Sosok Perempuan di Pohon Tua Cibubur

Table of Contents
Sosok Perempuan di Pohon Tua Cibubur - Cerpen Horor Mania

Kisah Mistis Nyata di Rumah Tersisih Sunyi

Novi tidak pernah membayangkan bahwa kepindahannya ke pedalaman Cibubur akan mengubah hidupnya menjadi mimpi buruk. Ia hanya seorang pelajar SMA kelas XI yang ingin hidup tenang, jauh dari kota besar dan keramaian Jakarta. Ayahnya mendapat tugas pekerjaan di wilayah Cibubur dan seluruh keluarga harus ikut pindah. Pada awalnya, Novi menyambut perpindahan ini sebagai kesempatan untuk memulai hidup baru — lingkungan yang asri, udara segar, dan suasana kampung yang sederhana.

Namun semua berubah hanya dalam hitungan hari.

Rumah baru mereka berada di dekat area hutan kecil dan jarak antar rumah cukup jauh. Di tengah lahan kosong itu berdiri sebuah pohon tua menjulang tinggi, batangnya besar dengan akar mencuat dari tanah seperti tangan besar yang menjalar. Penduduk kampung menyebutnya pohon keramat. Tidak ada yang berani menebangnya atau sekadar menyentuhnya. Sebagian besar orang menghindari berjalan terlalu dekat dengannya.

Pada awalnya Novi tidak terlalu memikirkan pohon itu. Tapi hari ketiga setelah pindah, sesuatu terjadi.

Sepulang sekolah, ia berjalan di jalan kecil yang menghubungkan rumahnya dengan jalan utama. Udara sore terasa lembap, angin berhembus pelan. Saat ia mendekati rumah, langkahnya terhenti. Di samping pohon tua itu berdiri sesosok perempuan bergaun putih panjang. Rambutnya hitam kusut menutupi sebagian wajah. Wajahnya pucat, nyaris tidak berwarna. Namun yang paling menonjol adalah senyumnya — senyum lebar, terlalu lebar, sampai tidak wajar.

Sosok itu tidak bergerak, hanya menatap lurus ke arah Novi… tersenyum.

Novi mematung. Jantungnya serasa berhenti. "Siapa… itu?" gumamnya dengan suara bergetar.

Perempuan itu tidak bereaksi. Namun matanya mengikuti gerakan Novi sekecil apa pun — seolah memastikan pandangan mereka tidak terputus.

Novi langsung berlari masuk ke rumah, menutup pintu dengan keras. Peluh dingin menetes dari dahinya.

"Ma! Pa! Ada… ada perempuan di dekat pohon itu!" teriaknya.

Ibunya menghampiri cemas. "Perempuan apa? Kamu kenapa panik begitu?"

"Dia lihat aku terus! Dia senyum! Itu aneh banget!"

Ibunya menarik napas panjang. "Sudah, mungkin cuma warga kampung. Kamu kecapekan jadi ketakutan sendiri."

Tapi Novi tahu apa yang ia lihat bukan manusia biasa. Ada sesuatu yang dingin, gelap, dan jahat pada sosok itu — ia bisa merasakannya.

Malam itu ia mencoba tidur, tetapi matanya sulit terpejam. Di luar, terdengar suara daun bergesek satu sama lain. Kemudian terdengar ketukan pelan di jendela kamarnya. Novi terdiam. Ketukan itu berlanjut, semakin keras — namun bukan ketukan biasa, melainkan seperti kuku panjang yang menggaruk kaca.

Novi menarik selimutnya, namun perlahan ia menoleh ke jendela. Saat itu ia melihat sesuatu yang membuatnya menjerit pelan — helai rambut panjang hitam menjuntai di kaca jendela. Rambut itu bergerak seperti dihembus angin, tetapi ujungnya menempel di kaca seakan ada seseorang berdiri tepat di belakang jendela.

"Tidak… tidak… pergi…" Novi memejamkan mata dan menangis ketakutan.

