Hantu di Balik Kulkas Tua
Teror Hantu Kulkas Tua di Rumah Warisan
Namaku Yani. Seorang ibu rumah tangga biasa yang mencoba menjalani hidup sebaik mungkin. Setelah menikah dengan Dimas, aku mengikuti keputusan keluarga bahwa kami harus tinggal di rumah mertuaku yang sudah lama meninggal. Katanya untuk menjaga aset keluarga, dan untuk menghemat agar kami bisa membangun masa depan. Awalnya aku setuju, tidak pernah terpikir bahwa keputusan sederhana itu akan mengubah hidupku selamanya.
Rumah itu besar, berhalaman luas, tapi terasa menyesakkan. Banyak ruangan yang tidak pernah dipakai, lorong-lorong yang panjang dan sunyi, dan bau apek yang tidak pernah hilang meskipun aku membersihkan setiap hari. Yang paling menakutkan adalah gudang — tertutup rapat, gelap, dan penuh barang tua peninggalan keluarga yang tidak pernah disentuh sejak mertuaku meninggal.
Hari itu aku memutuskan untuk membersihkannya. Bukan karena berani, tapi karena aku ingin membuktikan bahwa aku tak mau terus dihantui rasa curiga tanpa alasan. Saat aku membuka pintu gudang, udara dingin menerjang dan membuatku merinding. Cahaya lampu redup berkedip-kedip, seolah enggan menerangi ruangan. Tumpukan kardus tua, mesin-mesin rusak, furnitur berdebu… semuanya tampak menua bersama waktu.
Dan di antara semua benda itu… aku melihatnya. Sebuah kulkas tua, besar, berwarna putih kekuningan dengan bercak karat di mana-mana. Kulkas itu berdiri di tengah gudang seakan menjadi pusat segalanya. Seolah semua benda lain ada hanya untuk mengelilinginya.
Aku mendekat perlahan. Pegangan pintunya longgar dan berdecit setiap kali disentuh angin. Entah kenapa, aku merasa tubuhku bergerak sendiri ke arahnya. Ketika jariku menyentuh bagian pegangan, tiba-tiba ada suara lirih tepat di belakang telingaku:
“Jangan…”
Aku langsung menjerit dan mundur. Tapi saat kutoleh ke belakang — kosong. Tidak ada siapa pun. Hanya gudang yang sunyi, seolah menertawakanku karena ketakutan.
Aku mengunci gudang dan pergi tanpa menengok lagi. Tapi semenjak hari itu… semuanya mulai berubah.
Malamnya aku bermimpi. Aku kembali berada di gudang, tapi kini lampu padam. Satu-satunya hal yang bisa kulihat hanya kulkas tua itu. Pintu kulkas terbuka perlahan, dan dari dalamnya muncul seorang wanita bergaun putih, rambut panjang kusut menutupi wajahnya. Suaranya serak, tubuhnya gemetar seolah ia mencoba meraih sesuatu jauh di luar jangkauannya.
“Aa… aaku…” suaranya seperti memohon bantuan.
Aku terbangun dengan keringat dingin. Aku bahkan sempat yakin wanita itu sedang berdiri di ujung kamar, tetapi saat aku mengedip — ia menghilang.
Dimas bertanya kenapa aku pucat, tapi aku hanya bilang lelah. Aku merasa tidak perlu membuatnya khawatir dengan cerita mimpi yang mungkin hanya ilusi.
Namun malam berikutnya mimpi itu datang lagi. Dan lagi. Dan lagi.
Setiap mimpi membuat wanita hantu itu semakin dekat denganku. Kadang ia hanya berdiri, kadang ia menangis, kadang ia meraih rambutku dengan tangan yang dingin seperti es. Aku selalu terbangun dengan bekas gigil, bahkan beberapa kali menemukan bekas goresan di lengan dan pinggangku.
