agar tidak roboh), kami akhirnya berhasil membuat celah cukup besar untuk masuk.
Apa yang saya lihat… akan selalu saya ingat sampai mati.
Di dalam ruangan kecil itu terdapat pusara retak, dan tulang-belulang berserakan seolah seseorang pernah mencoba keluar dan gagal. Gelang emas, serpihan kain, dan potongan perhiasan tergeletak di sekitarnya.
Lila mengangkat salah satu gelang dan berkata dengan suara bergetar: “Ini gelang yang hilang dari altar.”
Saya memejamkan mata. Jadi benar. Benda itu miliknya.
Dan kami—para arkeolog modern yang bodoh—telah mengambil haknya untuk tenang.
Tiba-tiba suara isakan terdengar. Kali ini sangat jelas. Bukan gema. Bukan suara palsu. Itu suara perempuan yang terluka, terhina, dan marah.
Makhluk itu muncul di sudut ruangan. Tubuhnya bergetar, wajahnya pucat penuh tanah, tangan dan kaki seperti patah namun tetap bisa berdiri.
Ia menunjuk pusaranya. Lalu menunjuk saya.
“Pulangkan… kehormatanku… semuanya…”
Saya terisak. “Kami akan kembalikan. Maafkan kami.”
Kemudian, seperti gelombang air, kilasan sejarah menguasai pikiran saya.
Saya melihat masa lalu—zaman Singosari. Seorang perempuan muda dibawa paksa ke istana. Diperkosa pejabat tinggi kerajaan. Difitnah mencuri perhiasan istana. Ditahan, dipukuli, lalu dibunuh secara diam-diam agar tidak mencoreng nama kerajaan.
Jenazahnya tidak dimakamkan dengan layak. Justru disembunyikan di gua terpencil. Para penjaga menutup pintu gua dengan batu dan mantra agar arwahnya tidak keluar untuk menuntut balas.
Ratusan tahun ia sendirian. Terkubur. Terlupakan. Tersiksa.
Ketika kilasan itu hilang, saya berlutut. Menangis. Tidak hanya karena takut—tapi karena merasakan sedikit dari penderitaan yang ia alami.
Kami mengembalikan semua artefak. Kami susun tulang-belulangnya kembali dengan penuh hormat. Kami berdoa—meski bukan ahli ritual, namun dengan ketulusan.
Saat semuanya selesai, sosok perempuan itu muncul lagi. Kali ini lebih tenang. Wajahnya bukan lagi dipenuhi amarah, melainkan kesedihan mendalam.
“Terima kasih…”
Ia menghilang bersama hembusan angin dingin yang terakhir.
Setelah itu, gangguan berhenti. Tidak ada lagi suara langkah mengikuti saya. Tidak ada lagi bayangan di sudut rumah. Tidak ada lagi aroma kanthil.
Namun saya tahu, ada alasan mengapa gua itu dulu disegel kuat. Ia bukan sekadar tempat pemujaan. Ia adalah penjara untuk arwah yang dipenuhi amarah.
Gua itu kini kami tutup kembali, jauh lebih rapat dan lebih aman. Tidak untuk menyembunyikan sejarah, tapi untuk menjaga ketenangan seseorang yang telah mengalami tragedi yang tidak pantas dialami manusia mana pun.
Sejak kejadian itu, saya memandang arkeologi dengan cara berbeda. Saya tidak lagi melihat masa lalu hanya sebagai fakta dan artefak. Di balik setiap batu, setiap simbol, setiap pusara, ada cerita. Ada jiwa. Ada luka.
Dan beberapa luka… tidak boleh dibuka kembali.
Namun ada hari-hari tertentu ketika malam sangat sunyi, angin tidak bergerak, dan dunia terasa kosong. Pada saat-saat seperti itu, terkadang saya mendengar bisikan lembut:
“Terima kasih, Vani…”
Saya tidak tahu apakah itu nyata atau hanya imajinasi. Yang saya tahu: ada seseorang yang akhirnya bisa damai. Dan mungkin, itu cukup.

Posting Komentar