Suara langkah terdengar, langkah pelan seperti kaki tanpa alas, mendekat ke ranjangnya. Lantai kamar berderit di setiap langkah. Novi menahan napas, tubuhnya kaku. Lalu terdengar suara lirih, sangat dekat di telinganya.

"Novi…"

Novi tidak berani bergerak. Ia tidak ingat kapan suara itu berhenti. Begitu fajar menyingsing, ia bangun dengan tubuh gemetar dan mata sembap karena menangis.

Keesokan harinya di sekolah, ia tampak lemas. Temannya Yuni menghampirinya saat istirahat.

"Kamu kelihatan pucat banget. Sakit?"

Novi menggeleng. "Aku lihat perempuan… di pohon dekat rumah."

Wajah Yuni langsung berubah. "Di pohon tua?"

Novi mengangguk, bingung dan takut sekaligus. "Kamu juga pernah lihat?"

"Aku nggak. Tapi kakakku pernah. Sebelum dia meninggal."

Novi terperanjat. "Tunggu… apa hubungannya?"

Yuni menelan ludah. "Dulu kakakku bilang ada perempuan di pohon itu yang selalu lihat dia. Lebih lama lebih dekat. Lama-lama bukan cuma di dekat pohon… tapi sudah mulai muncul di rumah. Sampai akhirnya dia seperti diikuti, diganggu terus. Tiga hari sebelum kecelakaan motor, dia teriak-teriak mimpi buruk, bilang perempuan itu mau bawa dia."

“Kecelakaan itu… kebetulan atau karena perempuan itu?” Novi bertanya dengan suara patah.

“Nggak ada yang tahu. Tapi hampir semua orang di kampung percaya siapa pun yang ditandai perempuan itu… nggak bakal bisa lari.”

Novi menggeleng, menolak percaya. “Tapi kenapa aku? Aku nggak pernah kenal dia.”

Yuni menatapnya dengan ekspresi takut. “Katanya perempuan itu mencari pengganti. Mencari seseorang baru yang dekat dengan pohon itu.”

Pulang sekolah, Novi akhirnya mengajak ibunya menemui Pak Lurah. Lelaki tua itu terdiam lama begitu mendengar cerita Novi.

"Senyum?" tanya Pak Lurah.

Novi mengangguk pelan.

"Kalau sudah senyum, berarti dia sudah mengincar kamu." Ucapannya membuat udara seolah berhenti bergerak.

Ibunya protes, "Pak, jangan menakut-nakuti anak saya, apa maksudnya?"

Pak Lurah menghela napas panjang. "Perempuan yang kamu lihat adalah arwah seorang wanita bernama Ayu. Dia meninggal dengan tragis. Dia menggantung diri di pohon tua itu setelah dikhianati suaminya dan keluarganya mengusirnya. Arwahnya tidak pernah menemukan kedamaian."

Novi merasa bulu kuduknya berdiri.

"Dan dia akan selalu memilih seseorang baru yang pindah dekat pohon itu. Kalau dia sudah tersenyum pada seseorang… gangguannya akan terus mengikuti orang itu ke mana pun — rumah, sekolah, hingga alam mimpi."

"Bagaimana cara menghentikannya?" Novi hampir menangis.

"Ada banyak orang berusaha. Tidak ada yang pernah berhasil. Yang terpilih sering tidak bertahan lama." Jawaban itu membuat Novi merasa seperti kehilangan harapan.

Gangguan menjadi semakin parah. Novi mulai melihat bayangan perempuan itu di kaca, di layar TV saat dimatikan, bahkan di pantulan air — sama menakutkannya seperti kisah Penunggu Sumur Tua di Belakang Kontrakan. Ia sering terbangun dengan suara tawa pelan — tawa menyeramkan yang semakin lama semakin jelas.

Suatu malam ia terjaga karena mendengar derit pintu kamarnya terbuka sendiri. Ia melihat sosok perempuan bergaun putih di sudut ruangan, rambutnya panjang, menutupi sebagian wajah. Tubuhnya sedikit membungkuk, matanya mengintip melalui sela rambut. Senyumnya terlihat semakin lebar — seolah pipinya akan robek.