Puncaknya terjadi saat ia akhirnya berbicara jelas:
“Jangan buka… tapi tolong aku…”
Kenapa pesan yang ia sampaikan bertolak belakang? Jangan dibuka… tapi tolong? Apakah ia ingin kulkas itu tetap tertutup? Atau ingin aku membuka? Aku tidak tahu.
Dari hari ke hari aku jadi mudah melamun, pusing, bahkan takut sendirian di dalam rumah. Dimas mulai curiga, “Kamu baik-baik saja, kan? Kalau ada yang bikin kamu nggak nyaman di rumah ini bilang sama aku.” Aku mengangguk, tapi mulutku seperti terkunci oleh sesuatu yang tidak terlihat.
Beberapa hari kemudian aku menemukan foto lama di bawah laci ruang tamu. Foto keluarga itu menampilkan mertuaku beserta Dimas kecil dan seorang gadis muda bergaun putih berdiri jauh di belakang dengan ekspresi kosong. Tidak ada nama di belakang fotonya, tapi wajahnya…
Mirip wanita di mimpiku.
Aku mencoba mencari informasi dari tetangga sekitar. Semuanya hanya bilang hal-hal umum tentang mertuaku, bahwa beliau baik, disiplin, dan dihormati. Tapi ketika aku bilang soal gadis bergaun putih di foto, beberapa wajah langsung berubah tegang dan terdiam seolah topik itu tabu disebut — bahkan ada yang membandingkan kemunculannya dengan kisah Sosok Perempuan di Pohon Tua Cibubur.
Semakin aku mencari jawabannya, semakin terasa bahwa sesuatu ingin rahasia itu tetap terkubur.
Suatu malam aku bermimpi lagi, tapi bukan mimpi yang sama. Kini aku melihat mertuaku sendiri yang muncul dalam mimpi, wajahnya tegas namun tubuhnya setengah transparan. Ia berkata:
“Yani… kulkas itu harus tetap tertutup. Jangan biarkan rahasiaku hilang.”
Kalimat itu membuatku terbangun ketakutan. Mertua — wanita berhati baik yang kukenal hanya dari cerita Dimas — ternyata menyembunyikan sesuatu. Tapi apa? Dan kenapa rahasianya berkaitan dengan kulkas tua itu?
Gangguan tidak berhenti di mimpi. Lampu rumah sering berkedip, suara ketukan dari atap terdengar setiap malam, dan kulkas baru kami tiba-tiba menyala dan mati sendiri. Bahkan sekali waktu, saat aku bangun untuk minum tengah malam, kulkas di dapur mengeluarkan suara tangisan samar dari dalamnya.
Aku tidak tahan. Aku harus mengetahui semuanya.
Ketika Dimas bekerja, aku memutuskan kembali ke gudang. Dengan tubuh gemetar aku membawa senter dan linggis. Ada rasa takut luar biasa, tapi juga rasa bersalah seolah seseorang sudah lama menunggu bantuan dan tidak mendapatkannya.
Saat aku membuka pintu gudang, kulkas tua itu tampak berbeda. Posisi pintunya kini sedikit terbuka — padahal terakhir kali benar-benar tertutup rapat. Aku mendekat perlahan sambil menahan napas. Begitu aku menyentuh gagang pintu, udara mendadak membeku dan suara perempuan memanggil pelan:
“Tolong…”
Aku membuka pintunya dengan cepat, seolah semakin lama aku menunggu semakin besar rasa takutku. Namun saat kulkas itu terbuka, yang kutemukan bukan tulang belulang atau jasad seperti dugaan terburukku.
Di dalam kulkas hanya ada satu benda: sebuah buku harian tua terikat tali kasar.
Aku meraih dan membuka halaman pertamanya. Di sana tertulis nama:
Mawar.
Setiap tulisan berikutnya membuatku terhenti berkali-kali karena syok dan ngeri.