"Jangan dekati aku! Tolong jangan!" Novi menjerit.

Sosok itu menghilang begitu saja — tanpa suara.

Setiap hari Novi semakin tidak bisa membedakan mana nyata dan mana tidak. Ia semakin kurus, semakin pucat, bahkan guru-gurunya mulai khawatir. Di sekolah ia pernah berteriak histeris ketika melihat perempuan putih itu berdiri di balik jendela lantai dua — padahal mustahil ada manusia yang bisa berada di luar jendela itu.

Teman-teman mulai menjauh, hanya Yuni yang masih bertahan. "Kamu harus kuat, Novi. Jangan biarkan dia menang."

"Aku capek… aku nggak mau lihat dia lagi…" Novi menangis sambil memegangi kepala.

Malam paling mengerikan terjadi ketika Novi tidak tahan lagi dan tanpa sadar keluar rumah tengah malam. Kakinya melangkah sendiri menuju pohon tua — seakan dipanggil oleh sesuatu.

Perempuan itu sudah menunggu di bawah pohon. Gaunnya berkibar pelan meski tidak ada angin. Senyumnya mengerikan. Wajahnya semakin jelas — matanya kosong, tetapi memancarkan rasa sakit dan kebencian. Novi ingin lari tetapi tubuhnya kaku.

"Kenapa kamu selalu ganggu aku?! Apa mau kamu?!" Novi berteriak putus asa.

Sosok itu hanya mengangkat tangannya dan menyentuh pipi Novi. Sentuhan itu dingin, seperti kulit mayat. Suaranya terdengar seperti bisikan dari mimpi buruk — panggilan yang begitu gelap dan putus asa, mirip Jeritan dari Dalam Tanah Kuburan.

"Temani aku… gantikan aku… biar aku bebas."

Novi menangis dan menggeleng. "Tidak… aku tidak mau!"

Tiba-tiba terdengar suara langkah dari arah rumah. Ayah dan ibunya datang bersama tokoh agama, membawa air doa. Saat air itu disiramkan ke sosok tersebut, suara jeritan mengerikan mengguncang udara, lalu perempuan itu menghilang dalam kabut hitam.

Novi pingsan dan dirawat secara intens dengan doa dan pengobatan spiritual selama beberapa hari. Gangguan tiba-tiba mereda. Tidak ada suara, tidak ada bayangan, tidak ada mimpi buruk. Semua orang lega. Novi kembali ke sekolah dan mulai hidup normal lagi. Ia bercanda dengan teman-temannya, belajar, dan berusaha melupakan segalanya.

Semua tampak baik — hingga suatu sore saat jam pulang sekolah.

Novi berjalan keluar gerbang bersama Yuni. Mereka tertawa, membicarakan hal-hal ringan. Namun ketika Novi melihat seberang jalan, ia langsung berhenti. Matanya membesar, napasnya tercekat.

Di seberang jalan ada sebuah pohon besar. Novi tidak pernah memperhatikan pohon itu sebelumnya. Di bawahnya berdiri sosok perempuan bergaun putih… tersenyum… senyum lebar yang sama.

Novi langsung gemetar. "Tidak… tidak… kamu seharusnya sudah hilang…"

Perempuan itu mengangkat tangan dan menunjuk tepat ke arah Novi.

Bibirnya bergerak… tanpa suara… namun Novi tahu apa yang ia katakan.

"Belum selesai."

Sejak hari itu, hidup Novi kembali berubah menjadi teror. Ia tidak mengatakan apa pun kepada siapa pun karena ia tahu orang-orang akan mengira ia kembali sakit jiwa. Namun ia menyadari sesuatu — pohon itu bukan hanya satu. Pohon itu ada di banyak tempat. Dan setiap pohon besar yang ia lihat selalu menyimpan bayangan perempuan itu.

Di halte, di lapangan sekolah, di samping toko yang ia lewati, bahkan di taman kota — semuanya seolah memiliki pohon yang menjadi pintu bagi sosok itu untuk menampakkan diri.

Pada suatu malam, Novi tidak bisa tidur lagi. Ia menatap langit-langit kamar dengan mata merah dan penuh air mata. Ia sudah lelah ketakutan setiap detik. Ia bertanya-tanya kapan waktunya akan tiba — kapan perempuan itu akan menjemputnya untuk selamanya.

Tiba-tiba terdengar suara kaki berlari kecil di lantai kamar. Novi duduk tegak, napasnya memburu.

Pintu kamar bergerak perlahan… terbuka sedikit… lalu terbuka lebar.

Perempuan bergaun putih itu masuk. Kali ini bukan dalam halusinasi, bukan bayangan, bukan mimpi. Ia berjalan perlahan menuju ranjang Novi. Rambutnya menjuntai, wajahnya mengerikan, senyumnya semakin lebar sampai pipinya seperti robek.

"Tidak… tidak… jangan…" Novi bergumam dengan suara hampir hilang.

Perempuan itu berlutut di samping ranjang. Suaranya lirih namun jelas.

"Waktunya hampir tiba. Kamu milikku."

Novi memejamkan mata dan menangis, berharap semuanya hanya mimpi. Namun ia merasakan tangan dingin menyentuh lengannya — kuat, mencengkeram, menariknya.

Keesokan paginya, ibunya menemukan Novi di lantai kamarnya dalam keadaan pingsan. Tubuhnya membeku seperti habis ketakutan. Dokter bilang Novi hanya kelelahan mental, tapi ada bekas jari hitam seperti memar di lengannya — lima garis seperti cengkeraman tangan perempuan dewasa.

Sejak saat itu, keluarga memutuskan pindah dari Cibubur. Mereka menjual rumah meski dengan harga rendah. Mereka berharap meninggalkan tempat itu akan mengakhiri semuanya.

Tapi malam pertama di rumah baru, Novi terbangun karena mendengar suara berbisik dari luar jendela.

“Novi…”

Ketika ia menoleh, ia melihat pantulan kaca lemari di kamarnya. Di pantulan itu, tepat di belakang dirinya — perempuan bergaun putih berdiri, tersenyum lebar.

Pada detik itu, Novi sadar satu hal: ia tidak diikuti oleh pohon itu. Ia diikuti oleh perempuan itu.

Bukan pohon yang mengutuk Novi — tetapi perempuan itu yang menjadikan pohon sebagai pintu untuk datang dari mana saja.

Dan selagi perempuan itu belum mendapat sosok pengganti untuk menempati pohon keramat, ia akan tetap mengejar Novi… sampai kapan pun.

Novi tidak memberitahu siapa pun. Ia hanya menunggu. Setiap malam ia mendengar langkah kaki, suara tawa, kadang suara tangisan. Ia tidak bisa kabur, tidak bisa sembunyi, tidak bisa menang.

Dan sekarang ia sadar — waktunya semakin dekat.

Di dalam rumah baru itu, Novi mulai menggambar pohon tua berulang-ulang tanpa sadar. Setiap gambar selalu sama — pohon besar dengan perempuan bergaun putih yang tersenyum lebar. Matanya kosong, namun smile-nya seperti memanggil.

Ketika ibunya bertanya apa arti gambar-gambar itu, Novi hanya menjawab pelan… hampir tanpa emosi.

"Dia menunggu aku."

Dan tidak ada seorang pun di dunia ini yang tahu kapan perempuan itu akan benar-benar menjemput Novi — malam ini, besok, minggu depan, atau mungkin saat semua orang lengah.

Satu hal yang pasti… sesekali Novi masih terlihat berdiri di jendela, memandangi jalan, seolah melihat sesuatu yang orang lain tidak bisa lihat.

Dan di setiap tempat yang ada pohon besar… ada kemungkinan senyum lebar itu sedang mengarah ke Novi sekali lagi.

Posting Komentar