Mawar adalah pembantu rumah tangga lama yang bekerja untuk keluarga Dimas. Ia jatuh cinta pada suami mertuaku — ayah Dimas. Hubungan mereka tersembunyi, tapi akhirnya diketahui oleh mertua. Dalam buku harian itu tertulis tentang penyiksaan, kecemburuan buta, ancaman, hingga akhirnya Mawar dikurung di gudang, dipaksa masuk ke dalam kulkas, dan dikunci sampai mati membeku dan kehabisan napas — kisah balas dendam arwah yang mengingatkanku pada cerita Dendam Hantu Jenglot di Rumah Tua.
Aku menutup mulutku sendiri menahan teriak. Dadaku sesak membayangkan bagaimana Mawar menghabiskan detik-detik terakhir hidupnya.
Sebelum aku sempat menyelesaikan kisah di buku itu, suara langkah kaki muncul. Tapi bukan manusia.
Sosok hantu mertuaku berdiri di depan pintu gudang, wajahnya tajam, tatapannya penuh amarah. Tidak seperti dalam mimpi sebelumnya yang bersedih — kini ia seperti siap membunuh.
“Beraninya kamu membaca itu.” suaranya keras dan menggema.
“Aku lakukan ini untuk menghentikan semua ini!” balasku sambil memeluk buku harian itu.
“TIDAK ADA YANG PERLU DIHENTIKAN! Semua ini kulakukan demi keluarga! Demi Dimas! Demi rumah ini! Dia telah mengusik hidup kami! Dia pantas mati!” jerit mertuaku.
Tiba-tiba sesosok lain muncul — hantu Mawar. Rambut panjangnya berkibar, jeratan di lehernya tampak jelas, matanya merah dipenuhi amarah. Ia langsung menyerang mertuaku, memeluknya dengan kekuatan seperti badai kemarahan bertahun-tahun.
“TUGASMU SUDAH SELESAI!” teriak Mawar ke arahku.
Pertarungan mereka penuh suara jeritan, tangisan, dan suara besi kulkas bergetar kuat. Dunia seperti runtuh di sekelilingku. Dan tepat ketika mertuaku hampir melepaskan diri, Mawar menyeretnya masuk ke kulkas — pintu kulkas menutup sendiri dengan keras sampai ruangan menjadi sunyi kembali.
Aku jatuh terduduk sambil menangis. Gudang berubah kembali seperti biasa — tidak lagi ada kegaduhan, tidak ada hantu, tidak ada buku harian di tanganku. Semuanya menghilang.
Seakan semua benda itu menolak meninggalkan ruangan — atau memang sejak awal hanya mau terlihat oleh orang yang dibutuhkan.
Aku ditemukan Dimas beberapa jam kemudian. Ia tidak percaya ceritaku, atau mungkin ia tidak mau mempercayai bahwa ibunya sanggup melakukan kejahatan keji itu. Aku tidak memaksanya percaya. Aku hanya minta agar gudang dikunci permanen.
Kami hidup seperti biasa lagi. Tidak ada gangguan, tidak ada mimpi buruk, tidak ada sosok hantu di sudut rumah.
Tapi satu hal tidak pernah hilang — kulkas di dapur sering menyala sendiri tengah malam. Lampunya berkedip lembut, seolah ada seseorang yang ingin memastikan aku tahu bahwa ia masih ada.
Kadang aku mendengar bisikan pelan dari arah kulkas:
“Terima kasih…”
Tapi ada malam tertentu — hanya beberapa kali dalam setahun — di mana bisikan itu berubah menjadi nada dingin dan tajam:
“Ini belum selesai…”
Hari ini aku menulis semua ini bukan untuk membuat siapa pun percaya. Aku hanya ingin meninggalkan bukti. Jika suatu hari nanti aku menghilang, atau sesuatu terjadi padaku… setidaknya seseorang tahu kebenarannya.
Karena terkadang… bantuan dan kutukan datang dari tempat yang sama. Dan terkadang… yang meminta pertolongan bisa menjadi penyelamat — atau justru hukuman.
Semua tergantung… siapa yang membuka kulkas berikutnya.

Posting Komentar